Setelah disetujui DPR, jalan Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi Kapolri tinggal menunggu pelantikan oleh Presiden. Seusai pelantikan, Listyo diharapkan segera merealisasikan visi, misi, dan programnya.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah disetujui DPR, jalan Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi kepala Polri tinggal menunggu pengangkatan dan pelantikan oleh Presiden. Seusai pelantikan, Listyo diharapkan segera merealisasikan visi, misi, dan program yang dipaparkannya di hadapan Komisi III DPR saat uji kelayakan dan kepatutan.
Dalam Rapat Paripurna DPR, di Jakarta, Kamis (21/1/2021), DPR memberikan persetujuan Listyo menjadi kepala Polri menggantikan Jenderal (Pol) Idham Azis yang akan pensiun pada awal Februari mendatang. Rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani itu juga menyetujui pemberhentian Idham sebagai Kepala Polri.
Persetujuan DPR atas Listyo diberikan setelah dia melalui serangkaian uji kelayakan dan kepatutan calon kepala Polri oleh Komisi III DPR.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni dalam laporannya di rapat paripurna mengatakan, Komisi III secara mufakat menyetujui pemberhentian Idham dan pengangkatan Listyo sebagai kepala Polri.
”Komisi III menyadari dan memahami kecakapan, integritas merupakan prasyarat mutlak menjadi Kapolri. Atas dasar itu, Komisi III menyetujui pengangkatan Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang diusulkan oleh Presiden. Semoga Kapolri yang baru sungguh-sungguh dapat dan mampu meningkatkan citra dan wibawa lembaga Polri sebagai alat negara yang berperan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, menegakkan hukum, dan mengayomi masyarakat,” paparnya.
Janji Listyo
Saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Rabu (20/1/2021), Sigit bertekad melakukan transformasi kepolisian menuju polisi yang presisi, yakni prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Ia menginginkan wajah Polri berubah menjadi lebih humanis, melayani, akuntabel, dan mengedepankan keadilan restoratif.
Beberapa hal yang ditekankan Sigit, antara lain, adalah keinginannya untuk mengubah kepolisian sektor (polsek) menjadi sentra resolusi dan penyelesaian persoalan dengan keadilan restoratif. Dengan demikian, polsek yang ada di setiap kecamatan tidak lagi menjalankan peran penyidikan, melainkan fokus pada penyelesaian masalah.
Selain itu, dalam aspek penegakan hukum, Sigit ingin menghilangkan kesan penyalahgunaan kewenangan polisi saat mengatur lalu lintas. Oleh karenanya, salah satu programnya ialah menghilangkan tilang di lapangan dan menggantinya dengan e-tilang.
Hal lain, Sigit ingin menghidupkan kembali Pam Swakarsa sebagai upaya untuk melibatkan komunitas dalam menjaga ketertiban dan keamanan, serta meningkatkan kesadaran hukum warga. Pam Swakarsa ini sebelumnya telah dibentuk oleh Idham Azis melalui Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2020.
100 hari pertama
Pengajar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Mudzakkir, mengatakan, program Sigit secara umum baik, utamanya karena ingin mengedepankan keadilan restoratif. Perubahan peran polsek yang tidak lagi menjadi penyidik pun dipandang sesuai dengan arah kebijakan tersebut.
Ia mendorong agar program-program itu bisa segera direalisasikan, bahkan sudah terlihat dalam 100 hari kerjanya sebagai kepala Polri. ”Harus diterapkan dalam 100 hari kerjanya, yakni dengan menghentikan semua penyidikan di polsek, terutama terkait dengan kasus-kasus kecil. Segera ubah peran polsek, tidak lagi menyidik, tetapi menjadi penyaring kasus-kasus mana saja yang layak diteruskan ke polres dan mana yang bisa dimediasi serta diselesaikan di polsek,” tuturnya.
Mudzakkir mengatakan, saat ini banyak sekali kasus kecil yang ditangani polsek, bahkan seharusnya tidak perlu dilanjutkan ke pengadilan. Namun, pada kenyataannya, kasus-kasus itu jalan terus.
Oleh karenanya, supaya tidak sekadar menjadi slogan, tekad mewujudkan keadilan restoratif harus dilakukan dengan menghentikan semua proses penyidikan di polsek yang tidak signifikan dampaknya pada keamanan dan ketertiban masyarakat.
Terkait dengan tilang elektronik, pendekatan itu dipandang dapat diterapkan. Selama ini, tilang kerap diasosiasikan dengan penyelesaian di tempat, yang membuat wajah Polri tercoreng.
”Pendekatan itu memang harus diubah sehingga, ketika ada polisi, warga tidak takut, tetapi merasa aman. Ketika mereka melanggar, ya, nanti ada teknologi yang bisa membantu karena teknologi itu lebih jujur daripada manusia,” ucapnya.
Menyoal keinginan menghidupkan kembali Pam Swakarsa, Mudzakkir kurang sepakat dengan ide tersebut. Sebab, jika polisi memang bertransformasi menjadi polisi yang humanis, tidak perlu membuat organisasi baru di tengah masyarakat. Selain itu, Pam Swakarsa dikhawatirkan bertindak lebih ”polisi” daripada polisi itu sendiri.
Indonesia pernah punya pengalaman buruk dengan Pam Swakarsa di era pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itu, pendekatan semacam itu sebaiknya dihindari.
”Kalau polisi bertransformasi menjadi lebih humanis sehingga masyarakat menjadi tidak takut, lalu jangan kemudian ada pam swakarsa yang lebih keras atau garang. Ketakutan publik dapat berpindah, tidak lagi ke polisi, tetapi ke pam swakarsa,” ucapnya.
Mudzakkir menilai, untuk memastikan ketertiban dan keamanan, sebaiknya yang dikuatkan ialah sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang juga merupakan bentuk partisipasi masyarakat.
Kaji mendalam
Mengenai rencana perubahan peran polsek, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, usulan perubahan sudah lama disuarakan berbagai pihak. Salah satu alasannya, secara kapasitas, kemampuan penyidik di polsek belum sebaik yang bertugas di polres.
Namun, transformasi ini dinilai tidak mudah karena ada unsur kebiasaan buruk yang sudah lama berkembang sehingga harus diatasi bertahap. ”Kalau mau perubahan ini, sebaiknya bertahap. Misalnya, tidak langsung menghentikan peran penyidikan polsek, tetapi sementara tetap menangani kasus, dengan supervisi dan kendali tetap di polres. Ini sebagai upaya transisi,” ujarnya.
Sementara itu, soal konsep Pam Swakarsa yang ingin dihidupkan kembali oleh Sigit, Ismail menilai, harus dikaji mendalam dan sebaiknya tidak mengulangi persoalan di masa lalu.
Jika ingin melibatkan partisipasi masyarakat lebih aktif dalam kamtibmas, Polri di bawah Sigit sebaiknya mengembangkan community policing (pemolisian masyarakat), yang sebenarnya sudah ada, baik di tingkat RT maupun RW, dan dikenal dengan polmas.
”Polmas ini sama dengan kegiatan kemitraan masyarakat dan Polri, tetapi ini bukan organisasi yang diberi seragam dan berlaku seperti komponen cadangan Polri. Konsep yang berkembang di negara-negara lain, termasuk Eropa, community policing ini adalah tokoh-tokoh masyarakat yang dilatih atau diberi pemahaman hukum sehingga ia bisa mendeteksi dan mengidentifikasi gangguan keaman di lingkungannya,” tuturnya.
Konsep polmas itu juga tidak memungkinkan bagi masyarakat itu untuk main hakim sendiri karena mereka bagaimanapun bersifat pencegahan dan mengedepankan penyelesaian dengan damai. Namun, pada kondisi tertentu yang memenuhi tindak pidana berat, polmas melaporkannya kepada polisi.