Perginya Muladi, Konseptor Pembaruan Hukum Indonesia
Pemikiran Muladi telah mewarnai wacana hukum di negeri ini sejak tahun 1990-an. Gagasan-gagasannya berperan besar dalam pembaruan hukum nasional.
JAKARTA, KOMPAS — Kabar duka datang dari dunia hukum. Salah satu pemikir dan tokoh hukum Indonesia, Prof Dr Muladi, berpulang, Kamis (31/12/2020), di Jakarta. Muladi yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Mei 1943, memiliki rekam jejak yang panjang dalam jalannya pembaruan hukum di Indonesia, terutama di masa-masa peralihan dari Orde Baru ke era Reformasi.
Pemikirannya yang melintasi zaman terlihat dari berbagai ide dan pendapatnya yang dikutip Kompas, sejak era 90-an hingga belakangan ini di usia senjanya. Muladi terutama dikenal dengan keahliannya di bidang hukum pidana dan hak asasi manusia. Berlatar belakang seorang akademisi, Muladi juga pernah menjadi Rektor Universitas Diponegoro (Undip), Semarang (1994-1998).
Hingga 2019, Muladi masih menjadi Ketua Tim Perumus Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). RUU KUHP tersebut kini masih dalam pembahasan di DPR.
Pemikirannya yang melintasi zaman terlihat dari berbagai ide dan pendapatnya yang dikutip Kompas, sejak era 90-an hingga belakangan ini di usia senjanya.
Sejak mula ide-ide pembaruan hukum itu terlihat dari pandangannya mengenai hukum pidana, sebagai suatu ultimum remedium, yang tidak boleh semena-mena dikenakan kepada setiap orang, terutama jika hal itu menyangkut suatu persoalan administratif dan perdata.
Oleh karenanya, dalam opininya yang ditulis untuk Kompas, berjudul ”Peranan Hukum Pidana dalam Kasus Listrik”, terlihat kecenderungan sikapnya yang menempatkan pemidanaan sebagai jalan terakhir untuk mengatasi suatu konflik atau persoalan terkait dengan warga negara.
”Pemikiran semacam ini harus dihayati benar-benar oleh lembaga legislatif (DPR) agar jangan latah mencantumkan sanksi pidana dalam perundang-undangan yang dihasilkannya. Apalagi, bilamana sifatnya lebih mendekati hukum administratif atau perdata. Seleksi untuk mencantumkan hukum pidana perlu dilakukan agar tidak menimbulkan kesan kriminalisasi yang berlebihan (overcriminalization), yang sering kali menimbulkan masalah di dalam praktik dan salah-salah menimbulkan kesan penyalahgunaan sanksi pidana (misuse of criminal sanction),” ucapnya, (Kompas, 23/5/1992), saat menulis artikel berkenaan dengan UU Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, yang memuat sanksi pidana bagi pencurian listrik.
Baca Juga: Sang Begawan Hukum Itu Berpulang
Kritik Muladi terkait dengan kriminalisasi berlebihan itu sedikit banyak menunjukkan prediksinya di masa depan tentang bahaya dari tindakan kriminalisasi berlebihan. Kritik tersebut hingga kini masih relevan karena saat ini banyak sekali undang-undang yang mencantumkan sanksi pidana di dalam substansinya.
Kriminalisasi berlebihan itu juga menjadi salah satu tema yang didengungkan oleh kalangan masyarakat sipil sampai saat ini, terutama dari Institute Criminal Justice Reform (ICJR), yang menegaskan karakter undang-undang di Tanah Air cenderung punitif atau beraspek pemidanaan, pemenjaraan, atau penghukuman badan.
Muladi juga sejak jauh-jauh hari meneriakkan tentang perlunya pertimbangan keadilan di dalam penjatuhan hukuman mati. Isu hukuman mati sejak lama menjadi perdebatan karena hingga saat ini ketentuan itu tercantum di dalam KUHP. Namun, Muladi telah jauh hari mengatakan, hukuman itu bahkan sudah ketinggalan zaman.
Dalam berita Kompas, 11 September 1995, Muladi mengenalkan hukuman mati bersyarat. Artinya, terpidana diberi waktu memperbaiki hidupnya selama waktu tertentu. Jika perilakunya menjadi lebih baik, hukumannya dapat diubah menjadi hukuman sementara. Akan tetapi, apabila tidak, hukuman mati itu harus segera dilaksanakan.
”Peraturan tentang pidana mati di Indonesia, seperti diatur di dalam Pasal 10 KUH Pidana, sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Dari segi filosofis, kita mewarisi suatu jenis pidana yang di negerinya sendiri (Belanda) sudah tidak dikenal. Belanda sendiri sudah cukup lama menghapuskan hukuman mati itu. Hukuman mati waktu itu diadakan untuk mencegah perjuangan kita. Jadi, kalau kita mau mempertahankan hukuman mati, filosofinya harus berbeda,” kata Muladi dalam artikel berita tersebut.
Muladi juga sejak jauh-jauh hari meneriakkan tentang perlunya pertimbangan keadilan di dalam penjatuhan hukuman mati. Isu hukuman mati sejak lama menjadi perdebatan karena hingga saat ini ketentuan itu tercantum di dalam KUHP.
Pandangan yang lebih memerhatikan aspek-aspek kemanusiaan tersirat dari usulan hukuman mati bersyarat tersebut. Setelah hampir tiga dekade, sikap itu konsisten dilakukan Muladi. Di dalam draf revisi KUHP saat ini, di mana Muladi adalah Ketua Tim Perumus, hukuman mati diusulkan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus.
Hukuman mati itu diatur di dalam Pasal 67 RUKHP, yang berbunyi ”pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”. RKUHP memberi peluang pidana mati dijatuhkan bersyarat, yakni dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam batas waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri. Dengan demikian, pidana mati tidak perlu dilaksanakan.
Perspektif kemanusiaan dari pemikiran Muladi menyangkut hukum pidana di masa kini barang kali dianggap biasa, terutama karena pemikiran HAM telah berkembang luar biasa pasca-Reformasi. Namun, pemikiran itu visioner di masanya, terutama ketika pendapat tersebut disampaikan di era otoritarianisme negara yang bercokol kuat dan saat perspektif HAM belum menjadi arus utama dalam pemikiran hukum pidana.
Merujuk pada arsip-arsip pemberitaan Kompas, dunia HAM rupanya memang tidak asing bagi seorang Muladi. Ia pernah menjadi anggota Komnas HAM (1993-1998). Ia adalah salah satu dari komisioner pertama lembaga yang didirikan pada 7 Juni 1993 tersebut.
Kiprah Muladi di Komnas HAM antara lain terekam dari keterlibatannya dalam penyelidikan kasus-kasus kekerasan di Papua, yang ketika itu bernama Irian Jaya, terutama yang menyangkut kasus kekerasan di wilayah pertambangan PT Freeport. Selain itu, ia juga terekam terlibat dalam penyelidikan kasus kematian wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin.
Muladi sempat mengkritik pernyataan polisi yang mengatakan tidak ada dalang di balik pembunuhan Udin. Dalam berita Kompas, 7 September 1996, sebagai anggota Komnas HAM, Muladi menilai pernyataan kepala Polres Bantul ketika itu yang menyebutkan tidak ada dalang di balik kematian Udin sebagai suatu pernyataan yang terburu-buru.
”Saya menganggap pernyataan kepala Polres Bantul tersebut terburu-buru dan dalam kondisi yang emosional. Sebaiknya diteliti terlebih dahulu dan pelakunya segera ditangkap sehingga baru bisa dikatakan ada-tidaknya dalam kasus tersebut,” ucapnya.
Dalam pandangan hukumnya yang lain, Muladi juga sejak awal mengusulkan pencabutan UU Subversi. Dalam arsip berita Kompas, 24 Februari 1996, selaku anggota Komnas HAM, Muladi mengusulkan agar UU Subversi itu dicabut dan diintegrasikan ke dalam KUHP atau UU khusus. UU Subversi, menurut Muladi, disebut sebagai panic regulation. Citra itu yang harus dihilangkan oleh Indonesia.
”Kalau tetap dipertahankan, UU Subversi justru akan mencoreng muka Indonesia karena banyak pasal yang bertentangan dengan dokumen internasional,” ujarnya seperti dikutip dari artikel tersebut.
Usulan itu rupanya baru terealisasi ketika ia ditunjuk menjadi Menteri Kehakiman di Kabinet Reformasi Pembangunan di bawah Presiden BJ Habibie. UU Subversi itu dicabut pemerintah melalui UU No 26/1999 yang ditandatangani oleh Muladi sendiri. Muladi mengakhiri suatu regulasi yang selama Orba menjadi momok bagi kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Di dalam UU No 26/1999, bagian pertama dari konsideran UU itu menyebutkan HAM secara kodrati melekat pada diri manusia, yang meliputi hak memeroleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan di dalam hukum, keadilan dan rasa aman, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
”Sindrom Muladi”
Muladi juga merupakan salah satu menteri yang pernah duduk di kabinet dari dua presiden, yakni Soeharto dan BJ Habibie. Ia menjadi Menteri Kehakiman ke-35 di republik ini. Sejumlah koleganya memberikan harapan besar kepada Muladi sebagai Menkeh untuk membawa perbaikan hukum di Indonesia. Koleganya, Prof Satjipto Rahardjo, Guru Besar Sosiologi Hukum Undip, bahkan menulis khusus artikel di Kompas yang diberi judul ”Sindrom Muladi” dan terbit pada 9 April 1998.
Tulisan Satjipto itu berisi pengharapan besar kepada Muladi. Ia menyebut bahwa ”sindrom Muladi” itu sebagai kebangkitan dari suatu masyarakat yang tidak berdaya yang kemudian berusaha untuk bangkit mengalahkan segala mitos ketidakberdayaan tersebut. Muladi telah menjadi simbol kebangkitan dunia hukum Indonesia ketika itu. Terpilihnya Muladi menjadi Menkeh diibaratkan oleh Satjipto menandai suatu kebangkitan atau pembaruan hukum.
Muladi telah menjadi simbol kebangkitan dunia hukum Indonesia ketika itu. Terpilihnya Muladi menjadi Menkeh diibaratkan oleh Satjipto menandai suatu kebangkitan atau pembaruan hukum.
Koleganya yang juga praktisi hukum, Luhut MP Pangaribuan, dalam artikelnya di Kompas, 23 Maret 1998, sebelumnya juga menuliskan kesan kepada Muladi yang tidak seperti menteri lainnya, yang menunggu petunjuk Presiden, tetapi telah memiliki gambaran programnya sendiri. Luhut mengatakan, Muladi tampil dengan konsepnya tentang bagaimana merealisasikan programnya itu.
”Dia menggagaskan akan membentuk satu law society (istilah beliau legal community) yang terdiri antara lain dari hakim, advokat, polisi, jaksa, dan akademisi, yang menjadi sumber pemikiran dan sekaligus akses masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di bidang hukum. Terus terang, gagasan ini kalau sungguh diwujudkan akan semakin memberikan harapan munculnya satu pengadilan yang bersih dan berwibawa,” ungkap Luhut di dalam artikelnya.
Luhut juga menggarisbawahi tekad Muladi yang sejak mula ingin menjadikan peradilan bukan tempat mencari uang. Sebagaimana diberitakan Kompas, 17 Maret 1998, Muladi menegaskan kualitas sumber daya manusia di pengadilan amat penting peranannya. ”Dengan SDM yang bersih dan berwibawa, hukum akan menjadi baik. Saya berpedoman, pengadilan itu bukanlah tempat mencari uang, melainkan mencari keadilan. Tolong ditekankan itu,” kata Muladi dalam acara serah terima jabatan Menkeh dengan Oetojo Oesman, di Jakarta.
Namun, belum lama menerapkan program-programnya, serta memenuhi harapan masyarakat dan koleganya, terjadi Reformasi 1998, yang kemudian sedikit banyak mengubah arah program Muladi. Ia kembali diangkat sebagai Menkeh dalam kabinet Habibie, tetapi ia menyandang posisi itu selama satu tahun, 1998-1999. Ia juga merangkap sebagai Menteri Sekretaris Negara di kabinet Habibie.
Kendati tidak lagi menjadi menteri, pemikiran Muladi masih menjadi inspirasi. Bahkan, nomenklatur mengenai Kementerian Hukum dan HAM yang diputuskan di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, 2004, sesungguhnya adalah usulan Muladi. Dalam beberapa arsip Kompas disebutkan, Muladi adalah tokoh hukum pertama yang mengusulkan adanya kementerian negara yang mengurusi soal hukum dan perundang-undangan. Menurut Muladi, tugas itu tidak dapat diemban oleh Kementerian Kehakiman yang ketika itu juga mengurusi pengadilan dan Mahkamah Agung (MA).
”Menteri ini menjadi refleksi Indonesia sebagai negara hukum. Terlalu lunak kalau hukum dan perundang-undangan merupakan subsistem Departemen Kehakiman. Persoalan hukum dan UU adalah masalah kritis. Kekacauan yang terjadi selama ini sumbernya terletak di situ,” katanya (Kompas, 14 Juli 1997).
Baca Juga: Criminal Policy and ITE Law
Akademisi dan politisi
Selain seorang ahli hukum, Muladi bagaimanapun juga adalah seorang politisi yang berlatar belakang akademisi. Ia pernah menjadi Wakil Ketua DPD Golkar Jawa Tengah dan jabatan akhirnya di Golkar ialah Ketua Mahkamah Partai Golkar. Sekalipun aktif dalam kegiatan politik dan pernah pula menjadi anggota MPR, ia tetap menjadi pengajar. Di birokrasi, selepas menjadi menjadi menteri, ia menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) pada 2005-2011.
Karena aktivitasnya di bidang politik, pernah pula Muladi menghadapi kritik dari mahasiswanya di Undip karena ia menjadi calon anggota legislatif dari Golkar. Sebab, pada saat yang bersamaan, ia masih Rektor Undip. Di dalam berita Kompas, 17 Maret 1997, misalnya, ia menegaskan dirinya mencalonkan diri sebagai caleg selaku kader Golkar, tetapi bukan sebagai Rektor Undip. Ketika itu, ia menghadapi desakan dari mahasiswa agar membolehkan kehidupan politik di kampus karena ia sendiri adalah caleg Golkar.
”Jadi, harus dibedakan antara Rektor Undip dan pribadi Muladi. Sebagai warga negara, saya mempunyai hak untuk berafiliasi pada kepentingan politik tertentu. Sebelum menjadi Rektor Undip, saya pernah menjadi Wakil Ketua DPD Golkar Jawa Tengah. Jadi, saya menjadi caleg bukan sebagai Rektor Undip, melainkan sebagai kader Golkar. Menjadi caleg Golkar itu hak politik saya pribadi sebagai kader Golkar. Namun, saya tidak akan menyalahgunakan hak politik saya itu dan menerapkannya di kampus,” paparnya.
Kisah menarik lainnya tentang Muladi ialah ketika ia mengingatkan program Kuningisasi yang dilakukan oleh DPD Golkar Jateng. Baginya, jika Kuningisasi dilakukan dengan pemaksaan, hal itu melanggar HAM.
Kisah menarik lainnya tentang Muladi ialah ketika ia mengingatkan program Kuningisasi yang dilakukan oleh DPD Golkar Jateng. Ketika itu, ada laporan tentang pemaksaan setiap becak di Kota Tegal, Jateng, dicat kuning. Kuning adalah warna Partai Golkar. Sekalipun Muladi adalah kader Golkar, ia mengingatkan program itu agar tidak mengabaikan HAM.
”Kalau Kuningisasi dilaksanakan dengan pemaksaan, itu artinya telah melanggar HAM. Pemaksaan dalam program Kuningisasi justru lebih banyak merugikan daripada menguntungkan Golkar. Oleh sebab itu, DPD Golkar Jateng harus segera mengeluarkan juklak (petunjuk pelaksanaan) agar tidak ada lagi penyimpangan,” tuturnya (Kompas, 6 Oktober 1996).
Kini, Muladi telah berpulang. Peninggalan terakhirnya ialah konsep atau draf RUU KUHP yang kini sedang dalam tahap pembahasan di DPR. RUU KUHP itu menghadapi pro dan kontra dari masyarakat karena sejumlah substansi di dalamnya dipandang tidak beranjak dari semangat dekolonialisasi yang semua diniatkan.
Namun, Muladi menegaskan, RUU KUHP tidak seperti yang dipikirkan oleh publik. Beberapa pihak antara lain mengatakan, masuknya delik korupsi di dalam RUU KUHP akan menghilangkan sifat khusus pidana korupsi tersebut. Muladi mengatakan, hal itu tidak benar. RUU KUHP hanya mengatur delik intinya saja, sedangkan pengaturan tindak pidana itu tetap mengacu pada UU yang bersifat khusus. Mengenai hal ini, Muladi juga sedikit menyinggungnya di dalam artikelnya di Kompas, 27 November 2019.
”Untuk lima tindak pidana (tipikor, terorisme, pelanggaran HAM berat, pencucian uang, dan tindak pidana narkotika), ditentukan sebagai tindak pidana khusus dengan hanya memuat delik intinya saja (core crimes) karena erat kaitannya dengan berbagai konvensi internasional, adanya kandungan hukum acara khusus dan penyimpangan beberapa aturan hukum pidana materiil serta adanya kelembagaan khusus (KPK, BNPT, Komnas HAM, PPATK, BNN), masih bersifat dinamis untuk perubahan, tingkat viktimisasinya luas termasuk besarnya kutukan masyarakat (people condemnation) nasional dan internasional),” demikian tulis Muladi.