Menko Polhukam Minta Publik Percaya Hasil Kerja TGPF Intan Jaya
Tim Gabungan Pencari Fakta Kekerasan di Intan Jaya, Papua, telah tuntas menyerap informasi di Papua. Tim kini sedang menyusun kesimpulan. Penyusunan kesimpulan diberi waktu hingga akhir pekan ini.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Gabungan Pencari Fakta Kekerasan di Intan Jaya, Papua, diberi waktu hingga Sabtu (17/10/2020) untuk menyelesaikan laporan hasil investigasi atas serangkaian penembakan di Intan Jaya yang mengakibatkan korban jiwa dalam kurun waktu 16-20 September lalu. Meskipun bekerja dalam waktu singkat dan sempat diserang saat berada di Intan Jaya, tim meyakini mampu menyelesaikan tugasnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (13/10/2020), mengatakan, meskipun menghadapi sejumlah rintangan hingga penyerangan di Intan Jaya, target pencarian fakta oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tercapai. Untuk itu, ia mengapresiasi kerja TGPF.
”Sebelum TGPF masuk, aparat dan pemda tidak berhasil menemui keluarga. Kalaupun berhasil menemui, mereka sangat tertutup dan tidak mau memberikan keterangan,” kata Mahfud. Namun, setelah TGPF masuk, pihak keluarga mau terbuka dan memberikan keterangan. Bahkan, keluarga menyetujui permintaan otopsi jenazah Pendeta Yeremias Zanambani, salah satu korban penembakan.
Semua itu, kata Mahfud, berkat pendekatan kultural yang dilakukan oleh TGPF. Sosok sentral yang membuat pihak keluarga terbuka itu ialah Pendeta Henok Bagau, Ketua Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di Timika, Papua. Henok yang merupakan tokoh lokal mampu meyakinkan keluarga tentang pentingnya memberikan keterangan agar kasus tersebut diungkap secara terang benderang.
”Meskipun waktu investigasi singkat, tim berhasil menemui saksi-saksi kunci, olah tempat kejadian perkara (TKP), karena pendekatan kultural,” kata Mahfud.
Setelah TGPF mengumpulkan informasi di Papua, saat ini tim akan berdiskusi, mengumpulkan semua fakta untuk disimpulkan. Mahfud meminta publik terutama warga Papua agar memercayai apa pun hasil penyelidikan TGPF.
Dipercayai publik
Meskipun ada unsur pemerintah di dalam TGPF, hasil penyelidikan TGPF diharapkan tetap bisa dipercayai publik karena di dalam TGPF terdapat banyak elemen lain di luar unsur pemerintah. Mereka di antaranya tokoh masyarakat Papua, tokoh agama, dan akademisi. Suara dari tokoh-tokoh tersebut diyakininya tidak bisa didikte pemerintah, apalagi dibeli.
Ketua Tim Investigasi Lapangan TGPF Benny Mamoto menceritakan, tim masuk ke kampung Hitadipa, Intan Jaya, dengan pendekatan kultural.
Sebelum memulai investigasi, tim ziarah ke makam Pendeta Yeremias Zanambani. Tim sempat mengalami kendala bahasa karena keluarga dan saksi mata tidak begitu lancar berbahasa Indonesia. Pendeta Henok Bagau yang berperan menerjemahkan. Henok pula yang berhasil meyakinkan keluarga dan saksi mata bahwa keterangan mereka sangat penting untuk mengungkap kejadian.
”Pada hari pertama, kami sudah melakukan olah tempat kejadian perkara, meminta keterangan dari para saksi mata. Kemudian, saat perjalanan pulang, kami diserang oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB),” kata Benny.
Menurut Benny, situasi dan kondisi di Intan Jaya saat itu memang masih rawan dari sisi keamanan. Konflik bersenjata masih terjadi baik di kampung Hitadipa maupun di wilayah lain di Intan Jaya. Bahkan, kantor bupati yang menjadi markas tim investigasi pun tak luput dari serangan. Namun, hal itu tidak menyurutkan proses investigasi lapangan yang dilakukan di Intan Jaya.
”Pasca-serangan KKB yang membuat anggota TGPF Bambang Purwoko dan satu anggota TNI Sertu Faisal tertembak, kami tidak lagi datang ke TKP. Saksi-saksi dibawa dan dimintai keterangan di tempat yang aman,” kata Benny.
Hasil otopsi
Meskipun keluarga telah menyetujui proses otopsi jenazah Pendeta Yeremias, menurut Mahfud, hasilnya tidak akan dijadikan laporan TGPF. Sebab, proses otopsi biasanya memakan waktu minimal dua minggu. Adapun hasil investigasi TGPF harus selesai pada 17 Oktober untuk dilaporkan kepada Menko Polhukam.
”Otopsi untuk penegakan hukum pro yustisia, jadi tidak harus menunggu selesai untuk kesimpulan tanggal 17. Yang penting keluarga sudah bersedia (jenazah) diotopsi. Penyebab terbunuhnya (Pendeta Yeremias) akan terjawab pasca-otopsi, tetapi itu untuk keperluan pengadilan,” kata Mahfud.
Benny Mamoto menambahkan, otopsi akan menjadi sebuah rangkaian proses penyidikan oleh pihak kepolisian. Oleh karena itu, TGPF tidak akan menunggu hasil investigasi untuk menyelesaikan kesimpulan akhir. Dalam konteks otopsi, TGPF hanya membantu kepolisian.
Meskipun menyetujui otopsi, pihak keluarga Pendeta Yeremias meminta persyaratan. Syaratnya ialah otopsi disaksikan oleh perwakilan gereja, tokoh masyarakat, dan TGPF. TGPF pun akan memenuhi persyaratan tersebut. ”Untuk tokoh gereja, kami akan meminta Pendeta Henok Bagau untuk menyaksikan proses otopsinya,” kata Benny.
Benny menjelaskan, meskipun tidak memakai hasil otopsi, fakta-fakta yang akan disampaikan TGPF dianggap sudah cukup untuk mengungkap kebenaran kasus di Intan Jaya. Tim investigasi lapangan sudah meminta keterangan dari istri Pendeta Yeremias, saudara yang datang melihat korban, saksi mata pasca- peristiwa, tenaga medis yang dimintai bantuan menangani korban, dan aparat yang saat itu bertugas di Hitadipa.
”Rangkaian peristiwa yang coba digali oleh tim investigasi lapangan ini juga sudah dibuatkan laporan kepolisiannya oleh pihak kepolisian,” kata Benny.
Penyerangan
Terkait dengan kejadian penyerangan terhadap tim investigasi lapangan, Benny mengaku sudah meminta pihak kepolisian di Papua agar TGPF diminta sebagai saksi dalam kejadian tersebut. Dalam serangan yang dilakukan oleh Tentara Nasional Pembebasan Operasi Papua Merdeka itu, anggota TGPF yang merupakan sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Bambang Purwoko, tertembak di bagian kaki. Adapun seorang anggota TNI Sertu Fasial tertembak di bagian pinggang. Pihak TGPF yang menjadi saksi mata sudah memiliki dokumentasi pada saat kejadian.
Menurut Mahfud, adanya penyerangan terhadap TGPF di Intan Jaya mengindikasikan bahwa lokasi di seputaran Intan Jaya dikuasai KKB. Pasca-kejadian, Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (OPM), Sebby Sambom, menyatakan bertanggung jawab atas penembakan. Alasannya, mereka meminta TGPF bukan berasal dari Indonesia, tetapi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan klaim itu, sudah jelas pelaku penyerangan terhadap TGPF.
Sesuai dengan keterangan saksi mata, serangan itu terlihat seperti direncanakan. Sebelum diserang, ada dua perempuan yang berjalan di tengah jalan seperti sengaja hendak memperlambat laju jalan mobil yang ditumpangi TGPF. Sertu Faisal sempat meminta agar kedua perempuan itu minggir. Setelah diminta minggir, kedua perempuan tersenyum, kemudian muncul tembakan dari sisi atas dan bawah.
”Sudah jelas itu diatur dan KKB sendiri mengklaim serangan itu. Tugas negara ialah memburu mereka,” kata Mahfud.
Seperti diberitakan sebelumnya, awal Oktober lalu, pemerintah membentuk TGPF dan memberikan waktu dua pekan untuk mengusut kasus kekerasan dan penembakan yang menimbulkan korban jiwa di Intan Jaya, Papua.
Dalam rentang waktu 16-20 September, ada seorang warga sipil, seorang pendeta, dan dua prajurit TNI tewas di Intan Jaya. Korban tewas itu ialah warga sipil bernama Badawi, dua prajurit TNI Serka Sahlan dan Pratu Dwi Akbar, serta Pendeta Yeremias Zanambani.
Kemudian dalam proses penyelidikan di Intan Jaya, TGPF sempat diserang oleh KKSB. Akibatnya, dua orang terluka, yaitu sosiolog UGM, Bambang Purwoko; dan seorang prajurit TNI. Serangan terjadi ketika tim dalam perjalanan dari Hitadipa ke Kampung Mamba, Sugapa, Intan Jaya, Jumat (9/10/2020) sore.