Pro-Kontra Berlanjut
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja masih menuai polemik. Keselamatan masyarakat dan stabilitas politik menjadi hal krusial yang mesti diperhatikan dalam polemik ini.
JAKARTA, KOMPAS — Polemik seputar Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi undang-undang terus berlanjut.
Unjuk rasa untuk menolak peraturan itu karena, antara lain, dinilai memangkas hak-hak buruh terjadi di sejumlah daerah. Petisi daring yang menolak peraturan itu dan menuntut dibukanya kembali ruang partisipasi publik juga muncul di dunia maya.
Di sisi lain, pemerintah menyatakan, semangat dari RUU itu adalah memperluas penyediaan lapangan kerja. Pemerintah pun segera menuntaskan penyusunan peraturan pelaksana dari RUU itu agar dapat segera diberlakukan.
Keselamatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 dan stabilitas politik menjadi hal penting di tengah berbagai polemik RUU Cipta Kerja. Terkait hal itu, empati dan komunikasi di antara berbagai pihak yang terkait RUU itu amat dibutuhkan. Pada saat yang sama, penyelesaian secara hukum, seperti melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), juga dapat menjadi solusi.
Uji materi
Terkait kemungkinan uji materi ke MK, Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Trisno Raharjo, Selasa (6/10/2020), mengatakan sedang mempelajari isi RUU Cipta Kerja yang pada Senin lalu disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU. Dengan demikian, apabila suatu saat PP Muhammadiyah ingin mengajukan uji materi ke MK, pihaknya telah siap membuat materi.
”Kami pun siap bergabung dengan kelompok masyarakat sipil lain yang ingin melakukan uji materi,” kata Trisno, Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia.
Jumisih menyatakan, pihaknya juga berencana melakukan uji materi. Langkah itu akan dimatangkan bersama tim hukum Gerakan Buruh Bersama Rakyat.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya mengatakan, uji materi merupakan hak warga negara yang harus dihargai. ”Sejak 2003, Indonesia memiliki MK sebagai penjaga tegaknya konstitusi. Jika pihak tertentu menilai bahwa sebuah UU bertentangan dengan konstitusi, UU itu dapat diajukan pengujiannya baik secara materiil maupun formil. Begitu juga dengan RUU Cipta Kerja ini,” katanya.
Menurut pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, pengujian ke MK merupakan salah satu solusi untuk menguji konstitusionalitas ataupun mengoreksi UU Cipta Kerja. Namun, selain cara itu, masih ada cara lain yang dapat ditempuh, yakni meminta ketegasan sikap presiden dan melakukan aksi-aksi sosial.
”Presiden masih dapat bersikap terhadap UU Cipta Kerja ini. Sekalipun ini usulan pemerintah, presiden dapat saja bersikap untuk tidak mau menandatangani UU Cipta Kerja ini. Cara ini setidaknya menunjukkan sikap presiden yang tetap mendengarkan aspirasi publik,” ujar Zainal.
Selain itu, gerakan sosial, seperti unjuk rasa, dapat dilakukan oleh publik. Namun, pandemi Covid-19 dapat menjadi kendala gerakan ini.
Unjuk rasa
Unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja, kemarin, antara lain terjadi di depan Gedung DPRD Jawa Barat di Kota Bandung sekitar pukul 13.00. Setelah menggelar orasi dan aksi teatrikal, massa yang sebagian besar mahasiswa ini bergerak melintasi Jalan Cikapayang, jalan layang Pasupati, Jalan Cihampelas, memutar ke Jalan Wastukencana, dan kembali ke DPRD Jabar.
Dalam aksi yang awalnya damai ini, tiba-tiba muncul kericuhan sekitar pukul 19.00. Beberapa fasilitas umum menjadi sasaran amuk massa, seperti pembatas jalan dan pagar Gedung DPRD. Satu mobil milik Kepolisian Resor Kota Besar Bandung ikut dirusak.
Baca juga: Meredam Ongkos Resesi
Kepala Polrestabes Bandung Komisaris Besar Ulung Sampurna Jaya telah menangkap 10 orang yang diduga provokator dan perusak fasilitas umum dalam peristiwa itu. ”Pengamatan kami, mahasiswa sudah membubarkan diri pukul 18.00. Ini adalah massa lain yang sengaja memprovokasi,” katanya.
Buruh dari beberapa perusahaan di Sidoarjo, Jawa Timur, juga turun ke jalan menolak RUU Cipta Kerja. Mereka berkumpul sejak pagi di kawasan perumahan Puri Surya Jaya, Kecamatan Gedangan, yang dekat dengan banyak pabrik dan kawasan pergudangan. Sekitar pukul 11.00, massa buruh bergerak menuju Gedung DPRD Sidoarjo.
Sementara itu, sekitar 3.000 buruh yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengirimkan surat keprihatinan atas isi RUU Cipta Kerja ke DPR. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Magelang Suharno berjanji akan menyampaikan aspirasi itu ke DPR.
Sementara itu, di laman petisi daring Change.org, sejak 5 Oktober lalu muncul petisi berjudul ”Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik”. Petisi itu diinisiasi enam tokoh, yaitu Busyro Muqoddas, Pdt Merry Kolimon, Ulil Abshar-Abdalla, Engkus Ruswana, Roy Murtadho, dan Pdt Penrad Siagian. Hingga semalam, petisi itu telah ditandatangani oleh lebih dari 1,2 juta netizen.
Perlindungan
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, semangat yang dibangun oleh RUU Cipta Kerja adalah memperluas penyediaan lapangan kerja dan meningkatkan perlindungan bagi buruh, khususnya perlindungan untuk buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), lewat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). ”Terlalu prematur kalau kita menyimpulkan RUU Cipta Kerja akan rentan terhadap PHK pekerja,” katanya.
Menurut Ida, pemerintah akan segera menuntaskan penyusunan peraturan pelaksana RUU Cipta Kerja untuk meyakinkan buruh bahwa amanat perlindungan buruh dapat dijalankan.
Baca juga: Ekstra Paradoks di Tengah Resesi
Peraturan pelaksana yang umumnya berbentuk peraturan pemerintah (PP) ini dibutuhkan karena sejumlah ketentuan penting dalam RUU Cipta Kerja, khususnya terkait kluster ketenagakerjaan, harus diatur secara detail untuk dapat segera diterapkan.
Ketentuan yang diatur dalam PP di antaranya tentang syarat, batas waktu, dan kompensasi untuk pekerja kontrak (perjanjian kerja dengan waktu tertentu) dan pekerja alih daya, serta skema jaminan kehilangan pekerjaan dan patungan pesangon antara pengusaha dan negara. PP juga akan mengatur tata cara penghitungan upah minimum serta ketentuan waktu kerja dan lembur untuk buruh. (BOW/XTI/WER/EGI/MEL/NIK/RTG/AGE/KRN)