Wakil Danramil Persiapan Hitadipa diduga bertanggung jawab atas meninggalnya pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, Papua. Komnas HAM merekomendasikan pemberlakuan peradilan koneksitas untuk menyelesaikan kasus itu
Oleh
RINI KUSTIASIH dan EDNA C PATTISINA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengungkap hasil investigasi tim pemantauan dan tim penyelidikan terkait dengan kematian pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, 19 September lalu. Yeremia diduga meninggal karena kehabisan darah setelah ditembak dari jarak dekat. Komnas HAM menyebut terduga pelaku adalah prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Komando Rayon Militer Persiapan Hitadipa.
Anggota Komnas HAM, Choirul Anam, dalam konferensi pers, Senin (2/11/2020), yang dilakukan secara daring, mengatakan, tim bentukan Komnas HAM itu telah melakukan pemantauan dan penyelidikan secara intensif dengan datang ke lokasi penembakan di Intan Jaya, Papua. Di lokasi, tim yang dipimpinnya mewawancara dan mengumpulkan keterangan dari saksi-saksi serta warga sekitar terkait dengan peristiwa kelam pada 19 September 2020. Tim juga melibatkan kelompok ahli guna memberikan saran dan penilaian tergantung keahlian masing-masing terkait dengan sejumlah temuan mereka di lapangan.
Anam mengatakan, dari investigasi tim dan penjelasan ahli, Yeremia mengalami luka tembak di lengan sebelah kiri. Namun, itu bukan luka tunggal karena di bagian lain tubuhnya, yakni di leher, juga ditemukan bekas luka yang diduga merupakan luka jeratan. Komnas HAM menduga ada kontak fisik langsung antara terduga pelaku dan Yeremia.
”Pendeta Yeremia Zanambani mengalami penyiksaan dan/atau tindakan kekerasan lainnya berupa tembakan ditujukan ke lengan kiri korban dari jarak kurang dari 1 meter, atau jarak pendek pada saat posisi korban berlutut. Korban juga mengalami tindak kekerasan lain berupa jeratan, baik menggunakan tangan ataupun alat, seperti tali, dan lain-lain untuk memaksa korban berlutut yang dibuktikan dengan jejak abu tungku yang terlihat pada lutut kanan korban,” papar Anam.
Kematian Yeremia itu dipandang sebagai serangkaian tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa di luar proses hukum atau extra judicial killing. Seorang anggota TNI bernama Alpius, menurut Anam, berdasarkan keterangan dari istri korban, dan saksi-saksi lainnya diduga sebagai pelaku penembakan. Alpius sendiri adalah Wakil Komandan Koramil Persiapan Hitadipa.
”Diduga bahwa pelaku adalah Saudara Alpius, Wakil Danramil Hitadipa, sebagaimana pengakuan langsung korban sebelum meninggal kepada dua orang saksi, dan pengakuan saksi-saksi lainnya yang melihat Alpius berada di sekitar TKP pada waktu kejadian, dan tiga atau empat orang lainnya,” kata Anam.
Komnas HAM menyimpulkan pendeta Yeremia ditembak dengan jarak kurang dari 1 meter dan senjata api yang digunakan ialah jenis shotgun atau pistol, atau jenis lainnya, yang memungkinkan digunakan dalam ruang sempit.
Dari rekontruksi perkara dan keterangan saksi, Komnas HAM menyimpulkan pendeta Yeremia ditembak dengan jarak kurang dari 1 meter dan senjata api yang digunakan ialah jenis shotgun atau pistol, atau jenis lainnya, yang memungkinkan digunakan dalam ruang sempit. Yeremia ditemukan dalam kondisi terluka oleh istrinya, 19 September 2020 sekitar pukul 17.50, di dalam kandang babi milik keluarga mereka. Ruangan atau kandang tempat Yeremia ditembak itu berukuran sempit sehingga ruang gerak terbatas.
Pada tubuh Yeremia ditemukan luka terbuka ataupun luka akibat tindakan lain. Luka pada lengan kiri bagian dalam korban berdiameter sekitar 5-7 cm dan panjang sekitar 10 cm. Meskipun demikian, tim Komnas HAM juga berkeyakinan luka tersebut juga dimungkinkan akibat adanya kekerasan senjata tajam lainnya karena melihat posisi ujung luka yang simetris.
”Diduga terdapat kontak fisik langsung antara korban dan terduga pelaku saat peristiwa terjadi,” katanya.
Di sekitar kandang, tim Komnas HAM menemukan sedikitnya 19 lubang yang diduga merupakan bekas tembakan. Anam mengatakan, 19 lubang itu diduga bagian dari upaya pengalihan dari penembakan jarak dekat tersebut sehingga mengaburkan fakta penembakan yang sebenarnya. Tim juga menemukan satu proyektil utuh dan empat serpihan proyektil di lokasi kejadian. Namun, diketahui ada satu proyektil yang hilang dari lokasi.
Hanya saja, luka tembak itu tidak langsung menewaskan Yeremia. Saat ditemukan istrinya, ia masih sempat menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada sejumlah saksi. Dalam rentang waktu 5-6 jam setelah penembakan itu, Yeremia meninggal. Anam mengatakan, ahli menyatakan Yeremia meninggal karena kehabisan darah.
Penembakan terhadap Yeremia, menurut Komnas HAM, tidak terlepas dari rentetan peristiwa sebelumnya, yakni 17-19 September 2020. Sebelumnya, Serka Sahlan, anggota Koramil Persiapan Hitadipa, ditembak mati oleh kelompok kriminal bersenjata.
Penembakan terhadap Yeremia, menurut Komnas HAM, tidak terlepas dari rentetan peristiwa sebelumnya, yakni 17-19 September 2020. Sebelumnya, Serka Sahlan, anggota Koramil Persiapan Hitadipa, ditembak mati oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB). Sementara itu, senjatanya hilang dirampas. Kejadian ini mendorong dilakukannya penyisiran dan pencarian terhadap senjata yang dirampas oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Warga pun dikumpulkan dalam pencarian senjata itu dan berpesan agar senjata dikembalikan dalam waktu 2-3 hari. Dalam pengumpulan massa itu, menurut temuan Komnas HAM, nama Yeremia disebut-sebut beserta lima nama lainnya dan dicap sebagai musuh salah satu anggota Koramil Persiapan Hitadipa.
Pada 19 September, seorang anggota TNI, Prajurit Satu Dwi Akbar Utomo, juga ditembak KKB. Sementara satu tim lainnya yang dipimpin oleh Alpius Hasim Madi diduga sedang melakukan penyusuran guna mencari senjata api yang dirampas. Penyisiran oleh Alpius dan pasukannya itu juga dilihat oleh warga sekitar, termasuk istri korban, Mama Miryam Zoani. Alpius disebutkan menuju kandang babi sekitar waktu penembakan terhadap Yeremia terjadi.
Anam mengatakan, Alpius merupakan terduga pelaku langsung dalam peristiwa penembakan Yeremia. Akan tetapi, ada juga terduga tidak langsung, yakni pimpinan yang memerintahkan pencarian senjata yang dirampas dan pencarian anggota OPM.
Penembakan yang terjadi di Papua ini mengonfirmasi siklus kekerasan yang belum selesai di Papua.
Hentikan siklus kekerasan
Anggota Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan, penembakan yang terjadi di Papua ini mengonfirmasi siklus kekerasan yang belum selesai di Papua. Selain itu, laporan tim investigasi dari Komnas HAM ini merupakan satu dari beberapa laporan investigasi lainnya terkait kasus yang sama. Sebelumnya, TNI, Polri, dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan juga telah menyampaikan laporan hasil temuannya.
”Saya ingin menegaskan laporan ini bukan hoaks. Karena, sebelum ada laporan investigasi lain, sudah ada yang melabeli laporan lain itu hokas. Jadi, saya kira pihak-pihak yang meyakini laporan pihaknya sendiri yang paling benar dan melabeli yang lain hoaks sebaiknya jangan tergesa-gesa dan harus hati-hati melabeli hoaks pihak lain yang berbeda,” tutur Beka.
Beka mengatakan, perlunya ada jaminan ketidakberulangan dari pemerintah. Pasalnya, peristiwa kekerasan di Papua sudah sangat sering terjadi. Komnas HAM, antara lain, merekomendasikan agar kasus penembakan pendeta Yeremia ini ditangani dengan mekanisme peradilan koneksitas. Selain itu, korban dan saksi perlu untuk mendapatkan perhatian dan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sehingga ada jaminan keamanan dan tidak muncul ketakutan di antara mereka.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, lembaganya sejak awal telah melakukan langkah-langkah konkret dan bekerja dengan kantor Komnas HAM di Papua.
”Kami sampai ke lokasi TKP, mewawancarai puluhan orang dan melakukan rekonstruksi di lapangan, serta meminta pandangan dari para ahli, yang tujuannya memperjelas apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Penderta Yeremia,” katanya.
Komnas HAM antara lain merekomendasikan agar kasus penembakan pendeta Yeremia ini ditangani dengan mekanisme peradilan koneksitas.
Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayor Jenderal Achmad Riad mengatakan, sampai saat ini TNI berpedoman kepada Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atas nama negara yang membentuk resmi tim gabungan pencari fakta (TGPF).
”Terkait peristiwa di Intan Jaya, menurut saya, release (rilis pernyataan) Menkopolhukam sudah cukup jelas,” kata Achmad.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD dalam keterangannya mengatakan, TGPF yang dibentuk oleh pemerintah melalui Kemenko Polhukam mendapatkan informasi dan fakta-fakta dari lapangan yang menunjukkan dugaan keterlibatan oknum aparat dalam peritiwa terbunuhnya Yeremia. Namun, dalam kesimpulannya, TGPF juga membuka kemungkinan perbuatan itu dilakukan oleh pihak ketiga.
”Untuk selanjutnya, pemerintah akan menyelesaikan kasus ini sesuai dengan hukum yang berlaku, baik hukum pidana maupun hukum administrasi negara. Sejauh menyangkut tindak pidana berupa kekerasan dan atau pembunuhan, pemerintah meminta Polri dan kejaksaan untuk menyelesaikannya sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa pandang bulu dan, untuk itu, pemerintah meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengawal prosesnya lebih lanjut,” tutur Mahfud.