Pilkada Tidak Langsung Bisa Menjadi Salah Satu Pilihan
Untuk menghindari munculnya kluster baru penularan Covid-19 selama pilkada, pemerintah disarankan untuk mengubah metode pelaksanaan pemilihan dari langsung menjadi tidak langsung atau melalui DPRD.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan pilkada serentak 2020 di tengah merebaknya pandemi Covid-19 mengancam keselamatan pemilih, peserta pilkada, dan penyelenggara pemilihan. Untuk mencegah munculkan kluster penularan pilkada, pilkada tidak langsung atau melalui DPRD dapat dipertimbangkan.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengusulkan, metode pemilihan tidak langsung bisa menjadi pilihan terbaik dalam melaksanakan pilkada di kala pandemi Covid-19. Apalagi, pilkada tak langsung tidak melanggar konstitusi.
”Mekanisme pemilihan tidak langsung bisa mencegah munculnya kluster penularan pilkada, pemilihan bisa melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,” kata Siti dalam diskusi webinar bertajuk ”Jalan Selamat Pilkada Serentak di Masa Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan Dewan Perwakilan Daerah, Rabu (7/10/2020) malam.
Ia merujuk pada Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Dalam konstitusi, lanjut Siti, tidak diatur mengenai mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung. Dengan demikian, metode pemilihan tidak langsung bisa dilaksanakan selama mampu memenuhi unsur demokratis.
Potensi penularan bisa meningkat ketika pilkada karena selalu menimbulkan kerumunan, terutama ketika tahap kampanye.
Tahapan pilkada dilakukan dalam kondisi pandemi Covid-19 yang belum terkendali. Potensi penularan bisa meningkat ketika pilkada karena selalu menimbulkan kerumunan, terutama ketika tahap kampanye.
”Pada dasarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal yang senang berkumpul, bukan masyarakat individual,” kata Siti.
Bahkan dalam 10 hari pertama kampanye, metode tatap muka masih menjadi andalan. Ironisnya, ditemukan ratusan pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon dan berpotensi menjadi kluster penularan akibat tidak memenuhi protokol kesehatan.
Berdasarkan pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di 10 hari pertama masa kampanye (26 September-5 Oktober), dari 270 daerah yang menggelar pilkada, kampanye tatap muka masih ditemukan di 256 kabupaten/kota (95 persen). Hanya 14 kabupaten/kota (5 persen) yang tidak terdapat kampanye tatap muka.
Di 256 kabupaten/kota itu, terdapat 9.189 kegiatan kampanye dengan metode tatap muka atau pertemuan terbatas. Dalam pengawasannya, Bawaslu menemukan 237 dugaan pelanggaran protokol kesehatan di 59 kabupaten/kota. Dari jumlah itu, Bawaslu telah membubarkan 48 kegiatan. Selain itu, Bawaslu juga telah melayangkan 70 surat peringatan tertulis terhadap kandidat.
Bawaslu telah membubarkan sebanyak 48 kegiatan. Selain itu, Bawaslu juga telah melayangkan 70 surat peringatan tertulis terhadap kandidat.
Jika pilihan pilkada langsung tetap digelar, Siti khawatir akan menimbulkan banyak korban jiwa. Pemerintah sebaiknya mendengarkan masukan dari masyarakat dan pakar terkait usulan penundaan pilkada.
”Dalam situasi seperti ini, apakah pilkada mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas atau hanya sekadar memenuhi demokrasi prosedural yang hanya melahirkan penguasa,” ujar Siti.
Abaikan aspirasi masyarakat
Ketua Program Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional TB Massa Djafar menuturkan, pemerintah terkesan mengabaikan aspirasi masyarakat. Jika pemerintah merasa yakin mampu melaksanakan pilkada di era pandemi Covid-19, keyakinan masyarakat belum tentu sama.
”Saya belum menemukan argumentasi yang kuat dari pemerintah untuk tetap melanjutkan pilkada,” katanya.
Pemerintah terkesan mengabaikan aspirasi masyarakat. Pengabaian ini dikhawatirkan berdampak pada proses demokarasi
Pengabaian terhadap aspirasi masyarakat dikhawatirkan berdampak pada proses demokarasi. Jika pemerintah tidak mampu meyakinkan masyarakat bahwa pelaksanaan pilkada bakal aman dari penularan, partisipasi masyarakat diperkirakan menurun.
”Tidak ada pilihan lain yang terbaik selain menunda pilkada,” ucap Massa.
Sementara Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyala Mattalitti menuturkan, seluruh pihak, mulai dari partai politik, pasangan calon, penyelenggara, dan masyarakat harus disiplin menerapkan protokol kesehatan dalam setiap tahapan pilkada.
Gelaran pilkada serentak 2020 diyakini mampu menggerakkan perekonomian daerah. Dana bergulir mencapai Rp 14,7 triliun dan melibatkan setidaknya 3,3 juta orang. Dana itu mampu menjadi stimulan di tengah resesi ekonomi.