Berkembangnya mayoritarianisme telah menyebabkan sekelompok warga negara yang disebut sebagai minoritas mengalami keterpinggiran dan terancam kehilangan kesetaraan hak.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
Salah satu kekuatan bangsa Indonesia terletak pada kebinekaannya. Hal klasik yang sering diulang adalah bahwa ada beragam agama, ratusan bahasa daerah, ribuan pulau, dan banyak sekali suku bangsa.
Hal yang sering terlupa, selain suku-suku besar, seperti Jawa, Sunda, dan Melayu, Indonesia merupakan tempat bagi ras Melanesia terbesar di dunia, lebih besar dari gabungan Melanesia di enam negara: Papua Niugini, Timor Leste, Vanuatu, Kaledonia, Solomon, dan Fiji. Ras Melanesia itu mayoritas berada di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kebinekaan adalah aset dan kekayaan bangsa Indonesia. Dengan kebinekaan itu, bangsa ini berpotensi besar untuk memiliki perspektif yang kaya dalam melihat berbagai persoalan. Kesadaran tentang kemajemukan itu telah disadari jauh hari sebelum kemerdekaan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai tonggak sejarah yang sangat penting. Namun, justru karena memiliki sejarah yang panjang, banyak yang menganggap persoalan ini sudah selesai atau take it for granted, padahal kebinekaan itu selalu berubah (evolving) dan dinamis.
Persoalan terkait kebinekaan itu, misalnya, terdapat pada kenyataan bahwa meski kesadaran tentang kebinekaan sudah menjadi bagian dari bangsa ini. Namun, meminjam istilah Hajriyanto Thohari (2015), dalam realitas kadang ia masih bersifat segmented (terkotak-kotak) dan fragmented (terpisah-pisah). Beberapa orang bergaul dengan mereka yang seagama saja dan sebagian lagi merasa enggan hidup dengan mereka yang berasal dari etnis tertentu.
Di beberapa tempat terdapat juga kluster perumahan dan sekolah yang dikhususkan untuk agama tertentu. Bahkan, pemakaman pun harus dipisah berdasarkan agama. Fenomena penolakan untuk tinggal di rumah indekos bagi mereka yang beragama atau beretnis tertentu juga menunjukkan bahwa sebagian dari kita masih mengadopsi kebinekaan yang segmented dan fragmented tersebut.
Apa yang terjadi di Wisma Transito Mataram menunjukkan bahwa sebagian dari kita masih sulit hidup bersama dengan mereka yang berbeda. Di Transito, ada ratusan anggota Jemaat Ahmadiyah yang hidup dalam bilik-bilik kecil dari kain setelah mereka terusir dari rumah dan desanya pada 2006.
Ada sektarianisme dan eksklusivisme yang berkembang di sebagian masyarakat. Mereka berfantasi bahwa harmoni itu akan terjadi jika masyarakat homogen. Fantasi itu digambarkan oleh Slavoj Zizek dengan kalimatnya: ”If only they weren\'t here, life would be perfect, and society will be harmonious again” (Seandainya mereka tak ada di sini, maka kehidupan ini akan menjadi sempurna dan masyarakat yang harmonis akan terwujud kembali).
Secara politik, di antara faktor yang berpengaruh pada jalinan kebinekaan itu adalah pemekaran atau pembelahan daerah yang kadang berimplikasi pada menguatnya segmentasi dan fragmentasi kebinekaan. Ini terjadi di antaranya karena daerah baru yang dibentuk lebih didasarkan pada keinginan agar etnis atau suku tertentu bisa berkuasa di daerahnya.
Hal seperti ini lantas menjadi pembuka kotak Pandora tumbuhnya primordialisme dan feodalisme yang bisa juga berpotensi disalahgunakan demi memisahkan dari kemajemukan Indonesia. Beruntung pemerintah lantas melakukan moratorium pemekaran sejak 2016. Jika tidak, 300 proposal pemekaran yang ada di Kementerian Dalam Negeri bisa menambah persoalan segmentasi dan fragmentasi kebinekaan kita.
Satu lagi tantangan bagi kebinekaan kita adalah adanya tendensi mayoritarianisme (majoritarianism) pada sebagian orang. Mayoritarianisme ini sering dimaknai sebagai kehendak agar nasib bangsa hanya ditentukan dan dikendalikan oleh kelompok mayoritas, sedangkan yang minoritas cukup berperan pasif, minimal, atau diam saja (Sidney Jones 2019).
Mayoritarianisme di sini tentu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di provinsi tertentu dan dilakukan oleh etnis atau kelompok agama tertentu. Dalam merespons inilah perlu diingat kembali apa yang pernah disampaikan oleh Bung Karno tentang tujuan mendirikan negara ini: ”Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? ... Sudah tentu tidak! ... bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ”semua buat semua” (Sukarno 1947, 7).
Saya sangat sepakat dengan pendapat agar istilah mayoritas-minoritas itu tak seharusnya terjadi di kamus politik nasional dan dikotomi itu tak perlu ada dalam kebijakan pemerintah. Ini karena memang setiap warga negara pada hakikatnya adalah sama dan sederajat.
Namun, fenomena berkembangnya mayoritarianisme telah menyebabkan sekelompok warga negara yang disebut sebagai minoritas tersebut mengalami keterpinggiran dan terancam kehilangan kesetaraan hak. Jika istilah ini dihapuskan dari wacana publik, kesadaran tentang adanya ketidakadilan sosial itu akan menjadi terkaburkan.
Tantangan bangsa ini ke depan adalah bagaimana mengubah kemajemukan yang masih segmented dan fragmented itu menjadi mozaik yang indah dan memesona. Pengakuan terhadap kebinekaan tak cukup hanya berhenti dalam pengakuan dan pengetahuan tentang realitas bangsa Indonesia yang majemuk, tetapi perlu cara bagaimana merayakan dan mengisinya.
Pengakuan terhadap kemajemukan itu mensyaratkan tak adanya kelompok atau golongan yang merasa lebih penting daripada lainnya atau bahkan menafikan kontribusi kelompok lain. Dalam politik, pengakuan kemajemukan itu berarti sebuah penegasan bahwa kekuasaan dalam sistem demokrasi itu tidak boleh dimonopoli oleh oligarki tertentu.
Optimisme bahwa hal ini akan terwujud selalu ada, karena salah satu nilai dasar dari masyarakat Indonesia adalah gotong royong, semangat berbagi dan bekerja sama yang tinggi, serta kesediaan untuk berkorban untuk sesama. Kita juga memiliki khazanah kultural yang mengikat keragaman kita sebagai bangsa menjadi satu jiwa. Di antaranya, seperti ditulis di buku Sains45 (2016), ditopang oleh filosofi torang samua basudara, satu bangsa di tengah keragaman.
(Ahmad Najib Burhani, adalah Profesor Riset di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)