Kejaksaan Didorong Juga Terapkan Pasal Pencucian Uang pada Tersangka Asabri
Setelah mengumumkan penetapan 8 tersangka kasus dugaan korupsi dana Asabri, Kejagung diharapkan menuntaskan kasus itu sampai ke akarnya. Para tersangka juga perlu dijerat pasal TPPU guna memulihkan kerugian negara.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar, Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri (Persero) masih ditelaah Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK. Selain menuntaskan hingga akar masalah, Kejaksaan Agung juga didorong untuk menerapkan pasal pencucian uang guna memulihkan kerugian.
Kemarin Kejaksaan Agung mengumumkan delapan orang sebagai tersangka akasus dugaan korupsi dana Asabri. Kejaksaan menyebut kerugian keuangan negara sementara yang disebabkan kasus dugaan korupsi Asabri mencapai Rp 23,7 triliun. Saat ini, kerugian keuangan negara, kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, sedang dihitung oleh BPK.
Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis, ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (2/2/2021), mengatakan, BPK telah menerima permintaan investigasi dari Kejaksaan RI. Saat ini permintaan tersebut dalam proses pelaporan dan permintaan penghitungan kerugian negara (PKN).
”Dari Kejaksaan tanggal 15 Januari lalu ke BPK, baru dalam tahap proses penelahaan,” kata Harry.
Menurut Harry, hasil penghitungan kerugian keuangan negara akan langsung diserahkan kepada pihak yang meminta dan bukan menjadi konsumsi umum. Hasil kerugian keuangan negara akan menjadi dasar di pengadilan.
Adapun dalam kasus tersebut, Kejaksaan Agung menyebutkan pada 2012 sampai 2019, beberapa direksi dan pejabat PT Asabri melakukan kesepakatan dengan pihak di luar yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi (MI), yaitu HH, BTS, dan LP. Kesepakatan itu untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio Asabri dengan saham HH, BTS, dan LP dengan harga yang telah dimanipulasi agar kinerja portofolio Asabri terlihat baik.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengatakan, sejak adanya kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), pihaknya telah menghimbau anggota AAJI agar tak mengelola lagi atau berhati-hati mengelola sumber pendanaan terkait dengan keuangan negara atau badan usaha milik negara. Hal itu merupakan antisipasi agar kasus serupa tidak terjadi.
Meski terjadi kasus tindak pidana korupsi di Jiwasraya yang kini disusul dengan perkara Asabri, menurut Togar, hal itu tidak terlalu berpengaruh pada industri asuransi jiwa secara keseluruhan. Sebab, kebanyakan anggota AAJI adalah perusahaan patungan antara perusahaan dalam negeri dan luar negeri.
”Kalau perusahaan joint venture, mereka sudah jelas diatur ke mana investasinya. Mereka biasanya main aman dengan berinvestasi di obligasi. Kalaupun di saham pasti saham blue chip. Seperti kasus Asuransi Jiwasraya waktu itu tidak memengaruhi industri asuransi secara umum,” kata Togar.
Menurut Togar, terlepas dari perkara yang kini sedang terjadi, semestinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memaksimalkan pengawasan ataupun perlindungan terhadap konsumen sesuai peraturan yang ada. Sebab, OJK adalah otoritas yang memiliki kewenangan tersebut.
Tutup celah
Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho berpandangan, modus dalam kasus korupsi Asabri mirip dengan kasus korupsi Asuransi Jiwasraya. Menurut dia, modus korupsi yang dilakukan BUMN asuransi dan perbankan memang pada perputaran uang atau memanfaatkan dana yang diambil dari nasabah untuk kepentingan pribadi.
Modus ini, kata dia, seharusnya menjadi perhatian lebih Menteri BUMN Erick Thohir. Jangan sampai, modus itu diikuti perusahaan BUMN lain di bidang yang sama. Kementerian BUMN juga perlu menutup celah-celah yang memicu potensi korupsi. Dalam kasus korupsi Asabri, Emerson mempertanyakan mudahnya pembelian saham investasi dan reksadana oleh jajaran direktur perusahaan tersebut. Pembelian bisa dilakukan secara langsung tanpa melalui analisis fundamental dan teknikal melalui jasa manajer investasi.
”Dua kasus terakhir yaitu PT Jiwasraya dan PT Asabri kerugiannya sangat besar. Bahkan, lebih besar dari kasus-kasus yang ditangani KPK. Ini harus dijadikan sebagai dasar evaluasi menyeluruh untuk perusahaan BUMN asuransi dan perbankan,” kata Emerson.
Evaluasi menyeluruh itu, kata Emerson, akan menjadi bagian dari aspek pencegahan korupsi di masa depan. Tanpa evaluasi dan pembenahan pengawasan, modus serupa sangat mungkin terjadi lagi di masa depan.
Sementara itu, dalam aspek penindakan, pekerjaan rumah Kejagung adalah menuntaskan kasus korupsi itu sampai ke akarnya. Siapa pun yang terlibat dalam kasus korupsi itu harus diproses hukum. Jangan sampai, kata dia, Kejaksaan Agung hanya selesai pada pembongkaran kasus tanpa menuntaskan kasus hingga ke akarnya.
Selain itu, Kejaksaan Agung juga diminta menjerat para tersangka tidak hanya dengan pasal tindak pidana korupsi, tetapi juga pasal pencucian uang. Dengan pasal TPPU, kejaksaan bisa merampas aset milik tersangka yang disamarkan asal-usulnya. Tidak hanya aset tersangka, tetapi juga keluarganya. Dengan pasal TPPU, negara juga bisa merampas aset sesuai nilai kerugian yang dialami.
”Kalau tidak dijerat dengan pasal TPPU, trennya koruptor akan memilih untuk tidak membayar denda, tetapi diganti dengan hukuman kurangan. Menjerat pelaku dengan pasal TPPU penting dilakukan agar aset yang bisa dikembalikan ke kas negara,” kata Emerson.
Sementara itu, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, melihat modus yang sama antara kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri, tidak tertutup kemungkinan kasus korupsi terjadi di perusahaan BUMN lain. Terungkapnya dua kasus tersebut seolah menjadi fenomena puncak gunung es. Apabila Kejaksaan Agung telah mengetahui pola dan modus korupsinya, diharapkan kasus bisa dikembangkan ke perusahaan lain sejenis.
”Tidak tertutup kemungkinan, di perusahaan lain juga terjadi modus yang sama. Apalagi jika jajaran direksinya tidak kreatif dalam melakukan perputaran uang,” kata Abdul.
Abdul Fickar juga sepakat bahwa delapan tersangka kasus korupsi PT Asabri sebaiknya dikenai pasal TPPU. Pasal TPPU akan membantu negara melacak, dan menyelamatkan aset yang dirampas koruptor. Kejaksaan Agung bisa bekerja sama dengan Pusat Pelaporan, Penelusuran, dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK) untuk menelusuri aset pelaku.
”Dengan menjerat pelaku dengan pasal TPPU, ini juga akan lebih memberikan efek jera kepada koruptor,” katanya