Rapat Utak-atik Draf Saat Gedung Parlemen Tengah ”Lockdown”
Setiap hari, selama sepekan, di salah satu ruangan di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, perwakilan pemerintah dan DPR mengutak-atik draf RUU Cipta Kerja. Bahkan, saat gedung tengah ”lockdown”.
Status gedung yang sedang ditutup alias lockdown setelah belasan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) positif Covid-19 tak menyurutkan niat pemerintah dan DPR untuk ”merombak” draf RUU Cipta Kerja. Setiap hari, selama sepekan terakhir, di salah satu ruangan di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, perwakilan pemerintah dan DPR berkutat hingga larut malam memperbaiki draf RUU itu.
Rapat-rapat itu diikuti perwakilan pemerintah, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, staf Badan Keahlian DPR (BKD), dan tenaga ahli Baleg. Rapat selama tujuh hari itu diklaim untuk memperbaiki draf RUU Cipta Kerja yang telah disetujui untuk disahkan oleh DPR, 5 Oktober 2020.
Rapat disebut untuk memperbaiki draf, tetapi sejumlah perubahan substansi juga diduga terjadi. Sesuatu yang tak boleh dilakukan. Indikasi perubahan substansi, antara lain, terlihat dari adanya perbedaan konten antara draf ”final” terakhir yang dikonfirmasi oleh DPR, yakni draf 812 halaman, dengan draf sebelumnya yang belum diubah format kertas, yakni draf 1.035 halaman.
Dari penelusuran Kompas, ada sejumlah tambahan pasal, ayat, dan frasa baru, bahkan bab yang hilang dan timbul di berbagai versi draf yang muncul setelah RUU disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober 2020. Setelah versi 905 halaman, muncul versi 1.052 halaman yang beredar di media sosial dan layanan pesan instan, serta versi 1.035 halaman dan 812 halaman yang keduanya diperoleh dari Sekjen DPR Indra Iskandar.
Salah satu contoh perubahan signifikan terlihat pada penambahan bab khusus mengenai kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan retribusi dan pajak. Bab ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengintervensi kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah. Bab ini sebelumnya tercantum di draf versi 905 halaman (5 Oktober), menghilang di draf versi 1.035 halaman (5 Oktober siang), dan kembali muncul di draf versi 812 halaman (5 Oktober 2020 malam).
Pemerintah turut serta
Agatha Widianawati, salah satu perwakilan tim Kementerian Ketenagakerjaan, hampir setiap hari mengunjungi Gedung DPR untuk membahas perumusan draf versi final tersebut. ”Ada yang dibahas di luar DPR, ada yang di Gedung DPR. Memang gedungnya sedang lockdown, tapi parsial. Ada satu gedung yang masih dibuka di Nusantara I, itu yang kita gunakan,” kata Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja itu.
Dari tim Kemenaker, termasuk Agatha, ada tiga orang yang hadir dalam proses perumusan final RUU Cipta Kerja. Tim ini juga sudah mengawal sejak awal proses penyusunan draf oleh pemerintah. Selain Kemenaker, ada perwakilan dari kementerian lain, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan, yang selalu hadir dalam rapat sepekan bersama DPR.
”Keroyokan membahasnya. Bayangkan saja ada sekian banyak pasal yang harus dirapikan dalam waktu tujuh hari,” kata Agatha.
Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, timnya ikut memberikan masukan dalam proses perumusan draf final RUU Cipta Kerja. Terkait adanya sejumlah perubahan substansi antara draf 905 halaman dan draf terakhir yang berjumlah 812 halaman, Anwar mengatakan, beberapa hal yang pada draf sebelumnya belum jelas, dibuat jelas dalam draf terbaru itu.
Saat ditanya apakah perubahan itu untuk merespons penolakan dan unjuk rasa, khususnya kelompok buruh, Anwar tak membantah dan tak membenarkan. ”Tidak semata-semata seperti itu, tetapi ada juga perujukan pasal per pasal yang memang harus dilakukan penyesuaian,” katanya.
Undangan Whatsapp
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, mengatakan, substansi draf RUU Cipta Kerja tak mungkin diubah. Dari proses perbaikan draf yang diikutinya bersama tim BKD, dan tenaga ahli Baleg, perbaikan draf hanya meliputi penyempurnaan tanda baca, redaksional yang sifatnya tak mengubah substansi.
Sembilan fraksi juga diajak sama-sama ”memantau” jalannya perbaikan draf. Perkara hadir atau tidaknya perwakilan fraksi, kata Firman, itu terserah mereka. ”Jangankan fraksi-fraksi, yang kontra dengan RUU Cipta Kerja juga diundang memantau,” ujarnya.
Baca juga: Serba Cepat untuk RUU Cipta Kerja
Undangan singkat masuk ke grup Whatsapp yang berisi pimpinan dan anggota kelompok fraksi Baleg DPR. Ketua kelompok fraksi (kapoksi) diminta mengirimkan satu perwakilan fraksinya untuk hadir ke ruang pimpinan Baleg, Jumat (9/10/2020), pukul 13.00.
Undangan hanya dikirim via pesan Whatsapp serta diterima para anggota sekitar lima jam sebelum rapat dimulai, atau tepatnya pukul 07.55. Selain itu, surat tidak memerinci hal apa yang akan dibahas. Rapat juga digelar ketika anggota DPR memasuki masa reses.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Bambang Purwanto, membenarkan undangan itu. Namun, ia tak dapat menghadiri rapat tersebut karena sedang berada di daerah pemilihannya.
”Undangan itu tidak jelas juga, cuma undangan rapat, gitu saja. Saya pikir karena itu hanya undangan rapat, rapat apa? Tidak jelas, saya juga ada di daerah pemilihan, ya sudah saya bilang, saya tidak bisa,” ujar Bambang.
Setelah ditelusuri, Bambang mengatakan, rapat itu ternyata membahas draf RUU Cipta Kerja yang akan dikirim ke Presiden. Sebab, DPR memiliki waktu tujuh hari untuk merapikan draf tersebut. ”Merapikan, lho. Tidak boleh sampai mengubah substansi,” katanya.
Bambang menegaskan, jika kelak ditemukan ada perubahan substansi antara draf RUU Cipta Kerja yang telah disepakati di panitia kerja (panja) dan draf RUU yang dikirimkan ke Presiden, hal itu melanggar aturan dan patut dipersoalkan.
Baca juga: RUU Cipta Kerja dan Ironi Kekuasaan Mayoritas
Sementara itu, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Mulyanto mengaku seluruh anggotanya tak ada yang ikut rapat penyisiran draf RUU Cipta Kerja sepekan terakhir ini. Fraksi PKS menolak RUU tersebut.
Karena itu, kata Mulyanto, Fraksi PKS bergerak mandiri mengidentifikasi pasal-pasal yang berubah dari yang sudah disepakati di panja. Jika ditemukan perbedaan, Fraksi PKS akan mengungkap hal itu ke pimpinan DPR dan publik.
”Kami akan buka semuanya. Sebab, bahaya. Sekarang ini, kan, kesannya main petak umpet. Sudah ngebut mengesahkannya, kejar tayang, pindah-pindah tempat (pembahasannya), terakhir malah main petak umpet. Enggak bagus buat kita semua. Itu yang membuat rakyat tidak percaya kepada pemerintah dan DPR,” kata Mulyanto.
Dia menegaskan, rapat selama sepekan terakhir ini seharusnya benar-benar digunakan untuk membenahi kesalahan ketik, bukan menyentuh substansi. Rapat juga tidak boleh dihadiri perwakilan pemerintah atau anggota DPR, tetapi sekretariat jenderal DPR. Sebab, setelah ketok palu dalam rapat paripurna, lobi politik dan pembahasan substansi tak ada lagi.
”Kalau ada perwakilan pemerintah, itu, kan, berarti di luar resmi. Enggak resmi itu. Individu itu sifatnya, perorangan,” ucap Mulyanto.
Pada Selasa (13/10/2020), Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengonfirmasi draf yang tuntas dan siap dikirim ke presiden ialah draf 812 halaman. Azis juga menegaskan tak ada perubahan substansi apa pun dalam proses perbaikan draf.
”Kalau substansi tidak ada yang berubah saya jamin itu. Bagi sahabat-sahabat anggota yang terhormat menyatakan ada substansi berubah, baik ayat, pasal, maupun kandungannya semua ada rekaman, notulensi, dan catatan yang merupakan bagian dari lampiran yang merupakan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011,” ujarnya.
Jamak terjadi
Peneliti senior di Badan Keahlian DPR Poltak Partogi Nainggolan mengatakan, utak-atik pasal setelah RUU disetujui dalam Rapat Paripurna DPR sudah jamak terjadi. Dengan alasan membenahi kekeliruan kata dan tanda baca di draf, tetapi kenyataannya substansi pasal ikut diubah. ”Praktik perubahan pasca-disahkan terutama semakin sering terjadi di DPR pasca-reformasi,” katanya.
Padahal perubahan apa pun setelah RUU disetujui untuk disahkan dalam rapat paripurna tidak dibenarkan, termasuk di dalamnya tidak dibenarkan lagi memperbaiki kekeliruan kata atau tanda baca. Pasal 72 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, RUU yang telah disetujui untuk disahkan harus segera disampaikan ke Presiden untuk disahkan. Waktu untuk penyampaian RUU maksimal tujuh hari.
Ironisnya, menurut Partogi, ruang waktu tujuh hari ini ditafsirkan berbeda oleh DPR. Dalam Tata Tertib DPR, ruang waktu itu dinilai bisa digunakan untuk memperbaiki draf, terutama memperbaiki kekeliruan kata dan tanda baca.
”Yang terjadi akhirnya substansi pasal ikut diubah. Ini bukan hanya terjadi di RUU Cipta Kerja, melainkan di sejumlah UU lainnya sebelumnya, seperti UU Sisnas Iptek dan Tembakau,” kata pria yang hampir 30 tahun menjadi tenaga ahli DPR ini.
Menurut dia, perubahan substansi pasca-RUU disetujui sering kali terjadi karena saat pembahasan, bunyi pasal yang telah disepakati tidak langsung dituliskan di RUU. Namun, di luar itu, tak tertutup kemungkinan, perubahan pasca-RUU disetujui untuk disahkan, sengaja ditoleransi. ”Untuk membuka celah bagi mereka yang suka jual-beli pasal,” ungkapnya.
Bagaimana pendapat Anda? (rek/age/bow/apa)