Ketergantungan Calon pada Donatur Kerap Berujung Korupsi
Ketergantungan calon kepala/wakil kepala daerah pada donatur untuk membiayai kampanye pilkada kerap berujung pada korupsi. Calon yang maju di Pilkada 2020 diingatkan akan potensi bahaya tersebut.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketergantungan calon kepala/wakil kepala daerah pada donatur untuk membiayai kampanye pemilihan kepala daerah kerap berujung pada korupsi. Oleh karena itu, calon yang maju di Pilkada 2020 diingatkan akan potensi bahaya tersebut. Pemilih pun diharapkan jeli dalam memilih calon. Kejujuran dan integritas calon mesti jadi pertimbangan saat memilih.
Sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung pertama kali digelar pada 2005, persoalan korupsi selalu membayangi kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terjadi 695 kasus korupsi di 26 provinsi di Indonesia selama 2004-2020. Kementerian Dalam Negeri juga mencatat, ada 300 kepala daerah hasil pilkada langsung yang ditangkap akibat korupsi.
Ketua KPK Firli Bahuri dalam Webinar Nasional Pilkada Berintegritas 2020, Selasa (20/10/2020), menyatakan, pendanaan kampanye menjadi persoalan penting dalam pilkada. Berdasarkan survei yang dilakukan KPK pada pelaksanaan Pilkada 2015, 2017, dan 2018, harta pasangan calon tidak mencukupi untuk biaya pilkada.
Harta rata-rata pasangan calon dalam tiga kali pelaksanaan pilkada itu sekitar Rp 18 miliar, jauh di bawah biaya ideal untuk menang, Rp 65 miliar. Kekurangan dana itu mengakibatkan pasangan calon sangat mengandalkan sumbangan kampanye dari pihak ketiga.
Survei juga menemukan bahwa 82,3 persen pasangan calon kepala/wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada.
”Hasil survei juga menunjukkan sebagian besar calon kepala daerah akan memenuhi harapan donatur yang meminta imbalan ketika menjabat,” tambahnya.
Webinar juga menghadirkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan, dan Pelaksana Harian Ketua Komisi Pemilihan Umum Ilham Saputra.
Oleh karena itu, Firli berpesan agar masyarakat memilih pasangan calon yang jujur dan memiliki integritas. Menurut dia, kurangnya integritas menjadi salah satu pemicu terjadinya korupsi kepala daerah. ”Korupsi terjadi karena adanya kekuasaan, kesempatan, dan kurangnya integritas,” ucapnya.
Tito menyatakan, kepala daerah yang memiliki niat buruk, seperti mengumpulkan uang dan mencari popularitas, akan mudah terjebak korupsi. Penegak hukum, seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, sangat paham pola-pola korupsi yang melibatkan kepala daerah.
Informasi mengenai tindak pidana korupsi juga biasanya diberikan oleh lingkaran kepala daerah terpilih, mulai dari lawan politik, aparatur sipil negara, bahkan wakil kepala daerah yang berambisi menggantikan posisi kepala daerah. ”Mudah sekali mencari celahnya karena KPK, Polri, dan Kejaksaan sudah terlatih,” katanya.
Penyelenggara pemilu
Tito mengingatkan agar penyelenggara pemilu juga memiliki integritas dalam menjalankan tugas.
Pengalamannya di kepolisian menunjukkan penyelenggara di tingkat daerah rentan tidak netral. Ada pasangan calon yang sengaja menempatkan orang-orangnya menduduki posisi penyelenggara, mulai dari tingkat kabupaten hingga penyelenggara di tempat pemungutan suara.
”Teman-teman di daerah harus menunjukkan netralitas karena hanya dengan netralitas, maka dihargai pasangan calon,” ucap mantan Kepala Polri 2016-2019 tersebut.
Ilham mengingatkan, peserta pilkada agar mengikuti seluruh aturan yang sudah ditetapkan. Begitu pula pemilih untuk menghindari segala bentuk politik uang dan memilih calon pemimpin secara rasional. ”Peserta dan pemilih harus berintegritas,” katanya.
Menurut Abhan, ada potensi politisasi bantuan sosial Covid-19 di masa pilkada. Politisasi itu, antara lain, berupa bantuan diberi label foto kepala daerah, diberi simbol partai politik tertentu, diatasnamakan kepala daerah atau partai, dan korupsi anggaran penanganan Covid-19.