Intoleransi Berdampak Buruk pada Demokrasi
Politisasi agama yang diwujudkan dalam politik identitas merusak berpotensi merusak demokrasi dan merongrong kebinekaan yang ada di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS – Meningkatnya intoleransi dan sikap beragama yang cenderung keras membawa dampak ikutan pada memburuknya kualitas demokrasi di Indonesia, terutama ketika agama dipolitisasi dan dimanifestasikan ke dalam kekuatan politik identitas yang membelah masyarakat. Pada titik ini, upaya mengatasi intoleransi serta praktik beragama yang legal dan formalistik, serta jauh dari nilai-nilai substantif, merupakan kewajiban semua anak bangsa yang peduli dengan masa depan bangsa.
Sebab, pada dasarnya, Indonesia dibangun atas dasar konsensus atau kesepakatan nasional, yang kini menjadi falsafah dan pandangan hidup bersama, yakni Pancasila. Indonesia bukan dibangun atas persepsi satu kelompok saja yang dominan atau mayoritas, melainkan pada kesepakatan bersama yang mengakomodir perbedaan dalam ruang kesatuan sebagai sesama warga bangsa.
Indonesia bukan dibangun atas persepsi satu kelompok saja yang dominan atau mayoritas, melainkan pada kesepakatan bersama yang mengakomodir perbedaan dalam ruang kesatuan sebagai sesama warga bangsa
Direktur Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Irfan Abubakar, dalam diskusi daring bertema “Merawat Toleransi dan Kebinekaan,” yang diadakan oleh ikatan alumni Universitas Brawijaya, Malang, Senin (28/12/2020), menegaskan, demokrasi dirugikan oleh adanya politik identitas. Dalam konteks ini, kelompok Islam tertentu dimanfaatkan, tetapi sekaligus juga memanfaatkan kekuatan politik guna memobilisasi massa dalam momen elektoral. Hasilnya, kedua-duanya tidak diuntungkan, dan demokrasi yang menjadi korbannya.
“Politik identitas merongrong setting kebinekaan kita, dan tidak menguntungkan demokrasi, karena praktik itu hanya memunculkan pengkubuan. Sebagai hasilnya, mereka menggunakan kebencian untuk membalas dendam secara moral dan politik,” ujarnya.
Baca juga: Kebinekaan Kita
Dengan kondisi seperti itu, agama sebagai inspirasi dalam demokrasi perlu dirumuskan dengan sungguh-sungguh bagaimana paradigma dan praksisnya. “Upaya Pak Jokowi merangkul rival politik dapat dimaknai untuk menghapuskan pengkubuan itu, termasuk dengan memilih Gus Yaqut (Yaqut Cholil Qoumas) dari NU (Nahdlatul Ulama) untuk membantu penyelesaian problem politik identitas. Dari sisi hukum, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian serta HRS (Rizieq Shihab) juga dilakukan oleh pemerintah,” katanya.
Irfan mengatakan, politik identitas yang mempertajam intoleransi di Indonesia bekerja secara berbeda dengan politik identitas di negara lain. Di banyak negara, politik identitas digunakan oleh kelompok minoritas untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya dalam menghadapi kekuatan penguasa. Namun, di Indonesia, politik identitas digunakan oleh kelompok mayoritas. Meski demikian, ini adalah bagian kecil saja dari mayoritas Islam.
“Mereka menggunakan narasi sebagai kelompok mayoritas yang terpinggirkan hak-haknya. Mereka mereduksi Islam, sehingga seolah-olah merekalah representasi Islam. Narasi itu dikembangkan melalui media sosial demi tujuan taktis politik,” kata Irfan.
Tujuan oportunis kelompok ini, sekalipun jumlahnya kecil, ialah untuk memuluskan niatan ideologis mereka. Untuk tujuan itu, mereka bekerja sama dengan kelompok politik tertentu. Hasilnya adalah kerugian bagi kedua belah pihak, serta mereduksi demokrasi.
Gejala mayoritanisme
Pembicara lain dalam diskusi itu, Kooordinator Jaringan Gus Durian, Alissa Wahid, mengatakan, problem terbesar dari intoleransi di Indonesia ialah salah kaprah dalam memahami demokrasi. Demokrasi dipandang sebagai pertarungan antara mayoritas dan minoritas. Dengan perspektif itu, muncul pandangan dari kelompok mayoritas bahwasanya karena mereka yang mayoritas, maka merekalah yang berhak menentukan segala hal yang terjadi di dalam ruang demokrasi.
“Perasaan sebagai mayoritas ini membuat mereka merasa yang lain harus tunduk kepada mereka. Merekalah yang mengendalikan sesuatu tanpa batas. Mayoritanisme ini dasarnya adalah sifat berkuasa atau power. Sementara kita tahu Indonesia tidak dibangun atas dasar konflik sosial, bukan menang kalah atau mayoritas dan minoritas. Akan tetapi, Indonesia dibentuk di atas kesepakatan bersama atau konsensi nasional, yakni Pancasila,” kata Alissa.
Problem terbesar dari intoleransi di Indonesia ialah salah kaprah dalam memahami demokrasi. Demokrasi dipandang sebagai pertarungan antara mayoritas dan minoritas
Gejala mayoritanisme tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain, seperti mayoritas Buddha di Myanmar, kelompok Hindu di India, atau mayoritas Islam di Bangladesh. Gejala yang ditunjukkan pun serupa, yakni merasa berkuasa atau berhak atas segala sesuatunya, dan kelompok yang lain diminta tunduk atas kepentingan kelompok mayoritas.
Alissa mengatakan, mayoritanisme ini pun bukan sentimen khusus pada agama tertentu. Karena selalu ada kecenderungan persepsi ini diidap oleh agama mana pun. Ketegangan antarumat beragama di banyak tempat, termasuk di Indonesia, ialah karena ada perasaan tidak aman (insecurity) dan akibat dari globalisasi. Ketika orang bercampur dari banyak latar belakang akibat globalisasi, orang pun mulai bertanya-tanya apakah kelompok pribumi dapat bertahan dari kelompok asing. Sentimen semacam inilah yang antara lain memicu ketegangan antarbudaya dan antarkelompok agama.
Baca juga: Memadamkan Sumbu Bom Intoleransi
Dalam konteks di Indonesia, Islam di Indonesia tidak bisa hanya dipotret dari sisi ekstremisme atau radikalisme saja. Sebab, perubahan yang sesungguhnya terjadi ialah di ruang arus utama, di mana eksklusivitas itu mulai menjadi arus utama publik. Dalam titik ini, menurut Alissa, ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi, tidak lagi dapat dijadikan argumen untuk memahami munculnya eksklusivitas di arus utama muslim di Indonesia. Apa yang sesungguhnya terjadi ialah pertarungan antara paradigma keagamaan yang substantif-inklusif dengan paradigm keagamaan yang ekslusif-legal-formalistik.
“Sekalipun mereka telah mendapatkan keadilan sosial, politik, dan ekonomi, tetapi ketika pertarungan paradigma ini tidak dimenangkan oleh paradigma keagamaan yang substantif-inklusif, intoleransi akan tetap terjadi, bahkan bisa makin tajam,” ucapnya.
Apa yang sesungguhnya terjadi ialah pertarungan antara paradigma keagamaan yang substantif-inklusif dengan paradigm keagamaan yang ekslusif-legal-formalistik
Untuk mencegah itu terjadi, menurut Alissa, yang kini harus dikembangkan ialah moderasi beragama. Prinsip Islam sebagai rahmatan lilalamin harus diwujudkan dalam tiga macam persaudaraan, yakni ukhuwah islamiyah (persaudaran dalam ikatan keagamaan), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan dalam ikatan kemanusiaan).
Wujudkan keadilan
Anggota Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif mengatakan, momen Covid-19 menunjukkan karakter masyarakat Indonesia secara telanjang. Masih ada harapan di sana-sini, karena dalam kesusahan masih bisa ditemukan rasa solidaritas yang tinggi di antara masyarakat. Hal ini menunjukkan nilai-nilai Pancasila benar-benar hidup, sehingga secara umum Indonesia masih menjadi rumah yang damai dan toleran. Kendati demikian, diakui masih terjadi pertikaian, dan ada upaya saling menjatuhkan, menyerang, dan mendiskreditkan pihak yang berbeda.
Menurut Yudi, intoleransi menguat di Indonesia karena ada kegagalan pembudayaan nilai-nilai, dan ini menjadi kritik bagi dunia pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dalam kondisi pendidikan yang lemah itu, warga bangsa merasa terancam dan cemas di tengah-tengah arus globalisasi.
Di dalam masyarakat yang majemuk, kekhawatiran itu pun termanifestasikan dalam berbagai bentuk kecemasan dan keraguan di antara mereka, dan antarkelompok.
“Mereka yang marjinal secara kultural ada kecemasan. Kalau aku agama ini bisa tidak ya masuk ke sektor publik. Lalu, kelompok yang marjinal secara ekonomi juga memiliki kekhawatiran. Misalnya, bisa tidak mereka menikmati kue ekonomi secara lebih setara dan tidak ada kesenjangan ekonomi yang melebar. Karena masing-masing kelompok ada kecemasan, akhirnya mereka mengembangkan reaksi masing-masing, dan memicu saling ketidakpercayaan,” ungkap Yudi.
Untuk mengatasi intoleransi itu, menurut Yudi, pemerintah harus mewujudkan tata kelola kenegaraan yang menjamin inklusivitas budaya, inklusivitas ekonomi, dan inklusivitas politik. Munculnya oligarkhi politik, antara lain adalah bentuk eksklusivitas politik yang juga perlu diatasi. Demikian halnya dengan upaya mengurangi ketimpangan ekonomi, serta menjamin perlindungan terhadap kemajemukan budaya.
“Itulah pokoknya Pancasila. Sila 1, 2, dan 3 tentang habblum minnallah (hubungan manusia dengan Tuhannya), dan habblum minnanas (hubungan manusia dengan manusia lainnya). Tujuannya adalah sila kelima, dan untuk mencapai itu harus melalui tata kelola yang ada di sila keempat Pancasila,” kata Yudi.
Anggota Ombudsman RI (ORI) Ahmad Suaedy mengatakan, peristiwa yang terjadi di Indonesia saat ini berkebalikan dengan karakter dasar warga Nusantara yang toleran dalam beragama, dan inklusif. Fenomena keberagaman masyarakat Indonesia saat ini yang makin puritan menunjukkan suatu titik balik.
“Sikap puritan adalah semacam basis yang membentuk sikap umum sekarang ini. Sikap puritan itu dipengaruhi oleh media sosial. Sikap intoleran itu terbentuk secara kultural, yakni dengan pengaruh tetangga, teman kerja, dan sebagainya,” kata Suaedy.
Dalam posisi ini, menurut Suaedy, pemerintah harus mengambil sikap melindungi yang lemah dan tersingkir. Penghapusan regulasi-regulasi yang diskriminatif mutlak dilakukan.
Dekan Fakultas Hukum Unibraw Ali Safaat mengatakan, hukum bagaimana pun adalah produk dari politik. Ketika hukum dimaknai sebagai produk politik, maka substansi dari hukum itu adalah kehendak mayoritas. Hal ini diakui tidak ideal, karena hukum seharusnya tidak berperspektif mayoritanisme. Namun, sejumlah kasus yang menggunakan pasal-pasal penodaan agama, secara jelas menunjukkan bagaimana hukum digunakan untuk kepentingan yang tidak ramah pada toleransi dan keberagaman.
“Akibatnya, substansi hukum itu ketika banyak paham dan cara pandang yang dieksploitasi dalam politik elektoral, maka subtansi hukum itu pasti menindas dan menimbulkan intoleransi dan eksklusivisme. Atau bahkan hukum menjadi bentuk formal dari intoleransi dan eksklusivisme itu sendiri,” ujarnya.