Penyemu atau ”impostor” bergentayangan di ranah maya. Ulah mereka nyaris membuat masa muda dua gadis rusak lewat pemalsuan informasi pribadi.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
Butuh waktu hampir dua tahun bagi Amanda (22) untuk kembali aktif di dunia maya. Sebelumnya, ia mengalami trauma setelah akun media sosialnya dibajak. Pembajak kemudian menyebarkan konten-konten tidak pantas kepada banyak orang. Peristiwa ini membuatnya tertekan, takut, dan malu.
Mahasiswi jurusan psikologi sebuah kampus di Jakarta ini untuk sementara menjauh diri dari lingkungan sosialnya. Sebab, setelah peristiwa ini, banyak pesan aneh masuk ke akun media sosial dan nomor ponselnya. Salah satunya, dia dikagetkan oleh kiriman foto kutang ke akun media sosialnya. ”Enggak tahu kutang siapa. Gue diamkan karena waktu itu beberapa teman juga dapat pesan kayak begitu,” ujar Amanda, Sabtu (13/12/2020).
Mendiamkan teror itu ternyata malah membuat pengirim konten kesetanan. Mereka makin intens mengirimkan foto tak pantas. Tidak hanya foto kutang, kali ini pengirim konten menambahkan foto vulgar, mulai dari payudara, alat vital, hingga adegan dewasa.
Teror itu makin hari makin menggila. Mereka memanipulasi foto wajah korbannya, termasuk Amanda, ke dalam foto-foto bugil yang bertebaran di internet. Belakangan, Amanda dan teman-temannya tahu, para penyemu berteman di Instagram sebelum mengambil foto-foto untuk dimanipulasi.
Ia ingat betul suatu hari salah satu penyemu (impostor) mengirimkan pesan ke Instagram-nya. Isinya berupa tangkapan layar profil Instagram yang berada dalam mode terkunci. ”Nama akunnya sama persis, cuma ditambahkan huruf S di belakangnya. Kaget dia lihat profil gue, kan, akunnya digembok. Dia juga bisa akses gue, di situ langsung mencelos, lemas banget,” katanya.
Amanda bergerak cepat dengan menghapus foto cerita khususnya berisi dirinya tidak sedang berhijab. Setelah itu, akunnya dimatikan untuk sementara. Akan tetapi, penyemu bergerak lebih cepat karena sudah mengambil semua konten di Instagram-nya.
Dari sinilah hampir setiap hari selama hampir dua tahun ada saja akun mengirimkan foto dan videonya di Line dan Instagram. Belum lagi bertebaran akun palsu atas namanya. Akun palsu itu pun kerap kali menandainnya di akun dewasa.
Si penyemu menyebar foto manipulasi seolah-olah dia kupu-kupu malam, video ketika sedang maskeran dengan editan seolah-olah tanpa busana, dan lainnya. Dari awalnya membalas ”ini siapa ya?”, dibaca saja, sampai didiamkan tidak mampu membuat mereka jera. Sekian lama berlalu, penyemu menyebar akun Line, Instagram, dan Whatsapp-nya. Akibatnya, dalam sehari ratusan orang meneleponnya.
”Takut, marah, mau muntah banget setiap liat pemberitahuan. Sampai uninstall semua aplikasi media sosial. Kondisi gue hancur banget. Takut mau ke kampus, takut mau main media sosial, menangis, menyalahkan diri sendiri, dan benar-benar salah satu titik terberat dalam hidup,” tuturnya.
Titik balik Amanda untuk bangkit tak lepas dari dukungan orangtua meskipun awalnya sulit memberikan pemahaman tentang situasinya kepada mereka. Teman-temannya pun mendukungnya dengan beragam cara, seperti melaporkan akun palsu supaya dimatikan oleh penyedia dan tidak membiarkannya sendirian.
Dukungan
Dukungan lain datang dari dosen pembimbingnya. Curahan hati dan sesi konseling membuatnya lebih tenang dan tidak terpuruk. ”Waktu itu gue bilang, gue takut kalau makin gue cuekin orang ini jadi makin penasaran dan yang dia lakukan makin parah,” ujarnya.
Dosennya menimpali dengan fokus untuk menguatkan diri supaya lebih siap menghadapi ulah penyemu ke depan. Tidak boleh balas dendam karena membuang waktu. Alangkah lebih baik membahagiakan diri sendiri.
Ia sempat membuat laporan kepada polisi. Prosesnya lumayan panjang meskipun ujung-ujungnya jalan di tempat karena sukar mencari jalan keluar dan bukti tidak jelas mengarah kepada pelaku.
Pengujung 2019, penyemu tidak intens lagi mengganggunya karena ia sempat mengganti nomor kontak. Ia mengingat pengalaman itu sebagai hari-hari penuh siksaan. ”Untuk korban lain di luar sana, cari pertolongan dan jangan menyimpan sendirian semua masalah,” ujarnya.
Apa yang dialaminya merupakan salah satu kekerasan berbasis jender secara daring, atau di kalangan aktivis disebut kekerasan berbasis gender online (KBGO). Kekerasan itu marak akhir-akhir ini seiring masifnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Bentuk kekerasan di ranah digital bisa berupa revenge porn (menyebarkan konten porno untuk merusak reputasi), cyber harassment (mengancam dan menakut-nakuti), cyber hacking (pembobolan data korban), impersonation (mengambil data pribadi korban), sexting (pengiriman pesan, gambar, video porno), dan cyber stalking (mengawasi, menguntit keseharian dengan kemudahan teknologi).
Korban lain adalah Adinda (22). Warga Jakarta Timur itu terkejut ketika tiga akun tak dikenal mengirim pesan langsung ke akun Instagram dan Line-nya, Jumat (27/11/2020). Ketiga akun itu menanyakannya unggahan tarif ”kencan” atas namanya.
Rupannya, asal muasal unggahan itu datang dari seseorang tidak dikenal di salah satu aplikasi media sosial anonim Whisper. Orang tersebut mengunggah status kencan dengan tarif Rp 500.000. Pelaku bahkan mengirimkan empat foto Adinda serta ID Line.
”Eh, gila, ini sudah tiga orang yang chat. Gue enggak tahu apa-apa, tiba-tiba ada yang tanya begitu. Mungkin dia (orang tidak dikenal) ambil foto dari Instagram gue. Jadi pengin hapus akun Line,” ucap Adinda saat menceritakan kejadian yang dialami.
Dinda, begitu sapaannya, belum pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya. Karena itu, dia sebisa mungkin berusaha mencari tahu si penyebar identitas pribadi lewat ketiga akun tersebut.
Kepada orang-orang yang menanyakan soal tarif kencan di akun Line-nya tersebut, Dinda langsung mencoba mencari tahu dari mana mereka bisa mendapatkan informasi tentang orang yang mencoba menyalahgunakan foto-fotonya. ”Siapa yang chat lu? Tahu orangnya? Atau dia cuma ngaku-ngaku? Bisa kasih lihat dia ngomong gimana enggak? Itu enggak bisa lacak ID atau profile atau apa gitu di akunnya?” demikian pertanyaan Dinda.
Akan tetapi, upaya Dinda tidak banyak membantu karena sulit melacak seseorang di aplikasi media sosial anonim seperti Whisper. Dinda pun hanya bisa memproteksi akun media sosialnya dan menghapus akun Line-nya yang sudah keburu tersebar ke orang-orang yang tak dia kenal.
”IG sudah dikunci. Line belum, ada rencana hapus dan buat baru. Harus lebih hati-hati sama aplikasi apa pun untuk tidak cantumin banyak data pribadi,” katanya.