Penyelenggara pemilu rawan terlibat praktik-praktik kecurangan saat memasuki tahapan rekapitulasi suara. Sistem pengawasan dan pelibatan masyarakat perlu diperkuat untuk mencegah terjadinya kecurangan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggara pemilu rawan terlibat praktik-praktik kecurangan saat memasuki tahapan rekapitulasi suara. Sistem pengawasan dan pelibatan masyarakat perlu diperkuat untuk mencegah terjadinya kecurangan.
Riset yang dilakukan Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjajaran menunjukkan, kecurangan saat pemilu sering kali terjadi pada fase pasca-pencoblosan. Rekapitulasi suara di tingkat kecamatan merupakan tahapan paling rawan terjadi kecurangan. Bahkan, praktik kecurangan sering kali melibatkan penyelenggara pemilu.
Anggota tim peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Mutaqin Pratama, mengatakan, modus kecurangan yang sering terjadi antara lain pengurangan hasil perolehan suara calon anggota legislatif (caleg) dalam satu partai dan caleg antarpartai yang mengakibatkan perubahan nomor urut perolehan suara terbanyak.
Pengurangan suara caleg dalam satu partai misalnya terjadi saat Pemilihan Legislatif 2019 di Kota Batam, Kepulan Riau, dan Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Adapun pengurangan suara caleg antarpartai terjadi di Sleman, DI Yogyakarta. Aktor yang terlibat mulai dari panitia pemilihan kecamatan hingga komisoner KPU Daerah.
”Terjadi pergeseran titik rawan rekapitulasi dari sebelumnya di level desa ke tingkatan kecamatan,” kata Heroik saat Anti Corruption Summit 4 dalam diskusi paralel bertajuk ”Melacak Korupsi Politik dalam Pemilu”, Kamis (19/11/2020).
Temuan kecurangan lain yang melibatkan penyelenggara adalah penghilangan dokumen C1 hologram di Bekasi, Jawa Barat, serta penemuan surat suara tercoblos sebelum pemungutan suara di Selangor, Malaysia. Dari beberapa temuan kasus, mayoritas disebabkan persaingan antarcaleg dalam satu partai politik.
Menurut Heroik, aktor-aktor di tingkat kecamatan memiliki peran penting dalam memanipulasi suara. Oleh sebab itu, kapasitas saksi partai dan Panitia Pengawas Kecamatan harus diperkuat untuk mencegah kecurangan kembali berulang. Apalagi, di masa pandemi, ada kekhawatiran pengawasan dari masyarakat berkurang.
Luthfi Hamzah Husin dari Unpad mengatakan, penggunaan rekapitulasi elektronik di pemilu diharapkan bisa menjadi solusi atas penyimpangan yang kerap terjadi. Selain itu, kelembagaan di dalam pengawasan perlu dibenahi lagi utamanya hubungan lembaga-lembaga di dalam Sentra Gakkumdu.
Anggota peneliti lainnya, Wegik Prasetyo dari PolGov Universitas Gadjah Mada, menuturkan, dari 41 penyelenggara pemilu yang dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode April-Desember 2019, mayoritas hanya mendapatkan sanksi berupa peringatan (23 orang).
Menurut dia, tujuan utama pengadu dalam melaporkan penyelenggara pemilu bukan untuk mengembalikan suara karena prosesnya bisa dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Laporan itu dibuat untuk mengetahui pihak-pihak yang melakukan kecurangan
Penasihat Pemantauan Kemitraan Pemerintah dan KPU, Wahidah Suaib, mengatakan, salah satu hal yang membuat praktik manipulasi rekapitulasi suara yang cukup tinggi karena penyelesaian atas hasil keberatan tidak dituntaskan sesuai harapan. Temuan kasus biasanya tidak dikoreksi di tingkat atas dan selalu diarahkan untuk menyelesaikannya di MK.
Menurut dia, masalah dalam penghitungan suara sering kali disebabkan karena kemampuan penyelenggara yang kurang memadai. Bimbingan teknis (bimtek) tidak dilakukan hingga tuntas pada tingkat kabupaten/kota hingga ke tingkat paling bawah.
”Bimtek terbaik adalah berbasis simulasi, tetapi pada praktiknya tidak berbasis simulasi,” ucap Wahidah.