Hasil survei Indo Barometer terkait Pilkada Solo, Tangerang Selatan, dan Medan menunjukkan masyarakat permisif terhadap calon yang berangkat dari dinasti politik. Dinasti politik justru mendongkrak elektabilitas calon.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil survei terbaru Indo Barometer terkait dengan pilkada di Kota Solo, Tangerang Selatan, dan Medan menunjukkan bahwa masyarakat permisif terhadap calon kepala/wakil kepala daerah yang berangkat dari dinasti politik. Dinasti politik justru mendongkrak elektabilitas calon.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari dalam keterangan kepada media, Senin (7/12/2020), mengatakan, Indo Barometer melakukan survei terhadap popularitas dan elektabilitas di tiga daerah pilkada, yaitu Kota Solo, Tangerang Selatan, dan Medan, pada 20-25 November 2020. Jumlah responden di tiap-tiap daerah 400 orang dengan margin of error 4,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Metode sampling yang digunakan adalah multistage random sampling.
Survei difokuskan di tiga daerah itu untuk melihat popularitas dan elektabilitas dari calon kepala/wakil kepala daerah yang berangkat dari dinasti politik. Dinasti politik dimaksud, pencalonan anak dan kerabat dari politikus nasional dan daerah.
Di Kota Solo, Jawa Tengah, ada calon wali kota Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak dari Presiden Joko Widodo. Di Medan, Sumatera Utara, ada Bobby Nasution yang merupakan menantu dari Jokowi.
Adapun di Tangerang Selatan, ada anak Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah; keponakan Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo; dan keponakan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmy Diany, Pilar Saga Ichsan.
Penerimaan masyarakat
Qodari menyebutkan, sebanyak 87,6 persen responden di Kota Solo mengaku dapat menerima Gibran sebagai anak presiden yang maju sebagai calon wali kota. Saat ditanya alasannya, responden mengatakan bahwa siapa pun boleh mencalonkan dan tidak melanggar aturan prosedural (29,5 persen). Responden juga mengatakan bahwa Gibran mengikuti jejak bapaknya (16,8 persen), dan masih muda atau berasal dari kalangan milenial (13,9 persen).
Penerimaan masyarakat terhadap Gibran ini diprediksi juga akan memuluskan langkahnya menjadi kepala daerah. Elektabilitas Gibran-Teguh Prakosa saat ini mencapai 67,8 persen. Adapun lawan politiknya, Bagyo Wahyono-Suparjo Fransiskus Xaverius, hanya 4 persen. Keunggulan dari Gibran juga banyak dipengaruhi karena masyarakat puas terhadap kinerja Jokowi selama menjabat presiden.
Di Kota Medan, sebanyak 79,3 persen responden juga menerima Bobby Nasution sebagai menantu Jokowi yang maju sebagai calon wali kota. Alasannya, karena setiap warga negara memiliki hak yang sama (26,1 persen), ingin perubahan lebih baik (8,9 persen), pintar atau intelek (8,6 persen), serta berasal dari putra daerah (8,3 persen).
Meskipun masyarakat menerima latar belakang Bobby, tantangan yang dihadapi tak mudah. Dari hasil survei, elektabilitas pasangan Bobby Nasution-Aulia Rachman memang masih unggul atas kompetitornya. Namun, masih ada 27,8 persen responden yang masih merahasiakan pilihannya dan 27,3 persen responden belum memutuskan.
Di Tangsel, penerimaan terhadap Pilar Saga Ichsan sebanyak 59,2 persen. Adapun sebanyak 38,6 persen tidak menjawab. Penerimaan terhadap keponakan Wali Kota Tangsel ini lebih besar daripada calon dari dinasti politik lainnya. Penerimaan terhadap Siti Nur Azizah Amin hanya 39,6 persen, sedangkan 53 persen tidak menjawab. Adapun penerimaan dari Rahayu Saraswati sebesar 55,2 persen dan sebanyak 40,8 persen tidak menjawab.
Tingginya penerimaan Pilar tersebut diduga karena pengaruh politik Airin, dan bekas Gubernur Banten Atut Chosiyah. Pilar juga keponakan dari Atut dan anak dari Bupati Serang Tatu Chasanah. ”Popularitas Pilar Saga Ichsan ini juga tinggi karena dia maju bersama mantan Wakil Wali Kota Tangsel Benyamin Davnie. Secara terbuka, Wali Kota Tangsel Airin pun mendukung paslon ini sehingga meningkatkan elektabilitasnya,” kata Qodari.
Elektabilitas pasangan calon Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan unggul, yaitu sebesar 34 persen. Sementara elektabilitas Muhamad-Rahayu Saraswati hanya 20,8 persen, diikuti Siti Nurazizah-Ruhamaben 10,5 persen.
Terkait dengan permisifnya publik terhadap dinasti politik, Qodari menilai hal itu beralasan karena dari sisi prosedural tidak ada aturan yang dilanggar.
Setelah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2015, perdebatan hukum soal dinasti politik bisa dikesampingkan.
Menurut Qodari, faktor ketokohan dalam politik kekerabatan sebenarnya tidak masalah jika tidak digunakan untuk penyalahgunaan wewenang. Dalam praktiknya, dinasti politik kerap membuat pejabat publik menyalahgunakan wewenang, termasuk praktik korupsi.
”Tidak ada kepastian juga, walaupun dia berasal dari dinasti politik, akan langsung menang. Orang masih mempertimbangkan modal sosialnya juga. Kalau kinerja kerabat politiknya jelek, dia juga bisa kalah,” kata Qodari.
Secara terpisah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Moch Nurhasim, mengatakan, budaya permisif warga terhadap dinasti politik ini dapat berakibat buruk karena berpotensi dimanfaatkan oleh parpol. Parpol yang bersikap pragmatis dalam menghadirkan calon pemimpin akan semakin memunculkan kader partai dadakan.
”Budaya permisif terhadap dinasti politik ini kemudian dikemas oleh parpol dengan narasi yang tidak mendidik dengan menonjolkan patron klien. Secara jangka panjang, ini dapat membuat pengisian jabatan politik condong pada dinasti politik itu sendiri,” kata Nurhasim.
Perbaikan tata kelola pencalonan
Sementara itu, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, permasalahan di hulu yang harus diperbaiki agar dinasti politik tidak tumbuh subur adalah memperbaiki tata kelola pencalonan di internal parpol. Harus ada mekanisme yang adil dan transparan di internal parpol agar kader parpol dapat kesempatan yang sama dengan calon dari dinasti politik. Jangan sampai kader dinasti politik itu terus-menerus mendapatkan kemewahan untuk kemudahan pencalonan.
”Harus ada mekanisme yang adil di internal parpol, dan itu hanya bisa dicapai jika ada perubahan tata kelola pencalonan,” kata Arya.
Sikap permisif masyarakat terhadap dinasti politik, ujar Arya, justru dapat dibajak oleh parpol untuk bersikap semakin pragmatis. Tanpa ada perubahan sistem tata kelola pencalonan, parpol akan terus-menerus memberikan kemewahan kepada calon yang berasal dari politik kekerabatan.
Selain itu, dari sisi masyarakat, pendidikan politik juga harus digencarkan. Masyarakat juga harus diberi pemahaman bahwa sirkulasi elite harus diganti secara berkala.
Sebab, pemusatan kekuatan pada dinasti politik akan melanggengkan oligarki. Pemusatan kekuatan secara terus-menerus pada kelompok tertentu itu juga rawan penyalahgunaan wewenang, termasuk korupsi.