Pendampingan Masyarakat Sekitar Hutan Harus Terintegrasi
Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya pendampingan kelompok-kelompok usaha yang turut dalam program perhutanan sosial. Pendampingan penting dilakukan agar masyarakat sekitar hutan punya kemampuan manajemen yang baik
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program perhutanan sosial yang dimulai sejak akhir 2017 diharapkan tak sekadar membagikan izin pemanfaatan lahan. Pendampingan diperlukan supaya kelompok-kelompok usaha bisa mengelola hutan lebih baik sembari membangun usaha.
Pemerintah menargetkan untuk memberikan lahan seluas 12,7 juta hektar dalam program perhutanan sosial. Namun, sampai 19 Oktober 2020, baru 4,4 juta hektar lahan yang didistribusikan dalam program ini.
Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis perhutanan sosial secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (3/11/2020), meminta distribusi lahan seluas 8 juta hektar untuk program ini diselesaikan sampai 2024.
Pendampingan diperlukan supaya kelompok-kelompok usaha bisa mengelola hutan lebih baik sembari membangun usaha.
Untuk betul-betul bermanfaat bagi masyarakat, Presiden juga mengingatkan supaya program ini bukan sekadar memberikan izin dan surat keputusan yang memberi akses penggunaan hutan pada masyarakat.
”Lebih penting pendampingan program-program lanjutan sehingga masyarakat sekitar hutan punya kemampuan manajemen dan memasuki aspek bisnis perhutanan sosial yang tidak hanya agroforestri, tetapi juga ekowisata, agrosilvo-pastoral, bioenergi, bisnis hasil hutan bukan kayu, dan industri kayu rakyat,” tutur Presiden.
Pendampingan ini harus terintegrasi sejak pemberian izin pemanfaatan hutan, baik penyiapan sarana prasarana produksi maupun pelatihan, sampai pemasaran. Jika pemerintah fokus dalam program ini, diyakini akan lahir kelompok-kelompok usaha perhutanan sosial yang berkembang baik.
Seusai ratas, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menjelaskan, pendampingan secara terintegrasi dan holistik akan dilakukan lintas sektor, baik oleh kementerian dan lembaga yang berbeda maupun pemerintah daerah. Dana desa juga akan dimanfaatkan untuk ini. Karena itu, koordinasi dengan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Kementerian Koperasi dan UKM akan dilakukan.
Kelompok kerja lintas kementerian/lembaga ini juga akan segera membuat peta jalan perhutanan sosial yang terintegrasi. Salah satu yang akan menjadi contoh adalah lahan lumbung pangan di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Selain itu, tempat penyemaian mangrove akan menjadi salah satu proyek pilot dalam perhutanan sosial.
Pendampingan secara terintegrasi dan holistik akan dilakukan lintas sektor, baik oleh kementerian dan lembaga yang berbeda maupun pemerintah daerah.
Luhut mengatakan, program perhutanan sosial diharapkan bisa mengentaskan setidaknya 10,2 juta warga miskin atau sepertiga dari kemiskinan di Indonesia.
Terkait permintaan Presiden untuk menyelesaikan distribusi lahan perhutanan sosial dengan target 12,7 juta hektar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menjelaskan itu adalah target ideal. Dalam perhitungan, areal izin berkisar 36-37 juta hektar. Pada 2014-2015, hanya 4 persen yang digunakan rakyat, sedangkan 96 persen sisanya dikuasai swasta.
Distribusi 12,7 juta hektar dalam program perhutanan sosial akan membuat lahan yang dimanfaatkan rakyat menjadi 30 persen. Dengan demikian, rasio pemanfaatan lahan rakyat dan swasta akan menjadi 30 persen:70 persen.
”Pengaturannya kurang lebih seperti itu. 12,7 juta hektar yang ditargetkan ideal itu, kita mesti bikin langkah lima tahunannya,” tambah Siti.
Lahan perhutanan seluas 4,4 juta hektar saat ini sudah didistribusikan dalam sekitar 7.100 surat keputusan atau sekitar 870.000 keluarga. Usaha warga juga sudah mulai terbentuk dan mulai diekspor. Ada kelompok perhutanan sosial yang mengekspor madu, aren, kayu putih, kayu manis, dan gaharu. Namun, diakui hal ini belum berdampak besar.