Cegah Penyiksaan dalam Tahanan, Komnas HAM Desak Perubahan Pola Pikir Aparat
Tahun 2020, LPSK menerima 47 permohonan terkait penyiksaan dalam tahanan. Umumnya, penyiksaan itu dilakukan aparat negara. Untuk mencegah penyiksaan tahanan, pola pikir aparat juga harus berubah.
Oleh
Edna C Pattisina
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Selain masalah infrastruktur dan regulasi, perilaku aparat keamanan juga harus berubah guna agar tidak lagi terjadi praktik-praktik penyiksaan dan penghukuman kejam terhadap tahanan. Praktik-praktik tersebut perlu diatasi secara sistemik.
Hal ini disampaikan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik dalam konferensi pers Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP), Senin (15/2/2021).
KuPP yang terdiri dari Komnas HAM RI, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM RI untuk menghadapi persoalan peyiksaan terhadap tahanan secara sistemik.
Taufan mengatakan, Konvensi Anti Penyiksaan diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Akan tetapi, hingga saat ini masih ada berbagai peristiwa penyiksaan. “Terjadi di ruang-ruang tahanan dan serupa tahanan,” katanya.
Dodot Adikoeswanto, Direktur Teknologi Informasi dan Kerjasama Dirjen Pemasyarakatan mengakui saat ini memang lembaga pemasyarakatan dan rutan terlalu penuh. Dengan kapasitas lapas dan rutan berjumlah 135.704 orang, per 14 Februari, realitanya ada 252.384 warga binaan kemasyarakatan.
Penuhnya lapas ini jadi sumber tantangan yang menjadi makin besar. Ditjen PAS, kata dia, saat ini mengadakan pelatihan untuk para pelatih agar aparat yang menangani tahanan tahu cara memperlakukan mereka secara benar.
Hal ini menjadi bagian dari rencana aksi KuPP. Secara sinergis juga disepakati penyusunan ‘Rencana Aksi’ upaya pencegahan penyiksaan yang akan dijadikan rujukan dari setiap hasil kegiatan. Selain pelatihan untuk pelatih juga diadakan lanjutan kunjungan ke lapas dan rutan untuk mengatasi masalah kepenuhan warga binaaan.
Maneger Nasution, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan, tahun 2020, ada 47 permohonan yang diterima LPSK terkait penyiksaan dalam tahanan. Umumnya, penyiksaan itu dilakukan aparat negara yang seharusnya memberi perlindungan. Oleh karena itu, selain infrastruktur, perlu ada perubahan perspektif aparat yang harusnya memberi pengayoman ke warga binaan.
Maneger dan Ahmad Taufan menggarisbawahi perlunya ada ratifikasi lebih lanjut terkait Protokol Pilihan Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol CAT). Dengan ratifikasi ini, Indonesia akan menjadi bagian terdepan dari masyarakat internasional dalam komitmen untuk menghilangkan penyiksaan dan perbuatan kejam lainnya serta memperkokoh posisinya sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Hal tersebut terutama dalam memastikan tanggung jawab konstitusional negara untuk memastikan jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28I Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.