Kekerasan Saat Unjuk Rasa, Empat Aktor Dinilai Harus Bertanggung Jawab
Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan kepolisian dalam menangani unjuk rasa penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja. Empat aktor di kepolisian harus bertanggung jawab.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani unjuk rasa penolakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Empat aktor di kepolisian dinilai harus bertanggung jawab atas kekerasan tersebut.
Salah satunya, dalam penanganan unjuk rasa di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, pada Selasa (13/10/2020) malam. Gas air mata untuk membubarkan massa pengunjuk rasa dinilai ditembakkan secara serampangan sehingga warga Kwitang terkena imbasnya.
Tergabung dalam koalisi tersebut, antara lain, Kontras, Imparsial, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, dan LBH Jakarta.
Staf Advokasi Kontras Andi Rezaldy mengatakan, Rabu (14/10/2020), kekerasan terhadap pengunjuk rasa memperlihatkan kepolisian menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam menghadapi demonstran. Hal serupa dinilai terjadi tahun lalu saat kepolisian menangani unjuk rasa yang memprotes hasil pemilihan umum, Mei 2019. Selain itu, terjadi pula dalam aksi damai para mahasiswa dan pelajar saat gerakan Reformasi Dikorupsi pada September 2019.
”Dalam dua peristiwa tersebut, tercatat ratusan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM), antara lain penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, tindak kekerasan, hingga penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan peluru karet, peluru tajam, dan gas air mata,” kata Andi.
Ia mengungkapkan, banyak orang yang ditangkap mengalami penyiksaan, diperlakukan tidak manusiawi, dan menerima perlakuan buruk lainnya. Selain itu, juga terjadi pembatasan akses informasi hingga dihalangi untuk memperoleh bantuan hukum. Peristiwa kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan kepolisian terhadap aksi protes menolak UU Cipta Kerja adalah repetisi atas pola brutalitas kepolisian.
Padahal, baik undang-undang maupun peraturan internal Polri sudah mengatur dengan tegas bahwa anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya wajib menjunjung tinggi HAM. Bahkan, saat menindak orang yang melanggar hukum, kepolisian tetap harus menghormati prinsip praduga tidak bersalah.
Koalisi berpandangan, kepolisian tidak dapat menggunakan alasan adanya provokasi atau peserta aksi yang terlebih dahulu melakukan kekerasan sebagai justifikasi melakukan kekerasan. Tugas kepolisian adalah memastikan pelaku tindak pidana diproses secara hukum dan masyarakat yang terlibat dalam aksi dilindungi haknya.
”Kepolisian harus menemukan pelaku utama dari provokasi tersebut agar hal serupa tidak terulang kembali di masa yang akan datang,” kata Andi.
Koalisi pun berpendapat, tindakan kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan dapat terus terjadi. Sebab, aktor yang melakukan kekerasan dan atasan yang membiarkan kekerasan tersebut terjadi tidak dihukum secara pidana dan etik.
Reformasi kepolisian
Selain itu, penyebab lainnya ialah minimnya pengawasan dan evaluasi kekuatan yang digunakan. Dari berbagai peristiwa yang ada, Koalisi memandang bahwa saat ini reformasi institusi kepolisian mengalami kemunduran.
Hal itu tampak dari aspek kultural polisi yang seharusnya berwatak sipil dan mengedepankan prinsip pemolisian demokratik berubah menjadi sosok polisi yang militeristik. Mereka memosisikan masyarakat sebagai musuh atau lawan.
Menurut koalisi, setidaknya terdapat empat aktor yang harus dimintai pertanggungjawaban. Pertama, anggota polisi yang melakukan tindak kekerasan. Kedua, anggota pengendali lapangan, yakni komandan kompi atau komandan batalyon. Ketiga, komandan kesatuan sebagai pengendali teknis. Keempat, kepala kepolisian daerah selaku penanggung jawab pengendalian taktis.
Terkait dengan penembakan gas air mata di Kwitang, Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Heru Novianto mengatakan, penembakan gas air mata dilakukan untuk membubarkan massa dari Tugu Tani.
”Mereka dikejar masuknya ke arah perumahan itu dan itu sudah tiga kali. Mereka bukan orang kampung situ semua, tetapi mereka berlindung di kampung situ. Makanya, kemarin penindakannya sampai masuk ke dalam,” kata Heru.
Ia mengungkapkan, penembakan gas air mata tersebut dilakukan agar mereka tidak keluar lagi. Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) sudah mengimbau warga untuk tidak menerima orang yang berasal dari luar daerah tersebut. Namun, warga justru melindungi mereka.
Heru menegaskan, polisi hanya menggunakan gas air mata dan tidak menggunakan peluru karet. Beberapa orang telah diamankan ke Polda Metro Jaya dalam peristiwa tersebut.