Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto dalam Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2019 mengatakan, Indonesia disebut bisa terancam berada di pintu rezim otoritarian digital jika represi di medsos berlanjut.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan berekspresi di ruang digital kian terancam jika pengawasan berlebihan melalui siber, sensor konten digital, dan pemutusan akses internet terus terjadi. Bahkan, Indonesia disebut bisa terancam berada di pintu rezim otoritarian digital jika represi pada media sosial terus berlanjut.
Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto dalam Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2019, Jumat (13/11/2020), di Jakarta, mengatakan, laporan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (Safenet) 2019 menyebutkan, Indonesia memasuki rezim otoritarian digital. Hal ini karena terjadi praktik pengawasan siber, sensor konten digital, dan pemutusan akses internet.
Menurut Damar, Safenet memantau menggunakan tiga metode, yaitu pengumpulan data laporan langsung, sumber sekunder dari kepolisian dan pengadilan, serta pantauan media sepanjang 2019. Hasilnya, hak-hak digital yang dulu dilindungi kini di bawah ancaman. Hak-hak digital merupakan mata rantai saling terkait, mulai dari hak mengakses, berekspresi, hingga hak atas rasa aman.
”Kejadian paling mencolok pada 2019 adalah pemutusan akses internet. Itu merupakan praktik represi yang dilakukan oleh negara dan menjadi alat untuk mengontrol pendapat di ruang digital,” kata Damar.
Kejadian paling mencolok pada 2019 adalah pemutusan akses internet. Itu merupakan praktik represi yang dilakukan oleh negara dan menjadi alat untuk mengontrol pendapat di ruang digital.
Waktu itu, pasca-Pemilu 2019, salah satu kubu yang kalah tidak menerima hasil rekapitulasi KPU sehingga menggelar aksi yang berujung tindakan anarkistis. Saat itu, akses internet diputus.
Pemutusan akses internet juga terjadi di Papua dan Papua Barat pada 21 Agustus 2019 dan 23-29 September 2019. Pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat terkait demo serta kerusuhan akibat tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur.
Setiap pemblokiran akses internet, pemerintah melakukan pelambatan internet guna mencegah hoaks untuk mengantisipasi agar konflik tak meluas serta menjaga ketertiban keamanan. Langkah itu, menurut Safenet, bentuk represi mengendalikan arus informasi. Kebijakan itu dinilai melanggar hak mengakses internet. Tak hanya rugikan warga, juga perekonomian.
Fenomena lain, kata Damar, ancaman kriminalisasi dan pembungkaman kebebasan berekspresi di dunia maya. Korban diancam dengan pasal-pasal karet UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pemerintah tetap berpegang teguh bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat berada pada posisi at the point of no return yang tentu harus dijaga dan dilindungi.
Hal senada disampaikan komisioner Komnas HAM, Choirul Anam. Ia menilai, kebebasan berekspresi di ruang digital kian terancam karena tak ada regulasi yang melindungi hak warga negara. Padahal, dunia digital menjadi ruang kebebasan bagi partisipasi publik membangun bangsa dan negara.
Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dedy Permadi, saat dikonfirmasi, mengatakan, pemerintah tetap berpegang teguh bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat berada pada posisi at the point of no return yang tentu harus dijaga dan dilindungi. Siaran pers Nomor 155/HM/KOMINFO/08/2019 pada 21 Agustus 2019 sebelumnya juga menyebutkan, pemblokiran sementara layanan data telekomunikasi dilakukan untuk mempercepat pemulihan keamanan dan ketertiban di Papua.