Momentum Politik Anak Muda
Pilkada 2020 dapat menjadi pintu bagi anak-anak muda untuk berkiprah menunjukkan kepemimpinannya dengan berpegang pada integritas, kapasitas, dan tentu loyalitas pada cita-cita bangsa.
Pilkada 2020 jadi bukti sosok-sosok muda mendapatkan tempat di hati pemilih. Jika tren ini menguat, bukan tidak mungkin pada masa depan anak-anak muda berpotensi menduduki jabatan-jabatan politik.
Perhelatan pemilihan kepala daerah serentak 2020 memang masih didominasi oleh generasi yang telah malang melintang di dunia politik. Pada tahap pencalonan, sebagian besar yang diajukan adalah calon-calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah berusia 50 tahun ke atas.
Sementara itu, mereka yang berusia muda lebih banyak diajukan sebagai calon wakil kepala daerah. Kelompok usia 31-40 tahun, misalnya, lebih banyak ditemui di pencalonan wakil kepala daerah. Dari kategori calon wakil kepala daerah dari kelompok usia ini mencapai 12,9 persen, jauh lebih banyak dibandingkan anak-anak muda yang diajukan sebagai calon kepala daerah yang hanya 9,8 persen.
Meskipun belum mendominasi di tahapan pencalonan, sebagian besar unggul dalam perolehan suara pemilih di pilkada 9 Desember 2020. Litbang Kompas mencatat dari kelompok calon kepala daerah berusia 31 tahun atau di bawahnya, separuh lebih dari mereka unggul di pilkada tahun ini.
Setidaknya tren ini terlihat dari hasil rekapitulasi akhir perolehan suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari 20 nama calon kepala daerah yang berusia 31 tahun atau di bawahnya, sebanyak 11 orang (55 persen) di antaranya unggul dalam rekapitulasi KPU. Sebut saja di antaranya Bupati Tasikmalaya Ade Sugianto dan Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin.
Kedua kepala daerah petahana tersebut sama-sama berusia 30 tahun saat pilkada tahun ini. Keduanya juga sama-sama menggantikan kepala daerah yang terpilih di pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Ade Sugianto naik menjadi Bupati Tasikmalaya menggantikan Uu Ruzhanul Ulum yang menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat. Mochamad Nur Arifin yang dilantik menjadi Bupati Trenggalek menggantikan Emil Elestianto Dardak yang terpilih menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur.
Baca juga : Menanti Upaya Kreatif Mengangkat Kabupaten Kediri
Menariknya lagi, kedua bupati petahana yang unggul dalam perolehan suara di Pilkada 2020 ini didampingi sosok calon wakil bupati yang juga relatif sebaya. Ade Sugianto didampingi wakil bupati terpilih Cecep Nurul Yakin yang juga berusia 30 tahun saat pilkada digelar. Hal yang sama juga dialami Mochamad Nur Arifin yang didampingi sosok Syah Muhamad Natanegara yang baru 31 tahun.
Di Trenggalek sendiri bukan pertama kalinya pasangan yang sama-sama muda. Saat Pilkada 2015, Emil Elestianto Dardak-Mochamad Nur Arifin jadi pemenang. Saat dilantik, Emil berusia 31 tahun 9 bulan, sedangkan Arifin saat itu baru berusia 25 tahun, bahkan Arifin kemudian dianugerahi sebagai wakil bupati termuda di Indonesia oleh Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri).
Anak muda dan politik
Tidak heran jika kemudian kemenangan sejumlah sosok anak muda dalam Pilkada 2020 ini memperkuat sinyalemen bahwa anak-anak muda tidak bisa lagi di luar panggung kekuasaan, tak bisa lagi sekadar sebagai penonton. Apalagi tren pemilih di Indonesia menunjukkan, anak muda adalah penentu arah politik di masa depan. Pada Pilkada 9 Desember lalu, sekitar 54,4 persen pemilih juga berusia 40 tahun ke bawah.
Pilkada 2020 ini memperkuat sinyalemen bahwa anak-anak muda tidak bisa lagi di luar panggung kekuasaan, tak bisa lagi sekadar sebagai penonton.
Memaknai fenomena politik dan anak muda ini, bupati terpilih Trenggalek Mochamad Nur Arifin melihat hal ini tidak lepas dari tuntutan dan jejak sejarah politik di Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari peran anak muda. Mulai dari era memperjuangkan kemerdekaan sampai gerakan menumbangkan Orde Baru dengan lahirnya Reformasi tak lepas dari peran anak muda.
”Anak muda dan politik menjadi satu keharusan jika kita semua berorientasi kepada cita-cita dan masa depan,” ungkap Arifin.
Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Wali kota Pasuruan terpilih Adi Wibowo yang juga mewakili generasi muda. Menurut dia, bonus demografi di Indonesia menuntut peran anak muda lebih agresif dan proaktif di dunia politik. Pada tahun 2030-2035, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, di mana negeri ini akan lebih banyak ditopang oleh 52 persen penduduk dengan usia produktif.
Menurut Adi, dengan komposisi anak muda yang lebih banyak dan ditopang idealisme, bangsa ini diyakini akan lebih maju. Bagaimanapun tongkat estafet kepemimpinan akhirnya juga harus diteruskan kepada generasi penerus.
”Jika anak muda tidak turun tangan ambil bagian dalam politik, ikut berjuang dan memperjuangkan nasib dan masa depan bangsa ini, kepada siapa kita akan menggantungkannya?” jelas Adi.
Regenerasi kepemimpinan
Fenomena munculnya pemimpin muda, terutama yang di bawah 30 tahun, menunjukkan regenerasi kepemimpinan. Hal itu tidak bisa dihindari karena secara demografi, penduduk yang usia produktif, terutama di bawah 40 tahun, kurang lebih sudah setengah dari total penduduk Indonesia.
Selain dari sisi jumlah penduduk, perkembangan dunia digital turut membuka ruang bagi mereka, para generasi milenial, untuk mendapat panggung di dunia politik. Fenomena Partai Solidaritas Indonesia sebagai pendatang baru di Pemilu 2019 menjadi contoh bagaimana basis anak muda yang dikembangkan oleh partai ini sedikit banyak sudah mendapatkan tempat di memori pemilih.
Meskipun PSI gagal secara nasional meraih kursi di DPR, perolehan kursi di DPRD tidak bisa dipandang sebelah mata. Partai yang membawa narasi politik anak muda ini paham akan tren ke depan soal peran anak muda di panggung politik.
Baca juga : Politik Gaya Generasi Milenial
Fenomena anak muda dan politik ini ditangkap oleh Ketua Perkumpulan Kader Bangsa Dimas Oky Nugroho sebagai sesuatu yang lumrah sebagai tuntutan zaman. Bahkan menurut dia, apa yang terjadi di pilkada bukan tidak mungkin terjadi di level kepemimpinan nasional. Perkumpulan Kader Bangsa yang dipimpinnya selama ini menggalang kekuatan anak muda untuk dipersiapkan sebagai pemimpin di daerahnya. Sejumlah pelatihan digagas perkumpulan ini telah melahirkan banyak alumni di jajaran pimpinan lembaga legislatif maupun eksekutif. Bupati Trenggalek terpilih Mochamad Nur Arifin menjadi salah satu alumni dari perkumpulan ini.
Menurut Dimas, dengan semakin bergeraknya regenerasi kepemimpinan di tataran masyarakat, baik itu di tingkatan daerah, domain swasta, maupun masyarakat sipil, desakan natural pergerakan kepemimpinan pada tataran kepemimpinan nasional tampaknya juga tidak bisa dihindari.
”Fenomena kebangkitan kesadaran politik anak-anak muda milenial akan sangat berpengaruh dalam perkembangan politik nasional ke depan,” ujar Dimas.
Tentu akhirnya, semua tetap bertumpu pada kapasitas dan integritas anak muda untuk siap dan layak memimpin masyarakat. Kapasitas terkait pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melayani serta memajukan masyarakatnya. Sementara integritas adalah terkait komitmen moral, karakter, akhlak dan budi pekerti agar menjadi pemimpin yang baik dan akuntabel. Selain kedua hal tersebut, Dimas menambahkan soal loyalitas, yakni kesetiaan kepada negara dan bangsanya. Tak lupa juga komitmen kepada nilai-nilai kemanusiaan universal, demokrasi, dan hak-hak sipil warga negara.
Jadi, apa yang terjadi pada Pilkada 2020 dapat menjadi pintu bagi anak-anak muda untuk berkiprah menunjukkan kepemimpinannya dengan berpegang pada integritas, kapasitas, dan tentu loyalitas pada cita-cita bangsa. Inilah momentum politik anak muda. Masa depan Indonesia ada pada tangan-tangan mereka! (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)