Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kepolisian Negara RI dapat menjamin rasa keadilan masyarakat dengan lebih selektif menyikapi laporan pelanggaran UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Oleh
ANITA YOSSIHARA/RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Aksi saling melaporkan yang semakin marak di kalangan masyarakat menunjukkan masih adanya ketidakpuasaan terhadap proses hukum. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kepolisian Negara RI dapat menjamin rasa keadilan masyarakat dengan lebih selektif menyikapi laporan pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Saat memberikan pengarahan pada rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI)-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021), Presiden Jokowi mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang menghormati kebebasan berpendapat dan berorganisasi.
Indonesia juga merupakan negara hukum sehingga hukum harus dijalankan dengan seadil-adilnya, melindungi kepentingan yang lebih luas, serta menjamin rasa keadilan masyarakat.
Karena itulah, Presiden menyesalkan maraknya aksi saling melaporkan pelanggaran UU ITE di kalangan masyarakat yang semakin marak. Fenomena itu menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap hukum belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memahami bahwa UU ITE dibuat untuk menjaga menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif sehingga sudah semestinya UU ITE dapat diimplementasikan secara adil.
”Jangan justru menimbulkan rasa ketidakadilan,” tuturnya.
Untuk itu, Presiden meminta kepada Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan jajarannya agar lebih selektif memproses laporan pelanggaran UU ITE. ”Saya minta kepada Kapolri agar jajarannya lebih selektif. Sekali lagi, lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE,” kata Presiden di hadapan para petinggi TNI-Polri.
Polri juga diminta berhati-hati menerjemahkan pasal-pasal multitafsir di UU ITE. Presiden pun meminta Kapolri membuat pedoman, interpretasi resmi atas pasal-pasal dalam UU ITE agar jelas dan tidak multitafsir. Hal yang tak kalah penting, Kapolri diminta meningkatkan pengawasan agar UU ITE diimplementasikan secara konsisten, akuntabel, dan berkeadilan.
Lebih jauh, Presiden menyampaikan jika UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, ia akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk bersama-sama merevisi UU ITE. Revisi terutama dilakukan untuk menghapus pasal-pasal karet yang multitafsir.
Meski demikian, Presiden mengajak seluruh elemen bangsa untuk menjaga ruang digital Indonesia. Semua pihak harus menjaga ruang digital agar tetap bersih, sehat, dan beretika. Selain itu, ruang digital juga harus dijaga agar tetap mengedepankan sopan santun, tata krama, dan produktif.
Kanalisasi kritik
Secara terpisah, peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menekankan pentingnya kanalisasi kritik dan masukan publik kepada pemerintah. Saat ini, ada kecenderungan saluran kritik itu tertutup.
”Kanalisasi tak tersedia dengan baik sehingga orang menyampaikan kritikannya melalui medsos dan komentar publik lainnya. Komentar-komentar itu sayangnya kerap kali menjadi basis laporan kepada polisi, terlebih karena ada pasal-pasal karet di dalam UU ITE,” ujarnya.
Upaya menciptakan kanalisasi kritik dan masukan publik itu dapat dilakukan dengan menciptakan ruang-ruang diskusi dan dialog dengan berbagai kelompok, termasuk yang berbeda pendapat dengan pemerintah.
Sementara itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti berharap agar semua pihak tidak antikritik. Selain merupakan kewajaran dalam demokrasi, kritik kerap disampaikan demi kebaikan.
”Semua pihak hendaknya tidak sesak dada terhadap kritik yang dimaksudkan untuk kemaslahatan bersama,” ujarnya.