Mensos Juliari Batubara ditahan KPK terkait dugaan suap bantuan sosial Covid-19 di Jabodetabek. Di tengah tingginya potensi korupsi saat pandemi, hukuman terhadap koruptor perlu diperberat
Oleh
Tim Kompas
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Korupsi di tengah pandemi Covid-19 merenggut hak masyarakat kecil yang sedang kesulitan akibat dampak sosial ekonomi Covid-19. Tindakan itu sekaligus mencederai solidaritas masyarakat yang saling membantu sesama untuk melawan dampak dari penyakit itu. Oleh karena itu, pemberatan hukuman pada pelaku korupsi perlu dipertimbangkan guna menekan korupsi ketika peluang terbuka saat pandemi.
Menteri Sosial Juliari P Batubara menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi Covid-19, Minggu (6/12/2020) dini hari. Selain Juliari, dua pejabat pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos bersama dua orang dari pihak swasta juga ditetapkan sebagai tersangka.
Terkait itu, Presiden Jokowi mengatakan, menyerahkan sepenuhnya proses hukum terkait kasus dugaan suap bansos kepada KPK. Ia tidak akan melindungi pihak yang terlibat korupsi. Pemerintah, kata Presiden, konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sementara terkait pengisian posisi menteri sosial (mensos), Presiden Jokowi akan menunjuk Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk melaksanakan tugas Mensos.
Dua pekan terakhir, KPK antara lain juga menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Wali Kota Cimahi (Jawa Barat) Ajay Muhammad Priatna, dan Bupati Banggai Laut (Sulawesi Tengah) Wenny Bukamo. Awal Juli, Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Ismunandar juga ditangkap KPK.
Pada awal Desember lalu, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis kepada Kompas mengatakan, dibandingkan sebelum pandemi, korupsi saat pandemi bisa lebih tinggi. Selain karena anggarannya besar, pemerintah serba cepat dalam penggunaan anggaran. Kecepatan penyerapan ini mendorong pejabat fleksibel menerapkan aturan. Namun jika itu tak diikuti integritas dan itikad baik, maka bisa menjadi celah korupsi.
Alokasi anggaran penanganan Covid-19 di pemerintah pusat mencapai Rp 692,2 triliun sedangkan di anggaran daerah mencapai Rp 74,7 triliun. BPK masih mengaudit penggunaan dana itu, yang ditargetkan tuntas sebelum akhir tahun ini.
BPK, lanjut Harry Azhar, menemukan pembelian alat pelindung diri baju hazmat dengan harga yang terlalu mahal. Temuan sementara BPK, ada instansi yang membeli hazmat per item Rp 800.000, pada April-Mei. Padahal, harga di pasaran Rp 150.000.
“Ada juga temuan soal bansos saat pandemi Covid-19. Namun, kami belum bisa simpulkan karena masih diaudit. Kalau soal bansos itu, saya kira kesempatan (korupsi) memang ada,” ujarnya.
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh menguatkan indikasi penyimpangan yang masif saat pandemi. Tidak hanya yang terkait penanganan Covid-19 tetapi juga di sektor lain. “Potensi terjadinya korupsi ada di berbagai sektor, apalagi dalam penanganan pandemi Covid-19 semua dituntut bertindak cepat dan tepat. Aturan dilonggarkan. Nah kalau sudah longgar begitu, peluang fraud, penyimpangan, besar,” tambahnya.
Menurut dia, indikasi penyimpangan kebanyakan terjadi saat pengadaan barang dan jasa. BPKP telah menerima setidaknya 12 aduan penyimpangan. Pengaduan itu telah selesai ditelaah dan sedang ditindaklanjuti dengan audit.
“Mengingat BPKP lebih mengedepankan pencegahan daripada penindakan, maka dengan cepat BPKP memberikan rekomendasi yang diperlukan, baik di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah, sehingga kelemahan yang ada dapat segera diatasi dan tidak terjadi korupsi dalam penanganan pandemi,” katanya.
Mensos ditahan
Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, Juliari menyerahkan diri ke KPK Minggu (6/12) pukul 02.50 WIB. Selain Juliari, pejabat pembuat komitmen (PPK) Adi Wahyono juga menyerahkan diri sekitar pukul 09.00 WIB.
Sebelumnya, Minggu dini hari, tiga tersangka lain telah ditahan, yakni Matheus Joko Santoso (PPK di Kemensos) sebagai penerima suap serta Ardian I M dan Harry Sidabuke dari pihak swasta sebagai pemberi suap.
Firli mengatakan, setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan para saksi dan ditemukan bukti permulaan yang cukup, penyidik menyimpulkan Juliari dan Adi patut diduga melakukan korupsi. “Untuk kepentingan penyidikan, KPK menahan para tersangka,” kata Firli.
Kasus ini diawali adanya pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial 2020 senilai sekitar Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dalam dua periode.
Juliari menunjuk Matheus dan Adi sebagai PPK dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung rekanan. Diduga ada kesepakatan fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan rekanan kepada Kemensos melalui Matheus.
”Untuk fee tiap paket bansos, disepakati MJS (Matheus) dan AW (Adi) Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bansos,” kata Firli.
Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar. Pemberian dilakukan tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar. Uang itu selanjutnya dikelola Eko dan sekretaris di Kemensos, Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari untuk membayar keperluan pribadi Juliari.
Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari Oktober sampai Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari. Dalam rangkaian penangkapan pada kasus ini, KPK menyita uang sekitar Rp 14,5 miliar.
Terkait kasus Juliari, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, mengatakan, partainya mendukung sepenuhnya berbagai langkah pemberantasan korupsi. Adapun, Juliari merupakan kader PDI-P. ”Seluruh anggota dan kader partai agar benar-benar mengambil pelajaran dari apa yang terjadi,” katanya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho mengatakan, pandemi membuat berbagai proyek dan kebijakan didorong disampaikan secara cepat. Sebab rakyat membutuhkan anggaran dikucurkan dengan cepat untuk menanggulangi dampak pandemi.
Karena itu, anggaran yang dikeluarkan harus transparan, baik sasaran penerima maupun jumlah bantuan yang diberikan. Perlu laporan berkala secara terbuka yang dapat diakses publik secara detail.
Pemberatan
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Gomar Gultom mengatakan dugaan korupsi yang melibatkan Mensos Juliari menunjukkan ada krisis empati pada elite bangsa. Di tengah kesulitan masyarakat akibat dampak pandemi Covid-19, pejabat tega meminta fee bansos Rp 10.000 untuk keperluan pribadi.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Majelis Agama Buddha Indonesia Philip K Wijaya berpendapat, di masa sulit pandemi Covid-19, seluruh elemen bangsa tengah bersatu padu dalam solidaritas untuk mengatasi kesulitan hidup. Bantuan tidak hanya datang dari pemerintah.
Banyak warga saling bantu warga. Menurut dia, amat disayangkan, korupsi terjadi di pucuk pimpinan kementerian, di mana seharusnya memberikan perlindungan dan mengurus hajat hidup orang banyak, khususnya warga miskin.
“Jika memang ada delik hukum yang mengatur bahwa tindak pidana yang dilakukan pada saat bencana atau anggaran bencana bisa diperberat. Saya sepakat agar penuntut dan hakim menggunakan pasal tersebut untuk menghukum koruptor,” kata Sekretaris Utama Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menuturkan, pemberatan hukuman dapat dengan hukuman penjara lebih berat, atau denda yang lebih besar. (BOW/DEA/PDS/REK/NTA/APA/APO)