Polri menangkap 5.918 orang terkait unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja pada 5-9 Oktober lalu. Sebanyak 167 diantaranya ditetapkan sebagai tersangka
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kepolisian tengah memburu pihak-pihak yang diduga memicu terjadinya tindakan anarkistis dalam rangkaian demonstrasi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja. Hingga saat ini, Kepolisian telah menangkap 5.918 orang terkait tindakan anarkistis tersebut di seluruh Indonesia.
Kepala Divisi Humas Kepolisian Negara Republik Indonesia Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, dalam jumpa pers, Senin (12/10/2020), mengatakan, tindakan anarkistis pada rangkaian demonstrasi terkait RUU Cipta Kerja terjadi karena adanya ajakan dari pihak-pihak tertentu. Akibatnya, orang yang tidak tahu-menahu kemudian turut berbuat anarkistis yang merupakan tindak pidana.
"Tentunya karena ada beberapa ajakan, termasuk menggunakan media sosial yang dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan adanya kegiatan anarkistis, tentu ada penyebabnya. Sekarang sedang diburu tim siber dari Mabes Polri dan Polda Metro Jaya," kata Argo.
Tindakan anarkistis pada rangkaian demonstrasi terkait RUU Cipta Kerja terjadi karena adanya ajakan dari pihak-pihak tertentu.
Unjuk rasa terkait RUU Cipta Kerja terjadi sejak 5 Oktober sampai 9 Oktober. Dalam empat hari tersebut, puncak unjuk rasa memuncak pada 8 Oktober, yakni terjadi di berbagai wilayah di 34 provinsi.
Kepolisian telah menangkap 5.918 orang di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka dijerat berbagai pasal, seperti pasal pengrusakan hingga pasal melawan petugas. Dari jumlah itu, sebanyak 167 orang dinaikkan status perkaranya ke penyidikan. Adapun dari total 5.918 orang tersebut, terdapat 145 orang yang memiliki hasil reaktif setelah dites cepat Covid-19.
Selain itu, Argo juga menyebutkan bahwa dari mereka yang ditangkap Kepolisian, terdapat 756 orang yang berasal dari kelompok Anarko. Mereka adalah kelompok yang menggunakan identitas berupa huruf A dengan dikelilingi lingkaran.
Kepolisian telah menangkap 5.918 orang di berbagai wilayah di Indonesia.
Dari jumlah 167 orang yang status perkaranya dinaikkan ke penyidikan, sebanyak sembilan orang ditahan Kepolisian karena ancaman pidananya di atas 5 tahun. Sementara lainnya tidak ditahan karena ancaman hukumannya di bawah 5 tahun.
Mereka yang ditangkap Kepolisian memiliki latar belakang beragam, antara lain ada yang berstatus mahasiswa (29 orang), pelajar (83 orang), buruh (7 orang), pengangguran (10 orang), dan lain-lain (30 orang).
Menurut Argo, Kepolisian akan terus memproses perkara para pelaku tindakan anarkistis dan tidak akan diberikan penangguhan penahanan. Sementara, dari pihak Kepolisian, tercatat terdapat 71 orang polisi yang terluka dalam rangkaian unjuk rasa di berbagai wilayah tersebut. Selain itu, berbagai fasilitas umum, pos polisi lalu lintas, serta kendaraan dinas Kepolisian dilaporkan juga dirusak massa.
"Apakah Kepolisian diam saja? Tidak. Kita buktikan bahwa negara tidak boleh kalah dari anarkisme dan premanisme," kata Argo.
Kini, lanjut Argo, Kepolisian masih memburu pihak-pihak yang diduga menyebarkan ajakan untuk bertindak anarkistis. Argo memastikan akan segera merilis hasil pengejaran tersebut kepada publik.
Setiap anggota masyarakat dan buruh diperbolehkan melakukan aksi demo atau mogok kerja untuk menyampaikan aspirasinya.
Secara terpisah, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane berpandangan, setiap anggota masyarakat dan buruh diperbolehkan melakukan aksi demo atau mogok kerja untuk menyampaikan aspirasinya. Aparatur kepolisian diminta memahami bahwa demonstrasi adalah hak penyampaian aspirasi rakyat yang dilindungi Undang-Undang.
"Polri harus profesional, modern, dan terpercaya dalam menyikapi berbagai aksi demonstrasi. Sebaliknya para pendemo juga harus senantiasa menjaga ketertiban umum, sehingga tidak anarkistis dan merusak fasilitas umum," kata Neta.
Menurut Neta, bukan tidak mungkin aksi demonstrasi yang dilakukan buruh tersebut disusupi provokator. Untuk itu, para peserta aksi pun diharapkan tetap sadar dengan posisinya. Demikian pula musuh polisi bukanlah demonstran, melainkan penyusup atau provokator tersebut.