Asosiasi Gubernur Keluhkan Penarikan Kewenangan ke Pusat
Penarikan kewenangan pemerintah daerah ke pusat melalui UU Cipta Kerja dikritik baik oleh pakar hukum tata negara maupun asosiasi kepala daerah. Penarikan kewenangan itu menyalahi prinsip otonomi daerah.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia atau APPSI mengeluhkan penarikan sejumlah kewenangan pemerintah daerah ke pusat melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Para ahli hukum tata negara pun mengkritik pembentukan undang-undang itu karena tidak menghargai asas otonomi daerah.
Wakil Ketua APPSI Isran Noor, dalam seminar nasional ”Penguatan Sistem Perundang-undangan serta Hubungan Pusat dan Daerah”, yang digelar secara virtual, Rabu (3/2/2021), mengatakan, dalam konstitusi, kewenangan pemerintahan sebenarnya telah dibagi-bagi, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, maupun kota. Namun, pengesahan UU Cipta Kerja malah mengubah aturan ketatanegaraan tersebut.
”Sekarang, banyak kewenangan yang telah diberikan ke daerah malah ditarik lagi. Ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan kenegaraan,” ujar Isran, yang menjabat Gubernur Kalimantan Timur.
Dalam konstitusi, kewenangan pemerintahan sebenarnya telah dibagi-bagi, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, maupun kota. Namun, pengesahan UU Cipta Kerja malah mengubah aturan ketatanegaraan tersebut.
Berdasarkan kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sejumlah kewenangan pelaksanaan urusan seperti diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditata ulang di UU Cipta Kerja. Misalnya, persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang, tarif retribusi pajak, serta penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) berada di pemerintah pusat. Padahal, kewenangan-kewenangan itu menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah selama ini.
Isran mencontohkan dampak buruk penerapan UU Cipta Kerja yang terjadi di Kalimantan Timur. Dengan dialihkannya kewenangan daerah ke pusat, saat ini kondisi perizinan batubara mulai tidak tertata dengan baik. Ia menyebut, tambang ilegal mulai merebak.
”Sekarang, yang terjadi namanya, suka-sukanya. Ini karena pemerintah daerah tidak punya payung hukum atau kewenangan di dalam mengatur perizinan mereka,” ucap Isran.
Menyalahi asas
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Ni’matul Huda berpandangan, kehadiran UU Cipta Kerja telah menyalahi asas otonomi daerah. Dalam kerangka hubungan pusat dan daerah, pemerintah daerah mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahannya.
Kehadiran UU Cipta Kerja telah menyalahi asas otonomi daerah. Dalam kerangka hubungan pusat dan daerah, pemerintah daerah mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahannya.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, gubernur selaku wakil pemerintah pusat pun memiliki legitimasi politik dan hukum yang kuat. Mereka, lanjut Ni’matul, juga berhak mengatur sumber daya yang berada di wilayahnya.
”Pemerintah harus mempertimbangkan kembali apakah dengan UU Cipta Kerja sudah mengakomodasi hubungan pusat dan daerah dengan baik. Kalau pemerintah tidak hati-hati bisa bahaya,” kata Ni’matul.
Ia khawatir, penarikan sejumlah kewenangan daerah ke pusat berpengaruh pada kondisi finansial daerah. Alhasil, daerah akan kesulitan memberikan pelayanan kepada publik. ”Otonomi daerah jadi tidak bermakna,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia (UI) Maria Farida Indrati pun mengkritik UU Cipta Kerja yang sudah tidak tepat sejak awal proses pembentukan. Jika undang-undang itu ingin menjadi payung hukum dengan menggabungkan materi di undang-undang lama, seharusnya undang-undang lama itu dicabut terlebih dahulu.
UU Cipta Kerja sudah tidak tepat sejak awal proses pembentukan. Jika undang-undang itu ingin menjadi payung hukum dengan menggabungkan materi di undang-undang lama, seharusnya undang-undang lama itu dicabut terlebih dahulu.
Itu juga pernah terjadi ketika DPR dan pemerintah sepakat membentuk UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Saat itu, 15 peraturan perundang-undangan dicabut.
”Jadi, kalau kita mencabut semuanya, malah tidak akan menjadi masalah. Kalau (UU Cipta Kerja) ini, kan, ingin menjadi undang-undang payung, tetapi payungnya terbalik karena undang-undang itu berasal dari berbagai macam undang-undang eksisting yang belum dicabut,” ucapnya.
Karena itu, menurut Maria, seharusnya, sejak awal, pembentukan UU Cipta Kerja dimaknai sebagai suatu undang-undang baru yang mengandung atau mengatur berbagai macam materi dan subyek, di mana penyederhanaan dari berbagai undang-undang yang berlaku.
Kepentingan politik
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyadari bahwa terkadang keperluan politik tidak sama dengan tuntutan hukum tata negara. ”Keputusan-keputusan politik itu terkadang menghendaki kecepatan dan penyesuaian dengan situasi, terutama dengan kesepakatan kekuatan-kekuatan politik,” ujarnya.
Ia mengutip pernyataan Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Sri Soemantri Martosoewignjo bahwasanya hukum tata negara dan politik ibarat rel dan kereta api. Hukum tata negara menjadi rel, sedangkan kereta api adalah politiknya.
”Nah, politik ini bergantung pada masinisnya. Kereta api juga bergantung pada masinisnya. Ke mana kereta api akan berjalan, apakah akan ikut rel yang sudah dibuat secara cermat dan hati-hati atau seorang maninis itu mau ugal-ugalan atau tidak. Nah, di sinilah peran masing-masing,” ucap Mahfud.
Mahfud berharap para ahli hukum tata negara yang tidak bekerja di bidang politik dapat memberikan pemikiran-pemikiran yang obyektif tanpa terikat pada kepentingan politik. Namun, bagi mereka yang bekerja di politik, mereka harus dapat bekerja secara profesional.
”Karena itu, saya berharap ahli hukum tata negara tetap kritis terhadap situasi, termasuk terhadap pemerintah, termasuk terhadap saya,” ujarnya.