Kritik dan Masukan Publik Perlu Dikanalisasi
Ruang dialog harus terus dibuka oleh pemerintah sebagai kanalisasi kritik dan masukan publik. Terbatasnya ruang dialog dengan pemerintah dikhawatirkan kian mengeraskan hubungan antarelemen masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu membuka ruang diskusi dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk yang berseberangan dengan pemerintah, guna menciptakan kanalisasi masukan dan kritik publik. Ketiadaan sarana kanalisasi itu dan terbatasnya ruang dialog dengan pemerintah dikhawatirkan kian mengeraskan hubungan antarelemen masyarakat serta memicu kecurigaan kepada pemerintah yang dinilai antikritik.
Maraknya aksi saling melaporkan yang terjadi di antara elemen masyarakat belakangan ini, baik yang berbasis pada pernyataan di media sosial maupun kegiatan lain yang bernuansa kritis kepada pemerintah, mengundang keprihatinan banyak pihak.
Survei Indikator, yang dirilis 25 Oktober 2020, menunjukkan, 21,9 persen responden menyatakan sangat setuju dan 47,7 persen agak setuju saat ditanyai apakah mereka saat ini merasa takut menyatakan pendapat. Sementara yang kurang setuju 22 persen dan yang tidak setuju sama sekali 3,6 persen.
Survei ini juga sejalan dengan persepsi publik terhadap demokrasi di Indonesia. Sebanyak 36 persen responden menilai Indonesia menjadi kurang demokratis. Responden yang menilai kondisi demokrasi Indonesa tetap sama ada 37 persen. Hanya 17,7 persen responden menilai Indonesia menjadi lebih demokratis.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan pada peluncuran laporan tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, 8 Februari 2021, meminta masyarakat aktif menyampaikan kritik dan masukan terkait maladministrasi yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik.
Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, Senin (15/2/2021), mengatakan, pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat aktif memberikan masukan dan kritik itu menandakan pemerintah terbuka terhadap masukan, kritik, dan pendapat yang berbeda.
Hanya saja, belum semua loyalis atau pendukung Presiden Jokowi siap merespons dengan bijak perbedaan pendapat itu. Di sisi lain, harus diakui pula tidak semua kritik yang disampaikan kepada pemerintah itu tepat atau disertai dengan data dan argumentasi yang rasional.
Baca juga: Pertahankan Ekosistem Demokrasi
”Di era keterbukaan politik semacam ini, masyarakat semakin melek politik. Banyak sumber informasi yang bisa didapatkan masyarakat. Oleh karena itu, kritik tentu harus punya standar minimal tersebut. Misalnya, apa yang dikritik dan apakah kritiknya proporsional, apakah ada solusi atau masukan, serta datanya akurat ataukah tidak,” ucap Arya.
Hal penting lainnya yang perlu dilakukan ialah melakukan kanalisasi kritik dan masukan masyarakat kepada pemerintah. Saat ini, ada kecenderungan saluran kritik itu tertutup. Misalnya, partai politik tidak lagi dapat menjadi jalan bagi penyampaian kritik masyarakat karena konstelasi politik yang ada saat ini.
Sekalipun ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat yang kerap mengkritik pemerintah dan beberapa kali berseberangan dengan sikap pemerintah. Namun, jumlah konstituen yang diwakili kedua partai itu terbatas. Akibatnya, kanalisasi kritik dan masukan tidak terjadi dengan baik.
“Kanalisasi tidak tersedia dengan baik, sehingga orang menyampaikan kritikannya melalui medsos, dan komentar publik lainnya. Komentar-komentar itu sayangnya kerap kali menjadi basis laporan kepada polisi, terlebih karena ada pasal-pasal karet di dalam UU ITE. Akibatnya, banyak orang yang terjerat dengan UU tersebut, baik yang pro maupun kontra pemerintah,” ungkapnya.
Arya mengatakan, upaya menciptakan kanalisasi kritik dan masukan dari masyarakat, antara lain, dapat dilakukan dengan menciptakan ruang-ruang diskusi dan dialog dengan berbagai kelompok, termasuk yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Harapannya, dengan makin sering terjadi dialog antarpihak yang berbeda pendapat itu, akan tercipta kesepahaman pada poin-poin tertentu. Dengan demikian, pemerintah di satu sisi juga menjalankan perannya melakukan konsultasi publik dalam pengambilan kebijakan.
Pemerintah juga didorong membangun narasi yang baik dan jelas terkait kebijakan yang diambilnya. Dengan demikian, publik dapat mengakses informasi yang jelas atas setiap kebijakan pemerintah dan tidak mudah termakan hoaks.
”Tim komunikasi pemerintah harus baik. Apakah penyampaian kebijakan itu dilakukan juru bicara, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Sekretariat Negara, atau Staf Khusus Presiden, semua harus dipikirkan sehingga ada pintu komunikasi yang jelas dari setiap kebijakan,” tuturnya.
Hindari kriminalisasi
Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengatakan, dalam rapat pimpinan TNI-Polri, Senin, Presiden Joko Widodo menekankan enam hal. salah satunya, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa kebebasan berpendapat harus dihormati. Presiden meminta Polri menerapkan pasal-pasal di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk memberikan rasa keadilan dan menghindari kriminalisasi lewat pasal-pasal karet.
”Dengan demikian, dapat menghindari kriminalisasi dengan penggunaan pasal-pasal karet untuk menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif,” kata Listyo, seperti dikutip dari Kompas.com, Senin (15/2/2021).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pernyataan Presiden yang meminta masyarakat untuk menyampaikan kritik merupakan sikap yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
”Pemerintah terbuka terhadap kritik. Silakan mengkritik. Itu merupakan sikap yang sungguh-sungguh dan menjadi sikap dasar pemerintah dalam mengelola negara,” ujarnya.
Mahfud menegaskan, pemerintahan demokratis yang sehat terbuka terhadap kritik. Kritik dibolehkan untuk memperbaiki kinerja pemerintahan. Ia juga menanggapi pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pekan lalu, dalam diskusi daring dengan Partai Keadilan Sejahtera mengenai bagaimana cara mengkritik tanpa harus dipanggil polisi.
Baca juga: Pandemi Beri Tekanan Indeks Demokrasi Indonesia
Menurut Mahfud, sejak dulu kritik selalu ditujukan kepada pemerintah, termasuk saat Kalla masih berada di pemerintahan. Serangan, antara lain, dilancarkan sejumlah pasukan siber yang memberondong pemerintah dengan kritik tajam dan kerap kali tidak berdasar, seperti Saracen dan Piyungan.
Pemerintah saat itu juga berada dalam posisi dilematis karena ketika hal itu ditindak, publik ribut mempersoalkan dan ketika tidak ditindak pun publik mempersoalkan. ”Inilah demokrasi. Oleh karena itu, pemerintah mengambil yang merupakan kritik saja sebagai pertimbangan mengambil kebijakan,” ujarnya.
Mengenai aksi saling lapor yang terjadi belakangan ini, menurut Mahfud, hal itu merupakan hak rakyat. ”Kita juga tidak bisa, dong, menghalangi orang mau melapor. Melapor itu, kan, hak rakyat. Kalau ada orang melapor ke polisi, lalu polisi memanggil itu, kan, memang orang itu punya hak dan polisi punya kewajiban mendalami laporan. Kan, tinggal itu saja,” katanya.
Kewajaran demokrasi
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, dalam situasi negara yang penuh masalah, semua pihak diharapkan tidak anti terhadap kritik yang dilontarkan anak bangsa. Selain merupakan sebuah kewajaran dalam negara demokrasi, kritik juga sering kali disampaikan demi kebaikan bersama seluruh bangsa.
”Semua pihak hendaknya tidak sesak dada terhadap kritik yang dimaksudkan untuk kemaslahatan bersama,” tuturnya.
Menurut Mu’ti, akan lebih baik jika semua pihak berpikir dan bekerja serius mengurus serta menyelesaikan berbagai problematika kehidupan, dibandingkan dengan saling menyalahkan dan anti terhadap kritik yang ditujukan untuk kebaikan bersama.
Dia mencontohkan kritik yang dilontarkan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Menurut dia, kritik yang dilontarkan merupakan bagian dari panggilan iman, keilmuan, dan tanggung jawab kebangsaan. Karena itu, tidak semestinya kritik itu dibalas dengan melaporkan Din yang merupakan Guru Besar Hubungan Internasional UIN Syarief Hidayatullah kepada Komisi Aparatur Sipil Negara.
Apalagi sampai muncul tudingan bahwa Din, yang selama ini aktif mendorong moderasi beragama, sebagai tokoh radikal. Semestinya, lanjut Mu’ti, pelaporan semacam itu tidak perlu terjadi. Sebab, dalam negara demokrasi, kritik diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, sudah seharusnya semua pihak tidak anti terhadap kritik, apalagi kritik yang konstruktif.
Saat dihubungi, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rahman menegaskan, dalam menyampaikan kritik masyarakat perlu mempelajari secara saksama Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
”Presiden Joko Widodo, sesuai dengan sumpah beliau di hadapan Sidang Umum MPR, 20 Oktober 2019, selalu tegak lurus dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, apabila masyarakat ingin mengkritik perlu mempelajari secara saksama, membaca secara sebaik-baik ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lain,” kata Fadjroel.
Ketentuan yang dimaksud salah satunya adalah Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 yang menyebut bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Akan tetapi, diatur pula dalam Pasal 28J bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan UU.
Pembatasan diatur untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Selain itu, juga untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Aturan lain yang juga harus dipertimbangkan dalam menyampaikan kritik adalah ketentuan dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
”Perhatikan baik-baik ketentuan pidana Pasal 45 Ayat (1) tentang muatan yang melanggar kesusilaan; Ayat (2) tentang muatan perjudian; Ayat (3) tentang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; Ayat (4) tentang muatan pemerasan dan/atau pengancaman,” ucapnya.
Penting pula, kata dia, diperhatikan ketentuan Pasal 45a Ayat (1) UU ITE yang melarang menyebarkan kabar bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen. Dilarang pula dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu atas SARA.
UU ITE juga melarang warga negara menyebarkan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti kepada individu. Jika ingin menyampaikan kritik dengan unjuk rasa, lanjut Fadjroel, sebaiknya disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
”Jadi, apabila mengkritik sesuai UUD 1945 dan perundangan, pasti tidak ada masalah karena kewajiban pemerintah/negara adalah melindungi, memenuhi, dan menghormati hak-hak konstitusional setiap WNI yang merupakan hak asasi manusia tanpa kecuali,” ujar Fadjroel.