60 Tahun UUPA, Masih Relevankah?
Tujuan UUPA adalah mewujudkan keadilan sosial sesuai amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Untuk mencapai keadilan sosial, perlu reorientasi kebijakan pertanahan yang adil, demokratis, dan berkelanjutan.
Hukum itu dinamis. Rumusan undang-undang dapat diubah sesuai ruang dan waktu. Permasalahan pokoknya adalah bagaimana seharusnya perubahan itu dilakukan?
Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 (UUPA) dibangun menurut konsepsi Hukum Tanah Nasional (HTN) yang menjadi dasar dari semua kebijakan/peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Tujuan dan prinsip-prinsip/asas-asas dalam HTN menjadi ciri utama HTN, yang membedakannya dengan sistem hukum yang lain. Bila tujuan dan prinsip/asas itu ber(di)ubah, sistem hukumnya juga berubah dan menjadikannya sistem hukum di luar HTN.
Baca juga: Tantangan 60 Tahun Hari Tani
Hukum itu menghendaki keteraturan atau ketertiban dalam rangka mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, perubahan yang dibuat harus dilakukan secara taat asas, yakni taat pada tujuan dan prinsip/asas hukumnya. Tujuan UUPA adalah mewujudkan keadilan sosial sesuai amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Tujuan UUPA adalah mewujudkan keadilan sosial sesuai amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Prinsip-prinsip dasar UUPA tak bisa dihapuskan, tetapi dapat dikembangkan, dipertajam orientasinya, melalui interpretasi maupun analogi yang dilandasi dengan pemikiran yang kritis-konstruktif. Misalnya, prinsip hak menguasai negara telah diperluas menjadi lima fungsi/kewenangan negara (membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi) dalam hubungan antara negara dengan orang dan tanah.
Fungsi sosial yang dilekatkan pada semua hak atas tanah dilengkapi dengan fungsi ekologi sesuai prinsip keberlanjutan. Prinsip land reform dikembangkan menjadi reforma agraria; diperluas subyek dan obyeknya serta dilengkapi dengan penataan akses.
Interpretasi itu dilakukan untuk ”menghidupkan” prinsip/asas dan bukan untuk mengubah maknanya. Asas hukum itu dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif; ia jiwa atau roh dari suatu UU yang menjadikannya hidup dan ditaati oleh masyarakat secara sukarela.
Baca juga: 150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah
HTN dibangun berdasarkan konsepsi, kelembagaan, dan asas-asas hukum adat, yang juga bersifat dinamis. Misalnya, asas pemisahan horizontal diterapkan dalam UU No 4/1996, ketika mengatur bahwa obyek hak tanggungan (HT) adalah hak atas tanah, bisa tanpa atau berikut bangunan di atasnya.
Melalui interpretasi ekstensif Pasal 4 Ayat (2) UUPA, asas pemisahan horizontal dapat diterapkan dalam pemberian hak atas tanah bagi obyek yang berada di bawah tanah, di bawah air, maupun di ruang udara di atas tanah.
Baca juga : Mendesakkan HGU 90 Tahun
Seseorang dapat memperoleh hak atas tanah yang dikuasainya dalam jangka waktu 20 tahun atau lebih dengan itikad baik, terbuka, dan tak diklaim pihak lain. Sebaliknya, seseorang juga bisa kehilangan hak atas tanahnya jika dalam jangka waktu tertentu tak melakukan suatu perbuatan hukum atau tindakan terkait bidang tanahnya (rechtsverwerking).
Prinsip peralihan hak (terang, tunai, riil) diadopsi melalui ketentuan bahwa perbuatan hukum yang berakibat terhadap beralihnya hak atas tanah harus dibuat berdasarkan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam kurun waktu 60 tahun, bagaimana ketaat-asasan peraturan perundangan pertanahan terhadap tujuan dan prinsip-prinsip UUPA?
Dalam kurun waktu 60 tahun, bagaimana ketaat-asasan peraturan perundangan pertanahan terhadap tujuan dan prinsip-prinsip UUPA?
Konstruktif atau destruktif?
Pencermatan terhadap peraturan perundangan pertanahan sepanjang enam dasawarsa menunjukkan kecenderungan yang menarik. Telaah berdasarkan strategi penyusunannya (proaktif-reflektif atau reaktif-pragmatis) dan berdasarkan penerapan prinsip-prinsip UUPA menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang disusun secara proaktif-reflektif itu cenderung berkarakter positif, yakni taat pada tujuan dan prinsip-prinsip UUPA.
Sebaliknya, ketika peraturan perundang-undangan itu disusun secara reaktif dengan tujuan yang bersifat pragmatis, maka kecenderungannya berkarakter negatif, yakni abai terhadap tujuan dan prinsip-prinsip UUPA. Karakter positif ataupun negatif itu pun ada yang tanpa maupun disertai catatan.
Secara garis besar, dalam kurun 1960-1974, peraturan perundang-undangan pertanahan cenderung disusun secara proaktif-reflektif. Hal ini dapat dilihat dalam pengaturan terkait land reform, pencabutan hak atas tanah dan konsep awal tentang hak pengelolaan (HPL) sebagai fungsi publik.
Peraturan perundangan dari 1975 hingga 2010 bergeser dari strategi yang proaktif menjadi lebih cenderung reaktif dan terutama dibentuk untuk memenuhi kebutuhan hukum jangka pendek (pragmatis). Namun, karakter positif masih dominan dalam peraturan perundang-undangan selama kurun itu.
Pengaturan tentang pembebasan tanah diterbitkan sebagai landasan pembangunan untuk kepentingan umum yang mulai marak pada 1970-an melalui cara musyawarah dengan pemegang hak atas tanah, dengan catatan bahwa bentuk pengaturannya tak tepat. Peraturan terkait penyediaan tanah untuk keperluan perusahaan, kawasan industri, dan perumahan, termasuk pengaturan tentang rumah susun, mewarnai peraturan perundangan di kurun waktu tersebut.
Deregulasi ekonomi Oktober 1993 mendorong terbitnya peraturan untuk kemudahan berinvestasi, melalui pendekatan yang bersifat konstruktif dengan cara menerbitkan keputusan tentang pemberian dan perpanjangan dan atau pembaruan hak atas tanah bagi perusahaan.
Berbagai peraturan diterbitkan dalam rangka memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan yang ada. UU No 4/1996 tentang HT dilengkapi peraturan tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah, Pendaftaran Tanah, dan aturan pemilikan rumah tempat tinggal bagi orang asing.
Untuk memfasilitasi ketersediaan tanah bagi kepentingan umum, diterbitkan Keppres No 55/1993, menggantikan Permendagri No 15/1975. Secara bentuknya keppres tak tepat, tetapi secara konsep keppres memahami dua cara perolehan tanah dengan mencantumkan alternatif pencabutan hak atas tanah.
Namun, karakter positif masih dominan dalam peraturan perundang-undangan selama kurun itu.
Tahun 1998, pasca-Reformasi, karakter positif tampak dalam serangkaian peraturan yang dilandasi pilihan keadilan korektif mengingat situasi kondisi ekonomi yang cukup sulit bagi rakyat kecil di masa itu. Hal ini tampak dalam peraturan tentang pemberian hak milik untuk RSS (rumah sangat sederhana) dan RS (rumah sederhana), pemberian hak milik yang dibeli PNS dari pemerintah dan aturan pemanfaatan tanah kosong untuk tanaman pangan.
Dalam rangka menegakkan prinsip fungsi sosial hak atas tanah, diterbitkan PP No 36/1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Untuk pertama kali, sejak pemuatannya dalam Pasal 3 UUPA, diterbitkan peraturan tentang hak ulayat masyarakat hukum adat (MHA) melalui Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No 5/1999.
Peraturan perundang-undangan dalam kurun 2001-2010 menunjukkan kecenderungan reaktif-pragmatis, tetapi masih dominan berciri positif. Sebagai dampak desentralisasi, Perpres No 34/2003 terbit untuk memastikan tugas dan kewenangan BPN.
Infrastructure Summit mendorong terbitnya peraturan pengadaan tanah, yakni Perpres No 36/2005 yang diubah dengan Perpres No 35/2006. Perpres ini masih mengakomodasi ketentuan pencabutan hak atas tanah. Untuk pertama kali, diterbitkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOPP) di lingkungan BPN melalui Keputusan Kepala BPN No 1/2005.
Sejak 2011 sampai kini, kecenderungan karakter peraturan perundang-undangan pertanahan lebih sering bersifat negatif, atau positif dengan catatan. UU No 2/2012 secara bentuk peraturan sudah tepat, tetapi pendekatan pragmatis dari UU ini ditempuh untuk meminimalisasi penolakan warga masyarakat terdampak melalui lembaga penitipan ganti kerugian dan meniadakan ketentuan pencabutan hak atas tanah.
Di satu sisi, pihak yang hak atas tanahnya sudah berakhir diberikan ganti kerugian, sedangkan di sisi lain ganti kerugian untuk MHA tak didasarkan pada cara pandang MHA terhadap ruang hidupnya. Akses publik terhadap informasi pertanahan dibatasi dan pengaturan terkait penatausahaan hak ulayat MHA tak lebih maju dibandingkan peraturan terdahulu. Percepatan pendaftaran tanah ditempuh lewat Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Sejak 2011 sampai kini, kecenderungan karakter peraturan perundang-undangan pertanahan lebih sering bersifat negatif, atau positif dengan catatan.
Puncaknya, melalui Daftar Inventarisasi Masalah RUU Pertanahan yang tak dilanjutkan pembahasannya pada 23 September 2019 dan pengaturan pertanahan dalam RUU Cipta Kerja, karakter negatif yang cenderung destruktif kian tampak. Tujuan keadilan sosial makin kabur, prinsip UUPA ditinggalkan, putusan MK dilanggar, dan prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dalam Tap MPR No IX Tahun 2001 tak diakomodasi (Maria Sumardjono, Kompas, 22/2/2020 dan 6/6/2020).
RUU yang bias pada kepentingan sekelompok kecil masyarakat yang memiliki akses politik dan akses ekonomi yang didasarkan pada ideologi liberal-kapitalistik itu berdampak pada berkurangnya peran negara. Jika berlanjut, keputusan-keputusan penting menyangkut urusan ekonomi, sosial, dan politik akan sangat dipengaruhi sekelompok masyarakat yang diuntungkan itu. Konsekuensinya, hak kelompok masyarakat yang lebih besar tetapi lemah posisi tawarnya akan semakin terpinggirkan.
Adil, demokratis, berkelanjutan
Untuk mencapai keadilan sosial, perlu reorientasi kebijakan pertanahan yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Pertama, keadilan mana yang harus diterjemahkan dalam kebijakan pertanahan? Pilihan ini tak selalu mudah karena fokus pengaturan adalah SDA yang terbatas yang diperebutkan pihak-pihak yang berbeda posisi tawarnya.
Maka, ketika yang jadi tujuan pengaturan adalah akses yang sama bagi semua kelompok masyarakat, keadilan komutatif merupakan pilihan. Namun, ketika kebijakan itu terkait distribusi akses dan pemanfaatan tanah, ada dua alternatif yang dapat dipilih. Pengaturan yang terkait dengan pihak yang punya kemampuan/posisi tawar yang sama dapat didasarkan pada keadilan distributif.
Namun, jika pengaturan tentang distribusi akses dan manfaat ini menyangkut pihak-pihak yang tak sama posisi tawarnya, keadilan korektif yang harus diutamakan. Keadilan itu menghendaki keseimbangan di antara berbagai faktor yang tak selalu setara.
Untuk mencapai keadilan sosial, perlu reorientasi kebijakan pertanahan yang adil, demokratis, dan berkelanjutan.
Kedua, kebijakan pertanahan harus mencerminkan sifat demokratis, baik dalam proses penyusunannya maupun dalam memberikan kesempatan bagi publik berpartisipasi dalam pengawasan terhadap pelaksanaan suatu kebijakan. Ketiga, aspek keadilan dan demokratis dalam kebijakan itu perlu dilengkapi aspek keberlanjutan demi terwujudnya keadilan atas akses ke SDA antargenerasi.
Akhirnya, pembentukan peraturan perundang-undangan itu perlu dipandu oleh etika dan bukan oleh kekuasaan. Kekuasaan itu berada di belakang hukum dan berperan dalam penegakannya.
(Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum UGM dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)