Apkasi Soroti Tumpang-tindih Regulasi di Aturan Pelaksana UU Cipta Kerja
Apkasi menyoroti tumpang-tindih aturan di aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja. Apkasi juga meminta agar dalam aturan pelaksana itu pemda diberikan ruang lebih dalam penetapan rencana detail tata ruang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia atau Apkasi meminta kepada pemerintah pusat agar tidak mengabaikan aspirasi pemerintah daerah dalam penyusunan aturan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah daerah, misalnya, berharap penetapan rencana detail tata ruang tidak langsung ditarik ke pusat.
Ketua Kelompok Kerja Apkasi tentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)/Rancangan Peraturan Presiden Pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja Ahmed Zaki Iskandar, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (16/2/2021), mengatakan, pemerintah pusat harus memberikan ruang lebih bagi pemerintah daerah dalam penetapan rencana detail tata ruang (RDTR).
”Ini mengingat bahwa masih banyak kabupaten belum memiliki RDTR secara keseluruhan dan untuk penyusunan RDTR diperlukan waktu serta anggaran. Meskipun ditetapkan melalui peraturan bupati, disarankan agar pemberlakuan penetapan RDTR melalui peraturan presiden dapat ditunda 2 atau 3 tahun,” ujar Zaki, yang juga Bupati Tangerang.
Apkasi juga menyoroti masih adanya tumpang-tindih aturan di antara RPP dari UU Cipta Kerja, terutama antara RPP Penyelenggaraan Penataan Ruang dan RPP Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah.
Dalam RPP Penataan Ruang disebutkan bahwa RDTR akan ditetapkan dengan peraturan presiden jika kepala daerah belum menetapkannya sesuai batas waktu yang telah ditentukan. Adapun dalam RPP Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah disebutkan, jika daerah belum menyediakan RDTR dengan peraturan kepala daerah (perkada), daerah dapat menerbitkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
Zaki menyampaikan, Apkasi telah mengusulkan kepada pusat agar dua pasal pada dua RPP tersebut dikaji ulang sehingga tidak saling bertabrakan. ”RPP Penataan Ruang agar pemberlakuan penetapan RDTR melalui perpres dapat ditunda, sedangkan RPP Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah dapat tetap dilaksanakan,” ucapnya.
Antisipasi penyalahgunaan
Ketua Umum Apkasi Abdullah Azwar Anas berharap RPP Penyelenggaraan Penataan Ruang bisa menjadi gerbang pembuka untuk mewujudkan satu kebijakan tata ruang (one spatial planning policy) yang mampu menciptakan transparansi, keadilan, dan kepastian hukum.
Namun, untuk menuju ke sana, menurut Anas, dibutuhkan penguatan peran pemerintah daerah. Apkasi pada prinsipnya mendukung kebijakan penataan ruang terintegrasi yang diatur pemerintah pusat, tetapi tidak boleh sampai mengabaikan aspirasi pemerintah daerah yang sejatinya lebih memahami kondisi daerah, termasuk aspek sosial dan ekonominya.
”Para bupati ingin agar peran pemda diperkuat, termasuk di dalam forum penataan ruang. Forum itu bisa menjadi semacam pelapis yang bukan hanya bicara ekonomi dari aspek pelaku usaha semata, melainkan juga kepentingan sosial dan ekonomi warga,” tutur Anas, yang juga Bupati Banyuwangi.
Anas berpandangan, penguatan peran pemerintah daerah ini guna mengantisipasi berbagai penyalahgunaan hak guna usaha (HGU) yang dimiliki pribadi dalam jumlah besar. Sebab, selama ini, ada HGU, yang menerapkan sistem kerja sama operasional (KSO) dengan pihak ketiga.
”Lalu, pengelolaannya malah menyalahi tata ruang sehingga bisa berdampak pada bencana,” katanya.
Ia menambahkan, pemerintah pusat juga perlu memberi insentif bagi daerah yang mampu mempertahankan atau bahkan menambah luasan ruang terbuka hijau (RTH) di atas 30 persen. ”Insentif ini bisa dimasukkan di RPP Penataan Ruang agar luasan RTH bisa dijaga dan ditambah,” ujarnya.
Diharmonisasi
Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Raden Gani Muhamad menyampaikan, untuk RPP Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, draf telah diserahkan ke Sekretariat Negara (Setneg) pada 7 Februari 2021 dan tinggal diteken oleh Presiden.
”Drafnya banyak perubahan karena menyesuaikan atau diharmonisasi dengan RPP lainnya untuk menghindari tumpang-tindih,” ucap Gani. Adapun untuk RPP Penyelenggaraan Penataan Ruang menjadi tugas Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk menyelesaikannya.
Dari dokumen yang diterima Kompas, RPP tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah terdiri atas 11 bab dan 81 pasal.
Menurut Gani, dalam proses penyerapan aspirasi terakhir dengan para kepala daerah, tidak ada perdebatan yang alot, termasuk soal kewenangan penerbitan RDTR. ”Tidak ada (perdebatan) karena semua sepakat untuk rujukannya ke UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Aturan soal RDTR di UU Cipta Kerja di antaranya diatur di Pasal 15 Bab III. Di sana disebutkan, dalam hal pemda belum menyusun dan menyediakan RDTR, pelaku usaha mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya kepada pemerintah pusat melalui sistem perizinan berusaha secara elektronik. Pemerintah pusat lantas memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang.