Menyusul banyaknya laporan yang menilai polisi telah bertindak berlebihan saat menghadapi penolakan atas UU Cipta Kerja, Komnas HAM mengingatkan tugas Polri bukan menghalangi kebebasan berpendapat.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polri diingatkan untuk tetap jadi pilar demokrasi dengan melindungi warga negara yang menyatakan pendapat. Adanya peningkatan laporan berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oknum polisi terhadap unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja menunjukkan Polri perlu berbenah diri.
Hal ini disampaikan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik seusai menerima Tim Advokasi Nasional yang terdiri atas perwakilan dari puluhan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia, Senin (9/11/2020). Tim melaporkan dugaan pelanggaran HAM berat terkait dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oknum polisi selama aksi demonstrasi penolakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja periode Oktober 2020.
Ahmad mengatakan, Komnas HAM juga tengah menginvestigasi berbagai tindakan represi yang dialami masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja. ”Walaupun penyelidikan kami belum selesai, data yang disampaikan Tim Advokasi Nasional memperkuat dugaan kami atas meningkatnya tindakan kekerasan Polri terhadap buruh, mahasiswa, masyarakat, dan pelajar yang melakukan aksi,” kata Taufan.
Ia mengatakan, Polri sebaiknya melakukan tindakan korektif. Praktik kekerasan yang meningkat membuat Polri harus melakukan pendisiplinan terhadap anggotanya. Polri diingatkan bahwa mereka memiliki berbagai perangkat hukum mulai dari UU hingga prosedur operasi standar.
Taufan juga mengingatkan, Polri merupakan salah satu pilar demokrasi dengan tugasnya menegakkan hukum. Tugas Polri bukan menghalangi kebebasan berpendapat, melainkan justru melindungi masyarakat yang menggunakan hak dalam menyuarakan pendapatnya. Adanya penyusup yang membuat rusuh seharusnya ditangkap dan diproses hukum oleh Polri, bukan menjadikannya alasan untuk menghambat publik mengungkapkan pendapat.
Ia juga telah beberapa kali bertemu dengan petinggi Polri untuk menyampaikan masukan serupa.
Berbagai aksi kekerasan Polri sejak aksi pada Mei 2019, September 2019, hingga Oktober 2020 telah menjadi bahan evaluasi Komnas HAM. Beredarnya Surat Telegram Kapolri pada 2 Oktober yang memerintahkan jajarannya untuk melarang demonstrasi juga telah ditanyakan kepada Polri. ”Jawabannya, ST itu untuk kebutuhan konsolidasi internal Polri saja,” kata Taufan.
Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu Perdana mengatakan, surat telegram Kapolri itu menjadi indikasi kuat adanya penghalangan menyampaikan pendapat.
Tim Advokasi Nasional menemukan bahwa upaya Polri mencegah unjuk rasa dilakukan secara masif. Tidak saja dengan aksi kekerasan di lapangan, tetapi juga menghambat pengunjuk rasa mulai dari tempat-tempat awal demonstran hingga kontra narasi bahwa masyarakat yang menolak belum membaca UU Cipta Kerja. Selain itu, Polri juga menangkap orang-orang yang menolak di ruang siber.
Upaya pembungkaman juga dilakukan dengan mengancam tidak mengeluarkan surat kelakuan baik bagi siswa. Tim juga menemukan fakta bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran bagi mahasiswa dan sivitas akademika yang isinya juga mengalihkan aksi demonstrasi.
Selain adanya penggunaan ormas yang pro UU Cipta Kerja untuk berhadapan dengan masyarakat yang anti UU Cipta Kerja, tim yang terdiri atas perwakilan dari puluhan LSM asal 20 kabupaten/kota ini juga melihat adanya serangan terhadap jurnalis. ”Jurnalis disuruh menghapus gambar dan dilarang meliput,” katanya.
Bahkan, selain intimidasi, tindakan brutal Polri juga terjadi di Jakarta dan Surabaya. Di Jakarta, ambulans pun diserang polisi. Di Makassar, massa yang tengah aksi tiba-tiba diserbu massa tak dikenal yang datang bersama aparat Polri. Massa tak dikenal ini menggunakan senjata tajam, panah, dan lemparan batu untuk membubarkan massa yang tengah protes.
Upaya pembenturan ini juga terjadi di Yogyakarta. Sebuah ormas dengan afiliasi parpol tertentu menyerbu massa yang menolak UU Cipta Kerja. Ormas dan beberapa anggota Polri melakukan tindakan brutal, seperti menendang dan menginjak peserta demonstrasi.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono berulang kali mengatakan, polisi telah bertindak profesional dalam menangani setiap unjuk rasa, tak terkecuali saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja.
Adapun, terkait dugaan kekerasan terhadap wartawan saat meliput demo UU Cipta Kerja, ia mengatakan, hal itu akan menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi aparat dalam menghadapi demo anarkistis.