Sikap Sebagian Parpol Dinilai Inkonsisten Terkait Revisi UU Pemilu
Sikap sebagian parpol terkait revisi UU Pemilu dinilai inkonsisten. Sebab, sebelumnya, revisi UU Pemilu telah disepakati bersama DPR dan pemerintah di Badan Legislasi DPR untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah partai politik dinilai inkonsisten karena mengubah sikap dengan drastis terkait rencana merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Padahal, revisi undang-undang itu dibutuhkan demi perbaikan kualitas tata kelola pemilu untuk jangka waktu panjang.
Sebelumnya, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menolak revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan alasan undang-undang itu masih bisa digunakan. PAN juga menilai, pembahasan UU Pemilu di tengah pandemi Covid-19 dianggap akan menyita perhatian pemerintah dan DPR yang seharusnya fokus pada penanganan pandemi. Sikap beberapa partai lain juga mulai mengambang beberapa hari terakhir.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini di Jakarta, Sabtu (30/1/2021), mengatakan, perubahan sikap itu terbilang cukup drastis. Sebab, sebelumnya, revisi UU Pemilu telah disepakati bersama antara DPR dan pemerintah di Badan Legislasi DPR untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Selain itu, pada akhir Pemilu 2019, ia juga melihat hampir seluruh partai politik dan seluruh pihak memiliki semangat yang sama untuk memperbaiki pemilu ke depan agar penyelenggaraan pemilu tak lagi memakan korban jiwa. Ini belum lagi soal dampak Pemilu 2019 yang mengakibatkan polarisasi di masyarakat.
”Jadi, ada kontradiksi antara perjalanan sikap fraksi-fraksi terkait dan pembahasan RUU Pemilu ini ketika di awal sampai posisi hari ini. Ya (politik itu dinamis), tetapi, kan, bukan berarti menunjukkan inkonsistensi begitu. Dinamis itu, kan, rasionalitasnya juga harus menunjukkan komitmen yang sejalan dengan upaya kita untuk memperbaiki pemilu,” ujar Titi.
Menurut Titi, revisi UU Pemilu merupakan hal yang wajar terjadi setelah setiap pergelaran pemilu. Sebab, seusai pemilu, seluruh pihak harus mengevaluasi dan meninjau kembali pengaturan-pengaturan yang tidak kompatibel.
Dari sisi obyektivitas, pergelaran Pemilu 2019 harus dievaluasi agar beban kerja penyelenggara tak lagi berat. Hal ini sangat penting karena UU Pemilu sangat detail mengatur jumlah petugas, tata cara kerja petugas, serta kerangka waktu soal distribusi logistik dan lain-lain.
”Saya melihat, kondisi obyektif kita memang ada hal yang harus kita perbaiki, terutama kompleksitas pemilu, tingginya surat suara tidak sah, serta kita tidak ingin polarisasi terjadi lagi,” tuturnya.
Baca juga : Pemerintah Abaikan Desakan Pemisahan Waktu Pilkada dan Pemilu di 2024
Titi mengapresiasi DPR karena telah menyusun UU No 10/2016 tentang Pilkada dan UU Pemilu dalam satu naskah. Sebab, ia melihat persoalannya selama ini adalah ada pengaturan yang berbeda antara UU Pemilu dan UU Pilkada untuk sebuah prosedur yang sama. Di antaranya, persoalan kewenangan lembaga penyelenggara pemilu, nomenklatur, dan penyelesaian sengketa.
”Kalau pemilu itu sengketa final di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), sedangkan pilkada di MA (Mahkamah Agung). Jadi, sinkronisasi ini bagus untuk pemilu yang lebih berkualitas, menuntaskan persoalan tumpang tindih, inkonsistensi, dan disharmoni pengaturan pemilu dan pilkada,” ucap Titi.
Selain itu, kelembagaan pemilu juga perlu ditata secara konsisten sehingga tidak ada lagi perbedaan desain kelembagaan antara pemilu dan pilkada. ”Selama ini pengaturan yang berbeda antara UU Pemilu dan UU Pilkada, itulah yang menciptakan kebingungan-kebingungan di lapangan,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia berharap, kompromi di antara parpol harus mengedepankan tujuan bersama yakni demi pemilu yang lebih berkualitas. ”Egonya tidak boleh dikedepankan. Ini saya bisa pahami kenapa kemudian beberapa partai tidak mau merevisi,” ujarnya.
Tetap menolak
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi menyampaikan, UU Pemilu tidak seharusnya diubah setiap pemilu meskipun dinamika masyarakat juga berubah. Sebuah UU tentang pemilihan setidaknya minimal berlaku untuk dua kali pemilu. Itu, menurut dia, juga terjadi di UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden yang diterapkan dua kali, yakni di Pemilu 2009 dan Pemilu 2014.
”Jadi, penerapan undang-undang terkait pemilu dua kali pelaksanaan, itu hal yang biasa saja. Kami mencoba memulai, menyakralisasi terhadap sebuah peraturan perundang-undangan yang kami bentuk supaya tidak setiap pemilu selalu ada perubahan, tetapi paling tidak ada evaluasi dua kali pemilu, baru bisa dilakukan perubahan,” katanya.
Baidowi membantah anggapan Titi bahwa ada perubahan sikap yang drastis dari partainya. Persetujuan terhadap revisi UU Pemilu di Baleg dan Komisi II merupakan pandangan mini fraksi yang diwakili ketua kelompok fraksi, bukan ketua fraksi. Pandangan fraksi baru disampaikan di rapat paripurna.
Namun, Baidowi menegaskan, PPP tetap bersepakat untuk tidak merevisi UU Pemilu. Lagi pula, kata dia, RUU Pemilu belum tentu disahkan menjadi Prolegnas Prioritas 2021 karena hingga kini RUU tersebut masih tertahan di Badan Musyawarah DPR. Adapun, agar RUU bisa dibawa ke rapat paripurna, RUU itu harus disepakati di rapat Bamus, yang berisi pimpinan fraksi dan pimpinan DPR.
”Artinya, kemungkinan tidak merevisi UU Pemilu dalam hal ini mengeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2021 itu masih sangat terbuka,” ujarnya.
Baidowi menyampaikan, dengan UU Pemilu yang ada sekarang, itu bukan berarti tidak bisa melakukan modifikasi atau perbaikan pemilu. Contoh, jika ada kerumitan teknis di pelaksanaan, syarat tertentu dari petugas penyelenggara pemilu bisa diperketat melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Lalu, terkait penggunaan teknologi informasi, KPU juga sudah memakai sistem informasi penghitungan suara (situng) dan bisa diatur di PKPU.
”Kita berikan kelonggaran, relaksasi di dalam PKPU demi kebaikan sistem pemilu kita, ya kita akomodasi. Tidak ada masalah. PKPU bisa melengkapi sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Proses politik
Wakil Ketua DPP Partai Amanat Nasional Viva Yoga Mauladi berpandangan, perubahan sikap dari fraksi yang menolak revisi UU Pemilu itu merupakan bagian dari proses politik. ”Tetapi, kami tidak menamakan bahwa itu adalah inkonsistensi, tidak. Tetapi, karena itu adalah merupakan bagian strategi setiap parpol,” katanya.
Secara prinsip, untuk saat ini, PAN berpandangan tetap menolak revisi UU Pemilu. Sebab, PAN menilai revisi ini tidak ada urgensinya. UU Pilkada harus tetap dilanjutkan dengan pelaksanaan pilkada pada November 2024.
”Jadi, ini adalah bagian yang harus dikerjakan oleh seluruh parpol. Jangan kemudian diartikan bahwa yang tidak menyetujui adanya perubahan undang-undang itu dianggap satus quo atau yang setuju melakukan perubahan undang-undang itu dianggap reformis, tidak begitu konteksnya. Tetapi lebih pada pertimbangan strategi untuk kepentingan bersama, urgensi,” ucap Viva.
Viva menilai, dalam pembahasan undang-undang tentang kepemiluan, tak ada sekat pembatas, entah itu parpol pendukung pemerintah, parpol pemerintah, atau parpol di luar pemerintah. Sebab, hidup dan matinya parpol ada di undang-undang tersebut.
”Lebih mengarah ke kepentingan suby ektif partai-partai politik. Kepentingan subyektif ini juga harus beriringan dengan kepentingan nasional,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa meminta publik mengesampingkan tafsir politik terkait rencana revisi UU Pemilu. Menurut dia, parpol yang mendukung pilkada digelar 2022 bukan berarti memberikan panggung terhadap para calon presiden. Di sisi lain, parpol yang menginginkan pilkada tetap digelar di 2024 bukan juga bertujuan menghilangkan panggung bagi para kandidat calon presiden.
”Kita hilangkan itu. Kita berpikirnya rasional. Ini momen yang paling pas untuk melakukan evaluasi menyeluruh tentang sistem kepemiluan kita. Untuk menata sistem kepemiluan ke depan. Yang jauh lebih penting agar pelembagaan format politik, format demokrasi semakin stabil. Dan kita sama-sama ciptakan undang-undang ini untuk berkali-kali pemilu, jangkauannya jauh ke depan,” tutur Saan.
Menurut Saan, jika revisi UU Pemilu ini terlalu riskan membahas isu-isu krusial seperti sistem pemilu, ambang batas pencalonan, Nasdem bersepakat agar isu-isu tersebut ditetapkan menjadi konvensi bersama. Namun, ia menekankan, paling tidak di revisi UU Pemilu ini juga berinovasi untuk memperbaiki isu-isu lain dari pengalaman-pengalaman yang ada.
Misal, jika ingin efisien dari segi biaya, jumlah petugas dikurangi. Setiap TPS akan didukung dengan perangkat teknologi. ”Soal teknologi informasi ini, yang kita masukkan ada rekapitulasi elektronik. Jadi kita ingin melakukan berbagai inovasi agar pemilu semakin baik,” katanya.
Selain itu, revisi UU Pemilu juga mengatur pembentukan peradilan khusus pemilu. Hal ini dinilai penting karena sekarang sering terjadi tumpang tindih kewenangan. ”Ini terjadi di mana-mana, bahkan baru-baru ini antarlembaga pemilu saling mendelegitimasi. Itu menjadi problem,” ucapnya.