”Omnibus Law” Dinilai Bisa Lemahkan Kewargaan Indonesia
Undang-Undang Cipta Kerja dinilai Manifesto Kewargaan Republik abaikan dan menghancurkan semangat kewargaan Indonesia. Namun, hemat Presiden, UU itu justru mereformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Sapu Jagat Cipta Kerja dinilai mengabaikan dan semakin menghancurkan semangat kewargaan Indonesia. Hal ini disampaikan lewat Manifesto Kewargaan Republik yang disampaikan secara daring, Jumat (9/10/2020).
Pernyataan itu mengklaim sekurangnya ada 77 akademisi serta aktivis lintas universitas dan kota yang tergabung dalam komunitas ”Masker”. Salah satu di antaranya dosen Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi. Ia membacakan manifesto dan mengatakan, UU Cipta Kerja merupakan pukulan terhadap kedaulatan sebagai warga republik.
Baca juga: Ricuh, Unjuk Rasa Mahasiswa Tolak UU Cipta Kerja di Kawasan Industri Bekasi
Proses dan substansi UU itu mengabaikan posisi warga, di antaranya tidak ditempatkan pada posisi paling utama dalam kehidupan bernegara sesuai dengan nilai-nilai konstitusi UUD 1945.
Proses dan substansi UU itu mengabaikan posisi warga, di antaranya tidak ditempatkan pada posisi paling utama dalam kehidupan bernegara sesuai dengan nilai-nilai konstitusi UUD 1945.
Airlangga menggarisbawahi, isi omnibus law lebih mengedepankan kepentingan pemodal dan investor seraya mengabaikan hak rakyat yang semestinya dihormati. Padahal, penghormatan terhadap hak rakyat adalah prinsip fundamental kehidupan demokratik.
Ironisnya, pelemahan terhadap fondasi demokrasi berbasis hak-hak kewargaan tadi dilakukan ketika kita tengah bertarung menghadapi ancaman pandemi Covid-19.
Bukannya menjalankan perannya mendorong regulasi yang mengedepankan keselamatan dan melindungi warga negara, lembaga eksekutif dan legislatif sebaliknya justru melampaui batas-batas etika bernegara. ”Mereka membajak institusi demokrasi untuk meloloskan legislasi yang akan memperluas akumulasi modal,” ujar Airlangga lagi.
Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Joash Tapiheru, mengatakan, penolakan dan gugatan pada UU Cipta Kerja adalah upaya beberapa warga negara untuk menjaga etika republik. Hal ini penting demi menjaga kelangsungan negara dan bangsa.
Dalam sistem negara republik, pemimpin dan pejabat negara adalah primus inter parres, yang pertama di antara yang setara. ”Pemimpin dan pejabat itu bukan ’orang tua’ yang selalu lebih tahu dan lebih bijak dari yang lain,” kata Joash.
”Omnibus law juga akan membalikkan arah reformasi dengan cara mengembalikan sentralisme kekuasaan ala Orde Baru, melucuti peran daerah dan menarik berbagai macam bentuk perizinan ke pusat,” kata Josh.
Omnibus law berpotensi memicu kekerasan ketika regulasi tidak mempertimbangkan aspirasi dan partisipasi warga. Ketika partisipasi absen, kelestarian tanah air dan bumi Indonesia hanya akan mengandalkan alat-alat kekerasan negara, seperti polisi dan tentara, yang akan memperparah konflik dan pelanggaran HAM.
Terakhir, komunitas Masker menyatakan, mereka mendukung semua upaya elemen demokratis, baik berupa judicial review maupun segala bentuk pernyataan pendapat di muka umum yang dijamin oleh konstitusi dan menentang seluruh upaya represif berupa pelanggaran HAM dan penggunaan pasal-pasal karet UU ITE.
Klarifikasi presiden
Sementara itu, dalam keterangan persnya yang disiarkan lewat akun Youtube Sekretariat Presiden, Presiden Joko Widodo, di Istana Bogor, menjelaskan, UU Cipta Kerja justru bertujuan untuk melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.
Kepala Negara juga menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja disusun untuk memenuhi kebutuhan atas lapangan kerja baru yang sangat mendesak. Menurut dia, setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru yang masuk ke pasar kerja. Apalagi di tengah pandemi, terdapat lebih kurang 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19.
”Sebanyak 87 persen dari total penduduk bekerja memiliki tingkat pendidikan setingkat SMA ke bawah, di mana 39 persen berpendidikan sekolah dasar sehingga perlu mendorong penciptaan lapangan kerja baru, khususnya di sektor padat karya. Jadi, UU Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta pengangguran,” jelasnya.
Menurut Presiden, unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan hoaks di media sosial. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, Kepala Negara hendak meluruskan beberapa disinformasi tersebut. Presiden mengambil contoh adanya informasi yang menyebutkan tentang penghapusan UMP (upah minimum provinsi), UMK (upah minimum kabupaten/kota), dan UMSP (upah minimum sektoral provinsi). ”Hal ini tidak benar karena faktanya adalah upah minimum regional (UMR) tetap ada,” ujar Presiden.
Demikian juga dengan kabar yang menyebutkan bahwa semua cuti, baik cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan, dihapus dan tidak ada kompensasinya. Presiden sekali lagi menegaskan bahwa kabar tersebut tidak benar dan menyatakan bahwa hak cuti tetap ada.
”Kemudian apakah perusahaan bisa mem-PHK kapan pun secara sepihak? Tidak benar. Yang benar, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak. Kemudian juga pertanyaan mengenai benarkah jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang? Yang benar adalah jaminan sosial tetap ada,” paparnya.
Unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan hoaks di media sosial. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, Kepala Negara hendak meluruskan beberapa disinformasi tersebut. Presiden mengambil contoh adanya informasi yang menyebutkan tentang penghapusan UMP (upah minimum provinsi), UMK (upah minimum kabupaten/kota), dan UMSP (upah minimum sektoral provinsi). Hal ini tidak benar karena faktanya adalah upah minimum regional (UMR) tetap ada.
Di samping itu, Presiden juga menepis kabar bahwa UU Cipta Kerja ini mendorong komersialisasi pendidikan. Menurut dia, yang diatur dalam kluster pendidikan UU Cipta Kerja hanyalah pendidikan formal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). ”Sedangkan perizinan pendidikan tidak diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini, apalagi perizinan untuk pendidikan di pesantren, itu tidak diatur sama sekali dalam Undang-Undang (Cipta Kerja) ini, dan aturan yang selama ini ada tetap berlaku,” tegasnya.
Baca juga: NU Dorong Upaya Hukum Sikapi UU Cipta Kerja
Tentang izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang dihapus, Presiden juga menampik. Amdal justru tidak dihapus dan tetap ada dalam UU Cipta Kerja. Hal itu sekaligus meluruskan disinformasi yang beredar di masyarakat. ”Itu tidak benar. Amdal tetap ada. Bagi industri besar harus studi amdal yang ketat, tetapi bagi UMKM lebih ditekankan pada pendampingan dan pengawasan,” ujarnya.
Presiden juga, antara lain, menyatakan, UU Cipta Kerja tidak menjadikan pemerintah melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Menurut dia, perizinan berusaha dan pengawasannya tetap dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah pusat.