Pandemi Covid-19 Belum Terkendali, LaporCovid-19 Minta Penundaan Pemungutan Suara
LaporCovid-19 meminta hari pemungutan suara Pilkada 2020 yang akan berlangsung 9 Desember ditunda. Sementara itu, KPU tetap melaksanakan tahapan pilkada sesuai jadwal dengan protokol kesehatan Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Meningkatnya kasus positif Covid-19 di Indonesia akhir-akhir ini dinilai koalisi masyarakat LaporCovid-19 sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, mereka meminta hari pemungutan suara Pilkada 2020 yang akan berlangsung 9 Desember ditunda.
Inisiator LaporCovid-19, Irma Hidayana, dalam keterangan yang diterima, Minggu (6/12/2020), mengatakan, sudah lebih dari setengah juta penduduk Indonesia terpapar Covid-19 hingga awal pekan Desember ini. Setidaknya 17.000 orang meninggal dengan status positif Covid-19. Irma meyakini, jumlah korban sebenarnya bisa lebih tinggi karena buruknya pendataan. Di lapangan, masih ditemukan kesenjangan data antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Jika merujuk pada data LaporCovid-19, laporan dari pemerintah kabupaten dan kota, total korban Covid-19, termasuk pasien suspect dan probable, sebanyak42.602 jiwa. Secara nasional, tren penambahan kasus baru Covid-19 juga kian meningkat. Bahkan, sejak 29 November, ada penambahan hingga 6.000 kasus baru pasien positif Covid-19. Penambahan kasus baru itu mencapai puncaknya pada Kamis (3/12/2020) dengan 8.389 kasus.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, 23-29 November merupakan peningkatan tertinggi pertambahan kasus Covid-19 per 100.000 penduduk Indonesia selama pandemi. WHO mencatat ada peningkatan kasus Covid-19 baru, yaitu 13,5 orang per 100.000 penduduk. Sebelumnya, peningkatan kasus baru hanya 11,3 orang 100.000 penduduk.
Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya lima provinsi yang telah memenuhi standar tes per 1.000 penduduk per minggu, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatra Barat, dan Kalimantan Timur. Indikator ini menunjukkan bahwa pandemi semakin tidak terkendali dan membahayakan kesehatan warga.
Baca juga: Penambahan Kasus Catat Rekor, Kepala Daerah Diminta Tingkatkan Pengendalian Penularan
”Ironisnya, jumlah kasus itu didapatkan dari pemeriksaan PCR yang masih minim dari ambang batas minimal yang ditetapkan WHO. Namun, sayangnya angka tersebut tidak mampu dijadikan indikator untuk menunda pilkada,” imbuh Irma.
Selain itu, berdasarkan data Pusara Digital LaporCovid-19, lebih dari 390 tenaga kesehatan meninggal selama pandemi Covid-19. Di tengah kelelahan tenaga kesehatan, kapasitas layanan unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19 juga dilaporkan penuh di banyak daerah.
Akibatnya, banyak pasien dengan gejala Covid-19 sulit mendapatkan perawatan. Ironisnya, pilkada justru tetap dijalankan saat tenaga kesehatan dalam kondisi kelelahan.
Kapasitas tes minim
LaporCovid-19 khawatir, dengan laju penularan yang tinggi itu, pilkada yang diadakan di 270 daerah pada 9 Desember nanti akan meningkatkan skala wabah. Meskipun pilkada dilakukan di 37 kota, 224 kabupaten, dan 9 provinsi, pilkada tetap berdampak bagi 309 kabupaten atau kota. Selain itu, mobilitas pilkada juga terjadi lintas daerah, termasuk datangnya pengurus partai dari Jakarta ke daerah pilkada. Ini menyebabkan risiko penularan kian meluas secara nasional.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh para sukarelawan Koalisi Warga untuk LaporCovid-19, hingga 4 Desember, 270 daerah pilkada masih memiliki kasus positif aktif tinggi dengan kasus aktif 43.377 orang. Cakupan tes di daerah tersebut juga masih rendah. Ada 21 wilayah yang memiliki lebih dari 500 kasus positif aktif dan 65 kota/kabupaten memiliki lebih dari 100 kasus positif aktif. Sebanyak empat wilayah memiliki lebih dari 1.000 kasus positif aktif, yaitu Kota Depok, Jawa Barat (2.407); dua kota di Jawa Tengah, yaitu Solo (1.041) dan Wonosobo (1.439); dan Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah (1.270).
”Meskipun kasus Covid-19 aktif di wilayah pilkada cukup tinggi, cakupan pemeriksaan PCR masih rendah. Ini menandai buruknya upaya pengendalian wabah,” kata Irma.
LaporCovid-19 juga mencatat, saat ini setidaknya ada 76 calon kepala daerah yang akan mengikuti pilkada pernah dan sedang terinfeksi Covid-19. Mereka adalah 44 calon bupati, 19 calon wakil bupati, 10 calon wali kota, dua calon wakil wali kota, dan satu calon gubernur.
Empat di antaranya bahkan meninggal dalam status positif Covid-19. Calon yang meninggal itu di antaranya adalah calon wali kota Dumai, Riau, Eko Suharjo; calon wali kota Bontang, Adi Darma; calon bupati Bangka Tengah, Ibnu Saleh; dan calon bupati Berau, Muharram.
Sementara lima calon kepala daerah yang terpapar Covid-19 masih dalam perawatan intensif. Mereka adalah calon gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran; calon bupati Tapanuli Selatan, M Siregar; calon bupati Kabupaten Indramayu, Daniel Muttaqien; calon wakil bupati Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Syahban Sammana; dan calon bupati Lamongan, Abdul Rouf.
Melihat kondisi terkini penularan Covid-19 itu, LaporCovid-19 meminta agar pemerintah menunda pelaksanaan pilkada hingga pandemi Covid-19 terkendali. Situasi terkendali yang dimaksud adalah tidak ada penambahan kasus Covid-19 baru, peningkatan kapasitas tes PCR, kontak lacak, dan fasilitas layanan isolasi bagi pasien Covid-19.
LaporCovid-19 khawatir, jika pilkada tetap berlangsung, akan menimbulkan kluster baru penularan, serta potensi kolapsnya rumah sakit dan tenaga kesehatan. Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pemungutan suara jemput bola bagi pasien positif Covid-19 juga dianggap membahayakan kesehatan petugas. Penggunaan tes cepat antibodi bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) juga disayangkan karena tidak bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis.
”Jika pemerintah abai terhadap situasi tersebut, artinya pemerintah melakukan tindakan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan publik. Jika sampai ada peningkatan konfirmasi positif akibat kluster pilkada, apalagi sampai ada korban jiwa, ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis,” tutur Irma.
Disiplin protokol kesehatan
Sementara itu, dalam berbagai kesempatan, menanggapi aspirasi publik terkait penundaan pilkada, baik KPU, Kementerian Dalam Negeri, maupun Komisi II DPR, selalu mengatakan bahwa tidak ada yang dapat memastikan kapan pandemi Covid-19 akan selesai. Oleh karena itu, agenda pilkada serentak 2020 tetap dilangsungkan dengan penyesuaian regulasi mengenai protokol kesehatan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, kala itu, mengatakan, sirkulasi elite atau pergantian pemimpin daerah harus tetap dijalankan meski terkendala pandemi Covid-19. Menurut dia, tidak boleh ada kekosongan pemerintahan di daerah akibat pandemi.
Pucuk pimpinan daerah juga tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada penjabat (pelaksana tugas). Sebab, penjabat tidak memiliki wewenang untuk membuat kebijakan-kebijakan strategis daerah. Saat masa pandemi Covid-19, kebijakan strategis daerah itu dibutuhkan untuk penanganan Covid-19 dan dampak ekonominya.
Sementara itu, anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, saat dikonfirmasi mengatakan, hari pemungutan suara tinggal tiga hari lagi. KPU tetap melaksanakan tahapan pilkada sesuai jadwal yang ada. KPU telah mempersiapkan tempat pemungutan suara (TPS) dengan memperhatikan penjarakan fisik, dan protokol kesehatan. Oleh karena itu, warga diminta untuk tetap menggunakan hak pilihnya. Seluruh pihak juga diminta untuk mengutamakan disiplin protokol kesehatan.
”Tahapan pilkada bukan hanya hari pemungutan suara 9 Desember. Kami sudah melaksanakan tahapan pilkada yang disesuaikan dengan protokol kesehatan. Karena sudah tinggal tiga hari, kami meminta dukungan dari masyarakat untuk tetap menggunakan hak pilihnya, dan berdisiplin dengan protokol kesehatan,” kata Dewa.
Di masa pandemi Covid-19, TPS sudah didesain khusus dengan protokol kesehatan. Seluruh petugas KPPS akan menggunakan alat pelindung diri, seperti masker, perisai wajah, dan sarung tangan. Pemilih yang datang ke TPS juga akan diperiksa suhu tubuhnya dan wajib memakai masker. Di pintu masuk dan pintu keluar TPS, disediakan fasilitas cuci tangan dengan sabun. Untuk menghindari kerumunan, pemilih juga akan dibagi dalam kelompok waktu pemilihan. Ini untuk menghindari penumpukan pemilih di jam-jam tertentu.
Terkait dengan pelayanan jemput bola untuk pasien positif Covid-19, Dewa mengatakan upaya itu dilakukan untuk melindungi hak pilih warga. Petugas jemput bola akan menggunakan pakaian hazmat dan APD lengkap. Untuk teknis pelaksanaannya pun, KPU di daerah tetap diminta berkoordinasi dengan satuan tugas percepatan penanganan Covid-19.
Petugas sudah mendapatkan bimbingan teknis agar menjalankan tugasnya dengan aman. Apabila pasien positif Covid-19 dalam kondisi kritis, petugas akan mengisi formulir yang menginformasikan bahwa pengambilan suara tidak dimungkinkan.
”Kami memahami, pengambilan suara jemput bola kepada pasien positif Covid-19 itu berisiko tinggi. Oleh karena itu, jika memang tidak memungkinkan seperti pasien kritis, tidak akan dilakukan. Ini merupakan upaya KPU agar tidak menghilangkan hak pilih warga meskipun dalam kondisi sakit,” kata Dewa.