Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi mengatakan, sejak awal dirinya secara pribadi menolak ekspor benih lobster. Bahkan, Komisi IV DPR telah mengingatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo untuk berhati-hati.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat telah mengingatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo untuk berhati-hati dalam memberikan izin ekspor benih lobster. Sebab, sejumlah perusahaan pengekspor benih lobster diketahui telah memanipulasi data jumlah benih lobster. Namun, peringatan ini seolah diabaikan. Akibatnya, Edhy Prabowo akhirnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan kebijakan yang telah diingatkan oleh DPR tersebut.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi, saat dihubungi, Rabu (25/11/2020), di Jakarta, mengatakan, sejak awal dirinya secara pribadi menolak ekspor beni lobster. Kebijakan itu dinilai tidak layak dilakukan karena dua alasan mendasar. Pertama, benih lobster itu merupakan bagian dari ekosistem laut yang harus dijaga kelangsungannya.
Sebelumnya, dalam penangkapan Menteri KKP Edhy Prabowo yang diduga terkait ekspor benih lobster atau benur, Rabu dini hari, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, Rabu siang ini, disebutkan bahwa penangkapan Edhy dipimpin langsung oleh penyidik senior KPK Novel Baswedan. Selain Edhy, KPK juga menangkap sejumlah orang, di antaranya anggota staf KKP serta keluarga Edhy Prabowo.
“Walau jumlahnya katanya ada 2 miliar, bagi saya tidak penting jumlahnya berapa. Yang terpenting bagi kita ialah dia bagian dari laut, bagian eksosistem, biarkan dia tumbuh dan berkembang sendiri agar menjadi lobster tangkapan dan harganya mahal dan menguntungkan nelayan,” ujarnya.
“Walau jumlahnya katanya ada 2 miliar, bagi saya tidak penting jumlahnya berapa. Yang terpenting bagi kita ialah dia bagian dari laut, bagian eksosistem, biarkan dia tumbuh dan berkembang sendiri agar menjadi lobster tangkapan dan harganya mahal dan menguntungkan nelayan”
Kedua, benih atau anak-anak lobster itu sama halnya dengan anak-anak manusia, yang semestinya tidak boleh dieksploitasi, dan mesti dilindungi dalam habitatnya.
Dalam rapat terakhir dengan Komisi IV DPR, para anggota Komisi IV juga telah mengingatkan Edhy untuk berhati-hati dalam kebijakan ekspor benih tersebut. Menurut Dedi, Komisi IV DPR meminta 14 perusahaan nakal untuk dicabut izinnya. Alasannya, perusahaan pengekspor itu kedapatan melakukan manipulasi data. “Jadi, data benih yang dilaporkan, dengan data benih yang diekspor jauh berbeda. Sehingga 14 perusahaan itu kami minta agar dihentikan dan dicabut izinnya,” katanya.
Selain itu, Komisi IV DPR juga meminta agar ekspor benih lobster itu dilakukan setelah ada peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tata laksananya. Sampai PP itu belum ada, maka pemerintah diminta tidak terlebih dahulu melakukan ekspor. “Untuk ekspor itu harus ada PP-nya. Tetapi, rupanya mereka tetap melakukan ekspor,” kata Dedi dari Fraksi Partai Golkar ini.
Secara prinsip, Dedi mengatakan, kebijakan untuk mengekspor atau tidak mengekspor benih lobster itu bagian dari kewenangan pemerintah, sehingga tidak wajib meminta izin dari DPR. Tetapi, dalam peran pengawasan, pemberian saran dan masukan itu dilakukan oleh Komisi IV. Apalagi, ekspor itu ditujukan ke Vietnam, yang merupakan kompetitor Indonesia di bidang perikanan dan kelautan.
“Karena mereka kompetitor bidang perikanan dan laut, mereka punya kemampuan dan teknologi budi daya laut yang memadai. Kemampuan budi dayanya itu tidak akan berarti manakala tidak mendapat suplai benih. Ini kan menjadi aneh, sudah menjadi kompetitor kok bahan bakunya kita kirim,” ujarnya.
Dedi memastikan, dalam rapat kerja (raker) selanjutnya dengan pemerintah, terutama KKP, Komisi IV DPR akan secara tegas menyampaikan isu ekspor benih lobster ini, dan meminta agar kebijakan itu tidak dilakukan. Peristiwa dugaan korupsi terkait ekspor benih lobster yang dialami Edhy, menurut Dedi, menguatkan para anggota Komisi IV DPR untuk menolak dan melarang ekspor benih lobster.
“Baru saja (Rabu siang), saya bicara degan teman-teman Komisi IV DPR lainnya, dan semua teman-teman setuju kebijakan ekspor ini dihentikan,” ucapnya.
Sementara itu, anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Johan Rosihan mengatakan, sebagai mitra KKP, Komisi IV DPR telah mengingatkan pemerintah agar tidak “serampangan” membuat keputusan membuka kembali izin ekspor benur lobster yang sebelumnya secara tegas telah dilarang melalui Peraturan Menteri (Permen) Kelautan Perikanan (KP) No 1/2015 dan Permen KP No 56/2016 yang melarang penangkapan dan atau pengeluaran lobster, kepiting dan rajungan.
“Kontroversi ekspor benih lobster seharusnya membuat Menteri KKP untuk dapat berperan sebagai regulator yang baik dan memperkuat pengawasan terhadap berbagai perilaku penyimpangan dan permainan yang hanya mengedepankan profit semata”
“Kontroversi ekspor benih lobster seharusnya membuat Menteri KKP untuk dapat berperan sebagai regulator yang baik dan memperkuat pengawasan terhadap berbagai perilaku penyimpangan dan permainan yang hanya mengedepankan profit semata,” kata Johan.
Praktik penjualan atau ekspor benih lobster, kepiting dan rajungan, menurut Johan, berpotensi merugikan negara dan menguntungkan negara lain, seperti Vietnam. Di sisi lain, ekspor benih lobster telah mengancam populasi lobster di Indonesia sehingga kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap pengelolaan lobster harus menjadi prioritas pemerintah.
Menurut Johan, pemerintah selanjutnya harus lebih berhati-hati menerbitkan izin ekspor benur lobster. Pasalnya, sebelumnya telah beredar investigasi dari berbagai media terkait permainan ekspor benih lobster tersebut. Dari informasi yang beredar, terdapat beberapa perusahaan yang sudah melakukan ekspor meskipun baru mengantongi izin kurang dari dua bulan setelah izin diberikan, dan hal ini jelas merupakan pelanggaran administrasi karena bertentangan dengan PermenKP No. 12/2020.
“Atas kejadian ini, kita berharap bisa menjadi pembelajaran dan evaluasi total dalam pengelolaan lobster supaya komoditas ini dikelola dengan tata niaga perikanan yang berorientasi pada pemberdayaan nelayan demi memperbaiki kesejahteraan nelayan kita,” katanya.
Tunggu informasi
“Kami baru mendengar kader kami yang menjadi Menteri KKP (ditangkap KPK), dari media cetak, online, maupun televisi. Karena itu, kami dari Partai Gerindra belum bisa berkomentar lebih jauh. Kami masih menunggu informasi yang valid dari KPK tentang itu. Kami minta rekan media bersabar untuk menunggu kabar lebih lanjut”
Sementara itu, Wakil Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Umum Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan, pihaknya belum bisa memberikan tanggapan lebih jauh, karena masih menunggu informasi valid dari KPK. “Kami baru mendengar kader kami yang menjadi Menteri KKP (ditangkap KPK), dari media cetak, online, maupun televisi. Karena itu, kami dari Partai Gerindra belum bisa berkomentar lebih jauh. Kami masih menunggu informasi yang valid dari KPK tentang itu. Kami minta rekan media bersabar untuk menunggu kabar lebih lanjut,” ucapnya, Rabu.
Dasco mengaku terakhir kali berkomunikasi dengan Edhy sekitar dua minggu lalu, sebelum Edhy berangkat ke Amerika Serikat. Komunikasi itu berlangsung singkat, karena Edhy hanya berpamitan untuk berangkat ke AS. “Enggak, menteri tidak menyampaikan agenda, beliau mau pamit saja,” ujarnya.
Terkait informasi yang menyebutkan penangkapan Edhy terkait dengan ekspor benih lobster dan keterlibatan sejumlah kader Gerindra, Dasco enggan berkomentar. “Kita belum bisa memberikan tanggapan, belum bisa menduga-duga sebelum ada keterangan resmi dari KPK,” ujarnya.
Dasco mengaku telah menyampaikan kabar itu kepada Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Prabowo memberikan arahan agar menunggu perkembangan lebih lanjut dan infromasi dari KPK.