Hindari Kekerasan Eksesif dalam Pengamanan Unjuk Rasa
Unjuk rasa penolakan terhadap RUU Cipta Kerja yang sudah disetujui untuk disahkan oleh DPR masih akan terjadi. Aparat keamanan diharapkan menghindari penggunaan kekerasan eksesif.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian diharapkan mengutamakan pendekatan persuasif dan menghindari kekerasan eksesif dalam mengamankan unjuk rasa penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang diperkirakan masih akan berlangsung beberapa hari ke depan. Di sisi lain, pengunjuk rasa juga diimbau menyuarakan aspirasinya dengan tertib dan tanpa kekerasan.
Dalam unjuk rasa yang berlangsung pada 5-9 Oktober 2020 di sejumlah daerah di Indonesia, Polri menangkap 5.918 orang yang diduga terkait kericuhan. Dari jumlah itu, 167 orang dinaikkan status perkaranya ke penyidikan.
Pada Senin (12/10/2020), dari sejumlah daerah dilaporkan, unjuk rasa penolakan terhadap RUU Cipta Kerja yang disetujui untuk disahkan oleh DPR pada 5 Oktober kembali terjadi. Unjuk rasa, antara lain, terjadi di Bandar Lampung, Ambon, dan Jambi.
Sementara itu, sejumlah kelompok juga sudah menyatakan akan kembali berunjuk rasa. Jejaring Gerakan Rakyat, misalnya, akan berunjuk rasa pada 20-22 Oktober 2020. Sejumlah organisasi massa Islam juga berencana unjuk rasa pada Selasa.
Terkait hal itu, Persyarikatan Muhammadiyah memutuskan tidak mengikuti unjuk rasa yang hendak digelar sejumlah organisasi massa Islam untuk menolak RUU Cipta Kerja.
”Muhammadiyah tidak ada hubungan dan tidak akan ikut dalam aksi yang akan dilaksanakan oleh sejumlah organisasi Islam pada hari Selasa,” kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam keterangan tertulis, Senin.
Mu’ti menegaskan, Muhammadiyah tidak akan turut serta karena saat ini tengah fokus menangani pandemi Covid-19 beserta dampaknya. Selain itu, Muhammadiyah melihat saat ini aksi dengan melibatkan massa menimbulkan mudarat yang lebih besar. Sebab, dalam kondisi pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya terkendali, kerumunan massa dalam jumlah besar rawan menjadi ajang penyebaran virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19.
Meski memutuskan tak ikut serta, Muhammadiyah menghormati masyarakat yang memilih berunjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja. Pasalnya, menyampaikan pendapat secara lisan dan tulisan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi.
Karena itu, masyarakat yang turut berunjuk rasa diimbau tetap mematuhi undang-undang, tertib, dan menghindari kekerasan dalam bentuk apa pun. Di sisi lain, aparat keamanan diimbau memaksimalkan pendekatan persuasif dan humanis agar tidak terjadi keributan atau bahkan bentrokan dengan masyarakat.
Kebebasan berpendapat
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, aparat kepolisian wajib berpegang teguh dan patuh pada konstitusi yang memberi jaminan hak asasi manusia berupa hak atas kebebasan berpendapat di muka umum atau demonstrasi.
”Penanganan aksi atau demonstrasi dengan kekerasan justru akan membuat kemarahan publik makin membesar dan bisa jadi akan meledak lebih dahsyat lagi,” kata Julius.
Menurut dia, pendekatan humanis dan tanpa represi di beberapa lokasi demonstrasi sudah menjadi contoh dan disambut tanpa vandalisme atau perusakan. Hal tersebut menunjukkan, penanganan demonstrasi yang tidak sesuai aturan justru menimbulkan kericuhan itu sendiri.
Dalam unjuk rasa yang lalu, PBHI menemukan dan mengidentifikasi dugaan pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian yang mengamankan aksi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Bentuk pelanggaran tersebut berupa pelarangan dan sweeping sebelum aksi dimulai.
Selain itu, katanya, ada tindakan brutal dan represif selama aksi berlangsung, seperti kekerasan verbal, pemukulan, pengeroyokan, dan penembakan gas air mata ke arah kaki atau tubuh peserta aksi.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono sebelumnya mengatakan, polisi bekerja secara profesional dalam menyikapi demonstrasi yang dilakukan buruh dan mahasiswa pada pekan lalu.
Polisi, ujarnya, menangkap beberapa demonstran, tetapi hal itu dilakukan karena tindakan anarkistis. Namun, jika dalam kurun waktu 1 x 24 jam tidak ada bukti permulaan yang cukup, demonstran yang ditangkap akan dipulangkan. Sebaliknya, jika ada bukti permulaan yang cukup untuk dugaan pidana, polisi akan melakukan penyidikan.
Sementara itu, di Jakarta, personel TNI dan Polri berpatroli keliling Ibu Kota guna meredam risiko kerusuhan dalam unjuk rasa. Patroli diawali dengan apel yang dihadiri Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana serta Panglima Komando Daerah Militer Jaya/Jayakarta Mayor Jenderal Dudung Abdurachman di kawasan Silang Monas, Jakarta Pusat, Senin (12/10/2020). Sekitar 2.000 personel gabungan turut serta dalam apel tersebut.
Dudung mengatakan, ia sudah menginstruksikan semua anggota TNI dan Polri agar berlaku proporsional, profesional, serta mengedepankan langkah persuasif dan humanis, tetapi tegas ketika menangani perusuh dalam demonstrasi. Yang lebih penting setelah itu, petugas diminta mencari tokoh-tokoh penggerak perusuh di lapangan.
Ia meyakini, kelompok yang benar-benar terdiri dari buruh dan mahasiswa hanya ingin menyampaikan aspirasi tanpa kericuhan. Dia juga mengingatkan anggota TNI dan Polri agar tidak membawa kepentingan apa pun selain menjalankan tugas dengan baik dan bersinergi.