Penanganan Perkara oleh Bawaslu Harusnya Tuntas Sebelum Penetapan Hasil Pilkada
Putusan Bawaslu yang mendiskualifikasi calon setelah hasil pilkada ditetapkan KPU, seperti terjadi dalam kasus PIlkada Bandar Lampung 2020, dianggap tidak tepat.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu yang mendiskualifikasi calon kepala/wakil kepala daerah setelah hasil pemilihan kepala daerah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum dianggap tidak tepat. Oleh karena itu, proses penanganan perkara oleh Bawaslu yang berkaitan dengan perolehan suara dan keterpilihan seharusnya tuntas sebelum hasil ditetapkan.
Pada penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bandar Lampung mendiskualifikasi pasangan calon Eva Dwiana-Deddy Amarullah saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan hasil Pilkada Bandar Lampung, dan tahapan pilkada sudah masuk tahapan sengketa selisih hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Putusan dijatuhkan pada Rabu (6/1/2021) karena pasangan nomor urut 03 itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Pelanggaran dimaksud, perbuatan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai, putusan untuk mendiskualifikasi calon saat sudah masuk tahap perselisihan hasil pilkada seharusnya menjadi domain MK. Putusan Bawaslu tersebut dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan pemilu selanjutnya.
”Jika paslon (pasangan calon) merasa mekanisme perselisihan hasil di MK terlalu lama, sedangkan masih ada peluang mengajukan laporan ke Bawaslu, mereka akan melakukan ini lagi,” kata Fadil saat webinar bertajuk ”Setelah Putusan Diskualifikasi Paslon oleh Bawaslu: Bagaimana Perselisihan Hasil Pilkada di MK?”, Senin (11/1/2021).
Selain Fadil, hadir sebagai pembicara, peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Viola Reininda, Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi.
Menurut Fadil, proses penanganan perkara yang berkaitan dengan perolehan dan keterpilihan oleh Bawaslu seharusnya diselesaikan sebelum tahapan penetapan hasil oleh KPU. Meskipun ada batas waktu hingga 14 hari untuk memeriksa laporan, Bawaslu seharusnya memerhatikan tahapan yang sedang berlangsung dengan mempercepat pemeriksaan agar tidak beririsan dengan tahapan yang lain.
”MK pun menegaskan di Pemilu 2019 bahwa penanganan pelanggaran dilakukan sebelum ada penetapan hasil oleh KPU. Keputusan itu seharusnya juga berlaku di pilkada karena alur tahapannya juga sama,” ucap Fadil.
Viola mengatakan, putusan tersebut menunjukkan masih ada tumpang tindih kewenangan antara Bawaslu dan MK. Oleh sebab itu, perlu diatur dengan lebih jelas batasan kewenangan Bawaslu dan MK, terutama soal pelanggaran administrasi yang berimplikasi pada perolehan suara dan kepesertaan.
”Saya khawatir kasus seperti ini akan terulang kembali di pilkada mendatang,” tuturnya.
Menurut dia, batas waktu 14 hari penyelesaian laporan sudah ideal. Namun, Viola meminta agar Bawaslu bisa menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran sebelum masuk tahapan penetapan hasil oleh KPU.
”Semestinya Bawasku bisa menahan diri untuk mengeluarkan rekomendasi diskualifikasi karena saat masuk tahap perselisihan hasil menjadi ranah MK,” ucap Viola.
Menurut Khairul, putusan yang diambil saat sudah masuk tahap perselisihan hasil di MK seharusnya hanya sebatas menyatakan bahwa ada pelanggaran TSM, tidak sampai memberikan diskualifikasi. Pasalnya, hal itu dinilai sudah menjadi ranah MK. Jika dipaksakan, putusan Bawaslu dikhawatirkan dapat mengganggu proses penyelesaian sengketa di MK.
Ray mengatakan, seharusnya ada batasan bagi Bawaslu untuk mengeluarkan putusan jika sudah masuk tahap penetapan hasil. Sebab, pelaksanaan pilkada didesain dengan jadwal dan tahapan yang terstruktur agar tidak mengganggu jalannya tahapan satu dengan yang lain.