Komisioner Komisi Nasional HAM Choirul Anam, Minggu, di Jakarta, mengatakan, Komnas HAM menyayangkan upaya hukum banding yang ditempuh Jakgung terhadap putusan PTUN Jakarta. Burhanuddin harusnya melaksanakan putusan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya hukum banding yang dilakukan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dianggap ambiguitas penegak hukum terhadap kebijakan Presiden Joko Widodo dalam visi misi Nawacita. Salah satu janji politik itu, di antaranya, menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Presiden Jokowi pun diminta untuk memperingatkan Jaksa Agung.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusi (Komnas HAM) Choirul Anam, saat dihubungi, Minggu (8/11/2020), di Jakarta, mengatakan, Komnas HAM menyayangkan upaya hukum banding yang ditempuh oleh Jakgung terhadap putusan PTUN Jakarta. Seharusnya, putusan PTUN Jakarta itu disikapi bijak oleh Burhanuddin. Sebagai institusi penegak hukum, seharusnya memberikan contoh, segera melaksanakan putusan PTUN Jakarta dengan membuat pernyataan tentang keadaan yang sebenarnya saat rapat kerja Komisi III DPR.
”Mengapa tidak dilaksanakan saja sesuai putusan majelis hakim PTUN. Toh tidak ada hukuman yang lain, kecuali Jaksa Agung diminta tidak melakukannya lagi dan klarifikasi dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi III,” kata Choirul.
Mengapa tidak dilaksanakan saja sesuai putusan majelis hakim PTUN. Toh tidak ada hukuman yang lain, kecuali Jaksa Agung diminta tidak melakukannya lagi dan klarifikasi dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi III.
Dalam putusan PTUN Jakarta, majelis hakim memutuskan tindakan jaksa agung mengandung kebohongan (bedrog) dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Jaksa Agung dinilai tidak memperhatikan nilai hukum yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-V/2008 yang menyebutkan perlu tidaknya pembentukan pengadilan HAM ad hoc, DPR tidak dapat menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan serta penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (Kompas, 5 November 2020).
Terhadap putusan PTUN tersebut, Choirul juga berharap presiden memanggil jaksa agung untuk menanyakan perkembangan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan II (TSS). Pasalnya, hingga kini, proses penyelidikan dugaan HAM berat peristiwa TSS masih berjalan. Kasus TSS masih sulit ditingkatkan ke penyidikan karena terkendala persoalan teknis karena hasil penyelidikan Komnas HAM belum memuat bukti permulaan yang cukup.
Menurut Choirul, hasil Rapat Paripurna DPR 9 Juli 2001 memang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa TSS. Namun, laporan akhir Komisi Penyidikan Pelanggaran (KPP) HAM TSS tahun 2002 menyatakan sebaliknya. Penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat TSS pun sampai sekarang masih berjalan. Kasus juga tidak pernah dihentikan (SP3). Pada tahun 2018, Komnas HAM juga sudah membalas surat Jaksa Agung tentang penyerahan berkas penyelidikan kasus tersebut.
Putusan PTUN seharusnya menjadi momentum membuktikan komitmen penuntasan hukum pelanggaran HAM berat. Apalagi, menurut Choirul, orangtua korban penembakan Tragedi Semanggi I, Maria Katarina Sumarsih dan jaringan korban dugaan pelanggaran HAM TSS pernah dipanggil ke Istana. Mereka dijanjikan oleh Presiden bahwa kasus tersebut akan dituntaskan.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa akan mengambil upaya hukum banding dalam putusan PTUN Jakarta terkait pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin tentang kasus Semanggi I dan II pada rapat Komisi III DPR. Kejaksaan menilai, hakim dianggap lalai saat mengambil keputusan. Selain itu, keputusan juga dianggap hanya berdasarkan tafsir dan asumsi. Karena itu, jaksa pengacara negara sebagai kuasa hukum Kejaksaan Agung RI akan mengajukan banding (Kompas, 6 November 2020).
Kontra memori banding
Putusan kemarin itu seharusnya menjadi alarm peringatan bagi penegak hukum agar tidak sembarangan membuat pernyataan publik karena berkonsekuensi hukum. Apabila memang pernyataan itu salah, sebaiknya direvisi saja sesuai putusan hakim.
Sementara itu, kuasa hukum pihak korban Semanggi I dan II di PTUN Jakarta, Muhammad Isnur juga meyayangkan sikap Jaksa Agung yang memilih untuk mengajukan upaya banding. Dia khawatir Jaksa Agung dan jajarannya tidak mengikuti dinamika persidangan sehingga bukti-bukti valid yang diungkap saksi-saksi di persidangan tidak dipertimbangkan.
Menurut Isnur, bukti-bukti yang diungkap saksi seperti Komnas HAM, maupun DPR sudah sangat kuat. Bahkan, saksi dari pihak tergugat, yaitu Kejaksaan Agung, yang dihadirkan pun mengakui bahwa sampai saat ini penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat TSS masih dilakukan oleh kejaksaan. Meskipun demikian, pihaknya selaku kuasa hukum pemohon tetap akan menghadapi upaya banding itu dengan menyiapkan kontra memori banding.
”Putusan kemarin itu seharusnya menjadi alarm peringatan bagi penegak hukum agar tidak sembarangan membuat pernyataan publik karena berkonsekuensi hukum. Apabila memang pernyataan itu salah, sebaiknya direvisi saja sesuai putusan hakim,” kata Isnur.
Menurut Isnur, upaya banding yang dilakukan Jaksa Agung, menunjukkan komitmen politik pemerintah. Penegak hukum seharusnya bekerja sesuai dengan program kerja dan janji presiden. Namun, di sini Jaksa Agung justru menunjukkan sikap kontraproduktif. Ini justru bisa diartikan bahwa memang sebenarnya tidak ada kemauan politik dari presiden untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
”Kalau mau membaca risalah dan putusan sidang dengan saksama, sebenarnya sudah jelas di sana. Bahkan, di persidangan juga terungkap bahwa apa yang dikatakan Jaksa Agung bukanlah respons dari pernyataan Komisi III. Namun, itu adalah dokumen yang sudah disiapkan sebelumnya dan terbukti mengandung kebohongan,” kata Isnur.
Memperpanjang impunitas
Hal senada diungkapkan Direktur Imparsial Al Araf. Ia mengatakan, Jaksa Agung seharusnya menindaklanjuti janji Presiden Jokowi yang tertuang dalam Nawacita. Namun, sebagai pejabat pembantu Presiden, Jaksa Agung justru menunjukkan sikap sebaliknya.
Dalam catatan Kompas, bukan hanya pemerintahan Jokowi yang dinilai tidak tuntas dalam penegakan hukum pelanggar HAM, pemerintahan sebelumnya juga tidak melakukan hal yang sama, seperti diharapkan para aktivis HAM.
”Ini semakin memperpanjang impunitas terhadap pelaku, dan tidak adanya keberpihakan terhadap korban dan keluarga korban,” kata Al Araf.
Al Araf menambahkan, penegakan hukum secara serius kasus pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan agenda reformasi. Reformasi mensyarakatkan pemutusan lingkaran impunitas terhadap pelaku pelanggar HAM berat. Namun, setelah reformasi berjalan lebih dari 20 tahun, praktik impunitas belum berhasil dibongkar. Belum terlihat adanya komitmen serius dari pemerintah dalam penegakan hukum. Bahkan, para terduga pelaku justru dipercayai memegang jabatan publik oleh presiden. Hal itu, lanjutnya, merupakan kemunduran negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan HAM.
Dalam catatan Kompas, Bukan hanya pemerintahan Jokowi yang dinilai tidak tuntas dalam penegakan hukum pelanggar HAM, pemerintahan sebelumnya juga tidak melakukan hal yang sama, seperti diharapkan para aktivis HAM.