Ombudsman 2021-2026 Mulai Bertugas, Transformasi Layanan Jadi Keutamaan
Presiden Jokowi melantik direksi dan dewan pengawas Ombudsman RI yang baru. Salah satu tantangan utamanya adalah mendorong transformasi standar layanan publik di berbagai sektor dari konvensional jadi berbasis digital.
Oleh
FX LAKSANA AS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hari ini, Senin (22/2/2021), Ombudsman Republik Indonesia periode 2021-2026 mulai efektif bertugas. Salah satu tantangan utamanya adalah mendorong transformasi standar layanan publik di berbagai sektor, dari konvensional menjadi berbasis digital.
Presiden Joko Widodo memimpin upacara pengangkatan dan pengucapan sumpah/janji jabatan Ombudsman Republik Indonesia (RI) periode 2021-2026 di Istana Negara, Jakarta. Hadir pula Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada kesempatan itu.
Pengangkatan didasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 36B Tahun 2021 tentang Pengangkatan Keanggotaan Ombudsman RI masa jabatan 2021-2026. Ini merupakan tindak lanjut atas pengesahan sembilan anggota Ombudsman RI oleh Rapat Paripuna DPR di Jakarta, 2 Februari 2021.
Kesembilan nama tersebut merupakan hasil uji kelayakan dan kepatutan yang diselenggarakan Komisi II DPR dari 18 nama yang diajukan Presiden. Selaku anggota merangkap ketua dan wakil ketua, masing-masing adalah Mokhamad Nazir dan Bobby Hamzar Rafinus.
Sementara tujuh anggota lainnya meliputi Dadan Suparjo Suharmawijaya, Hery Susanto, Indraza Marzuki Rais, Jemsly Hutabarat, Johanes Widijantoro, Robertus Na Endi Jaweng, dan Yeka Hendra Fatika.
Salah satu tantangan utamanya adalah mendorong transformasi standar layanan publik di berbagai sektor, dari konvensional menjadi berbasis digital.
Anggota Ombudsman RI 2016-2021, Alamsyah Saragih, menyatakan, transformasi digital merupakan situasi yang mulai dan akan terus terjadi di berbagai bidang ke depan. Sejalan dengan itu, standar layanan publik juga harus bertransformasi dari sistem konvensional ke sistem berbasis teknologi digital. Untuk itu, laporan peringkat kepatuhan penyelenggara negara yang dibuat Ombdusman RI setiap tahun juga harus mengadopsi standar layanan publik berbasis teknologi digital.
”Situasi ke depan akan terjadi transformasi besar-besaran dalam sistem pelayanan karena teknologi yang digunakan adalah berbasis teknologi digital. Oleh karena itu, standar layanan publik harus mengacu pada pelayanan berbasis teknologi digital,” kata Alamsyah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sendiri, menurut Alamsyah, masih mengacu pada standar layanan yang sifatnya konvensional. Hal ini merupakan tantangan yang juga harus didorong penyelesaiannya oleh Ombdusman RI.
Dalam hal bidang, Alamsyah melanjutkan, setiap bidang memiliki tantangan masing-masing. Namun, setidaknya ada dua sektor yang harus mendapatkan perhatian, yakni energi dan lahan. Di bidang energi, layanan transportasi akan bertransformasi dari bahan bakar fosil ke listrik. Ini akan membawa implikasi luas sehingga Ombudsman RI harus mencermati dan mengawasinya.
Di bidang lahan, tantangannya pada reforma agraria. Program pemerintah tersebut selama ini relatif jalan di tempat. Penyebabnya, menurut Alamsyah, karena pemerintah tidak memiliki mesin khusus yang mengadministrasikannya. Gugus tugas yang ada selama ini sebatas menangani kasus per kasus, tidak memiliki kemampuan dan fungsi pelayanan sehingga kurang efektif.
”Tentu ada pula sejumlah hal di setiap bidang yang harus dicermati. Tapi intinya, banyak permasalahan ke depan di mana Ombudsman RI harus mengarah ke hal-hal yang sistemik, bukan sekadar kasus per kasus laporan dari masyarakat,” kata Alamsyah.
Harus terasa manfaatnya
Tiga patologi birokrasi kita, yakni malaadministrasi, inefisiensi, dan korupsi. Kalau kita mau mengurangi korupsi yang di hilir, kita juga harus mengurangi malaadministrasi yang di hulu.
Anggota Ombdusman RI 2021-2026, Endi, menyatakan, misinya adalah membuat Ombudsman RI lebih hadir lagi secara konkret. Artinya, Ombudsman RI harus lebih terasa manfaat, keberadaannya, dan kontribusinya bagi perbaikan pelayanan publik melalui upaya pencegahan dan pengurangan malaadminsitrasi.
”Tiga patologi birokrasi kita adalah malaadministrasi, inefisiensi, dan korupsi. Kalau kita mau mengurangi korupsi yang di hilir, kita juga harus mengurangi malaadministrasi yang di hulu. Korupsi itu akarnya pada praktik malaadministrasi, seperti penyimpangan dan praktik-praktik buruk lainnya,” kata Endi.
Selain itu, masih menurut Endi, daya eksekusi terhadap rekomendasi Ombudsman RI juga harus diperkuat. Untuk itu, Ombudsman RI butuh bersinergi dan mendapatkan dukungan dari semua pihak. Tentu hal ini dilakukan tanpa mengorbankan independensi Ombudsman RI.