Penyusunan Peraturan Daerah Harus Melibatkan Kanwil Kemenkumham
Penyusunan perda provinsi dan kabupaten/kota kini wajib melibatkan ahli atau instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perundang-undangan. Ini diatur dalam draf UU Cipta Kerja.
Oleh
RINI KUSTIASIH / NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan peraturan daerah oleh pemerintah provinsi ataupun kabupatan/kota wajib melibatkan ahli dan kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Pelibatan ini bertujuan agar peraturan daerah yang akan ditetapkan tidak bertentangan dengan ketentuan di pemerintah pusat.
Berdasarkan Pasal 252 Ayat 2 di draf Undang-Undang Cipta Kerja, penyusunan peraturan daerah (perda) provinsi dan kabupaten/kota melibatkan ahli atau instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perundang-undangan. Tujuannya agar perda itu tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun putusan pengadilan.
Hal tersebut berbeda dengan pengaturan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Di dalam UU Pemda, pemda hanya diwajibkan menyerahkan rancangan perda kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebelum disahkan, yakni untuk kepentingan mendapatkan nomor register.
Sebagai catatan, draf UU Cipta Kerja yang dijadikan perbandingan ini ialah draf yang dirilis oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 5 Oktober 2020, tetapi belum disempurnakan naskahnya. Sebab, draf RUU yang disahkan masih dalam perbaikan, seperti pada tanda baca dan pembetulan pada susunan kalimat. Sampai saat ini, draf final UU Cipta Kerja belum dapat diakses oleh publik.
Staf Ahli Mendagri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik Yusharto, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (9/10/2020), mengatakan, instansi vertikal yang dimaksud dalam Pasal 252 Ayat 2 draf UU Cipta Kerja ialah masing-masing kantor wilayah (kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di daerah. Ia membenarkan bahwa tujuan utama dari pelibatan kanwil Kemenkumhan tersebut agar terjadi harmonisasi antara ketentuan di pusat dan daerah.
”Kemenkumham punya jaringan dari daerah sampai pusat sehingga semua ketentuan yang di tingkat pusat itu akan harmonis juga dengan perda yang ditetapkan di tingkat lokal,” ujar Yusharto.
Dasar penerapan aturan itu, menurut Yusharto, tak terlepas dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melarang pemerintah pusat mencabut produk hukum yang berkategori peraturan perundang-undangan. Perda termasuk hierarki terendah dalam peraturan perundang-undangan. Adapun lembaga yang berwenang mencabut perda adalah Mahkamah Agung (MA).
Pada saat pengujian itu, Yusharto mengatakan, perda tak sesuai dengan ketentuan dengan pusat atau menghambat dunia usaha. ”Bagi Kemendagri, kami patuh dengan ketentuan itu karena putusan MK setara dengan UU,” tutur Yusharto.
Karena itulah, di draf UU Cipta Kerja, perda akan terlebih dahulu diharmonisasi agar sejalan dengan pusat sehingga tak ada lagi gugatan ke MA.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Menkumham Yasonna Laoly dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (7/10/2020). Menurut dia, peninjauan eksekutif (executive review) tak dapat lagi dilakukan menurut putusan MK. Karena itu, sejak penyusunan perda itu, supaya tidak digugat ke Mahkamah Agung (MA), terlebih dulu harus diharmonisasi.
”Sebelum perda diterbitkan, harus konsultasi dulu kepada kanwil-kanwil kami di daerah untuk diharmonisasi. Kami punya perancang-perancang perda di sana, supaya antarpemerintah tidak bertentangan dan saling menjegal yang membuat pemerintahan tidak berjalan,” ucap Yasonna.
Penguatan pengawasan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, secara umum, Bab XI mengenai Administrasi Pemerintahan di dalam UU Cipta Kerja mengalami banyak kemajuan pembahasan. Pasal-pasal kontroversial, seperti pencabutan perda oleh peraturan presiden (perpres), telah dihapus.
Keharusan konsultasi dalam penyusunan perda pun ditanggapi positif. Sebab, dengan demikian akan meminimalkan kemungkinan pertentangan aturan antara perda dan peraturan di atasnya, baik peraturan pemerintah maupun UU dan kebijakan kementerian sektoral.
”Melalui ketentuan konsultasi itu, artinya pemerintah menguatkan aspek penguatan preventif, seperti di Kemendagri ataupun Kementerian Keuangan untuk perda-perda yang terkait dengan pajak retribusi dan APBD,” ujar Robert.
Penguatan aspek pengawasan ini, menurut Robert, menjadi lebih jelas karena dinyatakan secara spesifik melalui draf UU Cipta Kerja. Dengan demikian, perda-perda yang bermasalah sudah disaring sejak di hulu dan tidak banyak lagi muncul perda bermasalah yang harus diuji ke MA. Putusan MK pun menegaskan, perda bermasalah itu hanya bisa dicabut melalui putusan pengadilan dan bukan melalui keputusan eksekutif.
”Aturan konsultasi ini membuat peran pengawasan pemerintah pusat berjalan. Review (peninjauan) atas perda itu tetap dapat dilakukan, tetapi sejak awal penyusunan dikawal. Kalau di draf awal, review (peninjauan) itu dilakukan eksekutif melalui pencabutan perda oleh perpres, dalam draf terakhir itu telah diperbaiki dan kembali ke jalur yang benar,” tutur Robert.
Peneliti politik dan pembangunan daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, mengatakan, apa yang diatur di dalam draf UU Cipta Kerja itu sebenarnya dilematis bagi semangat otonomi daerah dan desentralisasi. Sebab, ketentuan itu sebenarnya juga sudah diamanatkan di dalam UU Pemda.
Sebenarnya, lanjut Syarif, Kemendagri dapat melakukan pengawasan itu melalui kewenangan evaluasi dan pemberian nomor register perda. Namun, pada kenyataannya, peran supervisi dan evaluasi itu tidak berjalan sehingga masih banyak perda yang tumpang tindih dan bertabrakan dengan peraturan di atasnya.
Dengan disetujuinya UU Cipta Kerja, lanjut Syarif, semangat yang dibangun memang memudahkan investor dan pengusaha. Namun, untuk hal-hal tertentu, seperti demokratisasi dan desentralisasi, yakni di mana pemda juga mempunyai kewenangan untuk membuat aturan bagi kepentingan daerahnya, itu tidak bisa sepenuhnya dilakukan. Pasalnya, perda-perda itu harus sesuai dengan kerangka berpikir pemerintah pusat.
”Idealnya, ketika kita membuat UU ialah dengan tidak mengorbankan demokratisasi dan desentralisasi yang kita bangun sejak reformasi. Membuka kesempatan bagi dunia usaha boleh saja, tetapi dengan tidak mengorbankan semangat desentralisasi,” ujarnya.