Bangsa ini kehilangan salah satu begawan hukum yang sumbangsih pemikirannya mewarnai perjalanan negeri ini. Muladi, Guru Besar Ilmu Hukum, yang pernah jadi menteri, hakim, dan jabatan lainnya, berpulang Kamis pagi ini.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar Ilmu Hukum Muladi meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Kamis (31/12/2020) pukul 06.45. Bangsa ini kehilangan seorang begawan hukum yang kaya ilmu dan bijaksana.
Muladi meninggal pada usia 77 tahun. Sebelum meninggal, Muladi beserta istri dan asisten rumah tangganya dinyatakan positif terpapar Covid-19. Mereka sama-sama dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, yang juga guru besar Universitas Gadjah Mada, saat dihubungi dari Jakarta, mengaku kehilangan sosok ayah yang ada pada diri Muladi. Saat menjadi Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Enny terlibat sebagai tim ahli perumus berbagai rancangan undang-undang, termasuk Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), bersama Muladi. Ia pun menjadi sangat dekat dengan almarhum.
Saat bersama-sama menjadi tim ahli RUU, Enny kerap bercerita tentang masalah apa pun baik masalah pribadi maupun masalah pekerjaan. Apalagi, jika terjadi silang pendapat antarpihak saat pembahasan, Muladi bisa menjadi wasit yang andal. Dengan kekayaan ilmunya, Muladi dapat menjembatani pertentangan antara pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, ketika terlibat dalam satu tim ahli bersama Muladi, Enny akan merasa sangat nyaman. Sebab, ada sosok bapak yang sifatnya mengayomi.
”Beliau adalah panutan yang mampu menjembatani perbedaan pendapat dengan doktrin, landasan filosofis yang kuat, sehingga kedua perbedaan itu dapat diakomodasi,” kata Enny.
Enny juga sangat mengagumi sosok Muladi. Menurut dia, Muladi adalah sosok ahli hukum yang tidak kering. Selain menjadi profesor hukum pidana di Universitas Diponegoro, Semarang, Muladi pernah menjabat di dua cabang kekuasaan, yaitu yudikatif dan eksekutif. Muladi pernah menjadi hakim. Dia juga pernah menjadi Menteri Kehakiman pada era Presiden Soeharto dan Menteri Sekretaris Negara pada masa Presiden BJ Habibie. Adapun pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Muladi menjabat Gubernur Lemhannas.
Sementara sebagai politisi Partai Golkar, Muladi juga pernah menjabat Mahkamah Partai Golkar. Banyaknya pengalaman dan keilmuan itu membuat Muladi piawai memahami berbagai kepentingan dan karakter kekuasaan.
”Beliau adalah ahli hukum yang tidak kering. Selain referensi teoretis yang kaya, pengalaman beliau membuatnya layak disebut begawan hukum,” ujar Enny.
Selain menjadi profesor hukum pidana di Universitas Diponegoro, Semarang, Muladi pernah menjabat di dua cabang kekuasaan, yaitu yudikatif dan eksekutif.
Kaya pengalaman
Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie mengaku sangat kehilangan atas kepergian Muladi. Jimly mengenal almarhum sudah sangat lama, sejak tahun 1990-an. Jimly mulai mengenal Muladi dengan perantara Prof Soedarto yang dulu menjabat sebagai rektor Undip Semarang. Saat berkunjung ke Semarang, Jimly kerap menginap di rumah Soedarto. Di situlah awal perkenalannya dengan Muladi.
”Saya sudah lama sekali mengenal Pak Muladi. Jadi, kenangan bersama beliau itu banyak sekali,” kata Jimly.
Kedekatan itu berlanjut saat masa transisi pemerintahan otoriter Soeharto ke era reformasi. Di kabinet Presiden Soeharto dan Wakil Presiden BJ Habibie, Muladi menjabat Menteri Kehakiman. Jimly sendiri diangkat sebagai asisten wapres bidang kesejahteraan masyarakat. Kemudian, rezim Soeharto turun, dan digantikan dengan era reformasi. Muladi masih menjabat Menteri Kehakiman, sedangkan Jimly sebagai ketua tim reformasi hukum Presiden Habibie. Karena masa transisi pemerintahan, dibutuhkan perubahan cepat terhadap banyak regulasi. Akhirnya, tim hukum presiden bersama Menteri Kehakiman banyak menghasilkan peraturan baru. Jimly menyebut saat itu terbentuk sekitar 67 UU baru. Karena banyaknya pekerjaan itu, tim bekerja keras, bahkan sampai lupa istirahat.
”Di situ saya mengenal Pak Muladi sebagai sosok yang kerjanya gesit, trengginas. Urusan yang membutuhkan kecepatan bisa beliau kerjakan dengan cekatan,” kata Jimly.
Karena jabatan Menteri Kehakiman ada di tangan Muladi, ide-ide progresif dapat direalisasikan dengan singkat. Itu karena etos kerjanya yang cepat dan tuntas.
Menurut Jimly, situasi di masa transisi sistem pemerintahan membuat pemerintah harus melakukan pembenahan sistemis dengan cepat. Selain itu, pemerintah juga harus dapat menyerap pesan moral dan aspirasi reformasi. Oleh karena itu, keputusan yang dibuat pun harus cepat untuk mengisi kekosongan hukum baik untuk penataan sistem politik, ekonomi, maupun hukum nasional. Karena jabatan Menteri Kehakiman ada di tangan Muladi, ide-ide progresif dapat direalisasikan dengan singkat. Itu karena etos kerjanya yang cepat dan tuntas.
Jimly juga mengenang sosok Muladi sebagai seorang ahli hukum yang kaya akan pengalaman sehingga sosoknya tidak kering dengan teori-teori hukum saja. Pengalamannya yang banyak saat menjadi menteri dan hakim membuatnya menjadi sosok yang mengayomi. Bahkan, saat terjadi silang pendapat saat berdiskusi, Muladi dapat menjembatani dengan argumen dan pengalamannya.
Kepergian Muladi membuat bangsa ini kehilangan sosok begawan hukum yang mumpuni. Tak banyak sosok ahli hukum yang memiliki banyak pengalaman di cabang kekuasaan seperti Muladi. Namun, Jimly juga bersedih karena di akhir hayatnya, Muladi tidak dapat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Muladi akan dimakamkan di Semarang atas permintaan keluarga. Selain itu, juga karena ada aturan bahwa jenazah yang dinyatakan meninggal karena Covid-19 tidak boleh dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.