Keterpilihan Perempuan Calon Kepala Daerah Meningkat
Kepercayaan masyarakat terhadap perempuan calon kepala daerah meningkat dari tahun ke tahun. Untuk itu, partai politik diharapkan memberikan afirmasi kepada perempuan calon kepala daerah.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat keterpilihan perempuan calon kepala daerah dalam tiga kali pemilihan kepala daerah serentak meningkat. Partai politik perlu memberikan afirmasi terhadap perempuan calon kepala daerah, seperti dalam pemilihan legislatif agar mampu melahirkan perempuan-perempuan pemimpin daerah.
Peneliti Cakra Wikara Indonesia, Roni, mengungkapkan, persentase calon dan keterpilihan perempuan sebagai kepala daerah terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, jumlahnya dinilai masih kurang.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Komisi Pemilihan Umum, persentase pencalonan perempuan sebagai kepala daerah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017, 2018, dan 2020 meningkat. Pada Pilkada 2007, ada 7,26 persen perempuan calon kepala daerah, kemudian pada 2018 meningkat menjadi 9 persen dan terakhir di Pilkada 2020 perempuan calon kepala daerah sebanyak 10,73 persen.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Komisi Pemilihan Umum, persentase pencalonan perempuan sebagai kepala daerah pada Pemilihan Kepala Daerah 2017, 2018, dan 2020 meningkat.
Sejalan dengan peningkatan perempuan calon kepala daerah, tren keterpilihannya pun meningkat. Pada Pilkada 2017, sebanyak 7,45 persen perempuan calon kepala daerah memperoleh suara terbanyak. Kemudian, pada 2018, sebanyak 8,77 persen dan pada Pilkada 2020 keterpilihan perempuan calon kepala daerah mencapai 11,02 persen. Capaian di Pilkada 2020 ini bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya di Pilkada 2015 yang tingkat keterpilihan calon perempuan hanya 8,16 persen.
”Sejalan dengan angka pencalonan perempuan, angka keterpilihan perempuan sebagai kepala daerah juga menunjukkan tren meningkat. Kepercayaan pemilih terhadap perempuan calon kepala daerah mengalami peningkatan,” kata Roni saat diskusi publik daring bertajuk ”Dinamika Kepemimpinan Perempuan di Tingkat Lokal: Menilik Tantangan dan Peluangnya”, Rabu (3/2/2021).
Diskusi menghadirkan Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika, Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana, peneliti pada pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kurniawati Hastuti Dewi, dan Kepala Bidang Kesetaraan Gender dalam Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rina Nursanti.
Roni menuturkan, perempuan calon kepala daerah menghadapi tantangan yang cukup berat, mulai dari tahap kandidasi hingga menjalankan pemerintahan. Sejak tahap kandidasi, mereka dihadapkan pada sulitnya melakukan interaksi dengan elite parpol agar mendapatkan rekomendasi. Mereka juga dihadapkan pada tantangan dari pemuka agama yang cenderung menilai perempuan tidak layak menjadi pemimpin.
Perempuan calon kepala daerah menghadapi tantangan yang cukup berat, mulai dari tahap kandidasi hingga menjalankan pemerintahan. Pada tahap kandidasi, mereka dihadapkan pada sulitnya melakukan interaksi dengan elite parpol agar mendapatkan rekomendasi.
Kemudian di tahap kampanye, sebagian media massa lebih fokus menyoroti perihal urusan-urusan domestik yang sering kali tidak berkaitan dengan kualitas dan kompetensi calon kepala daerah. Untuk perempuan calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat lain atau petahana, mereka sering kali dianggap tidak memiliki otoritas dalam membuat kebijakan.
Kurniawati mengatakan, parpol dalam melakukan kandidasi cenderung mengutamakan popularitas dan elektabilitas. Tidak ada politik afirmasi kepada perempuan yang dilakukan parpol dalam menentukan kandidat yang akan diusung dalam pilkada.
Beberapa perempuan calon yang diusung biasanya adalah anggota legislatif yang dinilai memiliki kualitas yang baik. Mereka juga sudah memiliki basis massa sehingga mampu bertarung dengan kandidat lain dalam pilkada.
”Perempuan yang mampu membuktikan kualitasnya saat berada di legislatif akan dilirik oleh partai untuk menduduki jabatan eksekutif,” ucap Kurniawati.
Meskipun persentasenya terus meningkat tiap pilkada, pencalonan dan keterpilihan perempuan sebagai calon kepala daerah dinilai masih sangat timpang jika dibandingkan dengan laki-laki.
Menurut Rina, jumlah perempuan kepala daerah masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun persentasenya terus meningkat tiap pilkada, pencalonan dan keterpilihan dinilai masih sangat timpang.
Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya politik afirmasi kepada perempuan dalam pilkada. Afirmasi hanya berlaku pada pemilu legislatif dalam hal pencalonan calon anggota legislatif sebanyak 30 persen di setiap parpol. Seharusnya, kebijakan serupa juga diterapkan pada pencalonan kepala daerah agar muncul perempuan kepala daerah yang lebih banyak.
”Penyebab lainnya adalah terkait biaya politik yang tinggi dan pemikiran bahwa perempuan belum pantas menjadi pemimpin,” kata Rina.
Anne mengatakan, pada awalnya parpol memintanya menjadi calon kepala daerah karena mendapatkan popularitas dan elektabilitas yang tinggi dari hasil survei. Selain itu, dia menilai warga ingin pembangunan di Purwakarta berlanjut sehingga masyarakat memilih istri Dedi Mulyadi, bupati Purwakarta periode sebelumnya, itu.
Menurut Cellica, jabatan kepala dinas yang berkaitan dengan perempuan dan anak serta pengendalian penduduk diberikan kepada perempuan. Hal itu dilakukan karena perempuan dinilai memiliki sensitivitas yang lebih baik dalam menjalankan program-program terkait hal tersebut.