Penyebutan ”petinggi Polri” saat Napoleon Bonaparte minta tambahan uang terkait penghapusan nama Joko Tjandra dari ”red notice” Interpol perlu ditelusuri kebenarannya. Diharapkan, kasus itu terang dalam persidangan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian mempertanyakan keterangan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte yang mencatut petinggi Polri untuk meminta tambahan uang dari Joko S Tjandra. Sebab, hal itu tidak disampaikan dalam proses penyidikan sehingga tidak ada dalam berita acara pemeriksaan atau BAP.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono, Selasa (3/11/2020), mengatakan, pihaknya telah mengonfirmasi keterangan terdakwa Napoleon dengan penyidik dari Badan Reserse Kriminal Polri.
”Itu sudah saya konfirmasi kepada penyidik, tidak ada di dalam BAP. Jadi, pengakuan yang bersangkutan di persidangan, ya, silakan. Itu fakta persidangan. Akan tetapi, fakta penyidikan, itu tidak ada di dalam BAP. Bagaimana kelanjutannya, kita akan sama-sama lihat,” tutur Awi.
Dalam berkas dakwaan Napoleon, disebutkan bahwa ia meminta tambahan uang saat menerima 50.000 dollar AS. Di sini, Napoleon mencatut petinggi Polri. ”Ini apaan, nih, segini, ga mau saya. Naik ji jadi 7 (Rp 7 miliar) ji, soalnya, kan, buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya, kan, beliau, ’petinggi kita ini’,” ujar Napoleon seperti tertulis di dakwaan (Kompas, 3/11/2020).
Menurut Awi, pihaknya justru mempertanyakan alasan yang bersangkutan tidak menyampaikan hal itu ketika diperiksa penyidik. Hal itu baru dikemukakan ketika sudah masuk persidangan.
Sebab, lanjut Awi, jika hal itu terungkap dalam pemeriksaan dan tertulis di BAP, pasti penyidik akan mengejar keterkaitan antara keterangan saksi-saksi lain dan jawaban dari tersangka. ”Tentunya ini menjadi bahan evaluasi,” ujar Awi.
Informasi sekecil apa pun tentang sebuah tindak pidana yang oleh seorang tersangka atau terdakwa itu sebenarnya harus ditindaklanjuti oleh penyidik pada tingkat penyidikan.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, informasi sekecil apa pun tentang sebuah tindak pidana yang oleh seorang tersangka atau terdakwa itu sebenarnya harus ditindaklanjuti oleh penyidik pada tingkat penyidikan. Terlebih jika informasi itu bisa dikonfirmasi dengan bukti-bukti lain dan berpotensi untuk melahirkan para pelaku lainnya.
”Karena dalam hukum pidana, konsepsi tentang pelaku itu tidak melulu hanya orang yang melakukan langsung, tetapi juga sebagaimana diatur Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang disebut pelaku itu juga mereka yang turut serta melakukan dan mereka yang memberi bantuan ketika tindak pidana dilakukan,” tutur Fickar.
Berdasarkan hal itu, keterangan soal petinggi Polri yang disampaikan terdakwa Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte mestinya ditindaklanjuti. Sebab, keterangan itu bisa jadi mengarah kepada orang yang memberi fasilitas, seperti bantuan, kesempatan, sarana, dan informasi.
Alasan bahwa keterangan Napoleon itu diungkapkan di luar BAP, menurut Fickar, tidak bisa diterima. Jika hal itu terungkap di dalam persidangan, majelis hakim dapat meminta jaksa penuntut umum untuk menindaklanjuti.
Keterangan soal petinggi Polri yang disampaikan terdakwa Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte mestinya ditindaklanjuti. Sebab, keterangan itu bisa jadi mengarah kepada orang yang memberi fasilitas, seperti bantuan, kesempatan, sarana, dan informasi
Menurut Fickar, dalam kasus dugaan gratifikasi penghapusan red notice Joko Tjandra, Napoleon pernah mengajukan gugatan praperadilan kepada penyidik. Selain itu, Napoleon pernah menyatakan bahwa dirinya akan membuka semua di persidangan. Hal itu sebenarnya menjadi indikasi penting bahwa dia tidak ingin sendirian tersangkut kasus itu.
Di sisi lain, lanjut Fickar, di lembaga penegak hukum, baik di kepolisian maupun kejaksaan, pola relasi yang berjalan adalah relasi atasan dengan bawahan atau subordinasi. Dengan budaya organisasi seperti itu, penyidik sebagai bawahan tidak akan berani menyidik atasan, tetapi cenderung untuk melindungi.
”Itulah sebabnya dulu Dewan Perwakilan Rakyat dan masyarakat berpikir perlu ada lembaga yang bisa mengawasi aparat penegak hukum. Dia harus independen dan tidak berada di bawah siapa-siapa sehingga lembaga itu bisa memberantas korupsi lintas lembaga. Itulah alasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk,” ujar Fickar.
Kasus terkait Joko Tjandra, baik yang ditangani kepolisian maupun kejaksaan, sama-sama menyebutkan dugaan keterlibatan pejabat tinggi di institusi penegak hukum. Namun, hal itu tidak ditindaklanjuti dengan memeriksa nama yang dimaksud.
Oleh sebab itu, lanjut Fickar, KPK diharapkan mengambil alih kasus di kepolisian ataupun kejaksaan. Hal itu sekaligus menjadi ujian penerapan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang belum lama terbit.
KPK diharapkan mengambil alih kasus di kepolisian ataupun kejaksaan.
Pengambilalihan kasus tersebut tidak perlu menunggu nota kesepahaman (MoU) karena KPK memang diberi kewenangan untuk menyupervisi dan mengambil alih kasus, baik di kepolisian maupun kejaksaan.
”Tidak perlu MoU. Maka, ini kembali ke komisioner KPK, apakah berani? Namun, kan, ketua KPK sekarang adalah polisi aktif. Jadi, sulit diharapkan,” kata Fickar.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, berpandangan, terkait keterangan Napoleon yang menyebutkan petinggi Polri, lebih baik hal itu ditunggu pembuktiannya di persidangan. Dalam persidangan akan dibuktikan kebenaran apakah betul adanya imbalan atau hanya pencatutan nama.
”Majelis hakim akan memeriksa saksi-saksi, bukti-bukti, dan mendengar keterangan terdakwa. Semuanya akan digali oleh majelis hakim dan dilihat persesuaiannya,” kata Poengky.