Beragam Dalil Memuluskan Cipta Kerja
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang mendapatkan penolakan luas dari publik nyatanya tetap disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kini, setelah RUU disahkan, harapan publik bertumpu pada Mahkamah Konstitusi.
Di tengah penolakan publik, beragam alasan dikemukakan oleh pemerintah ataupun DPR untuk mempercepat pembahasan hingga memuluskan pengesahan RUU Cipta Kerja. Kini, setelah RUU disahkan, harapan publik bertumpu pada Mahkamah Konstitusi.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang mendapatkan penolakan luas dari publik nyatanya tetap disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Publik seolah ”dikelabui” karena hanya dalam hitungan jam, rapat Badan Musyawarah DPR memutuskan menggelar Rapat Paripurna DPR, Senin (5/10/2020), guna menutup masa sidang pertama DPR periode 2020-2021 dan sekaligus mengesahkan RUU Cipta Kerja.
Sebelumnya, banyak informasi yang menyebutkan pengesahan RUU Cipta Kerja baru akan dilakukan pada 8 Oktober, berbarengan dengan jadwal penutupan masa sidang DPR.
Kalangan buruh dalam keterangan resminya menyebutkan, mereka akan menggelar mogok nasional dan unjuk rasa serempak selama tiga hari, yakni 6-8 Oktober, sebagai respons atas rencana pengesahan RUU Cipta Kerja. Namun, pada kenyataannya, buruh dan kalangan masyarakat sipil lainnya terkecoh karena di luar perkiraan mereka, RUU itu disahkan menjadi undang-undang pada 5 Oktober.
Ketika sebagian buruh sudah berkeinginan untuk berunjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, pada 5 Oktober dari agenda unjuk rasa serempak 6-8 Oktober, para pengunjuk rasa justru dicegat oleh polisi.
Melalui surat telegram rahasia yang diterbitkan pada 2 Oktober, Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis melarang buruh berunjuk rasa. Pertimbangan keselamatan warga sebagai asas tertinggi menjadi pertimbangan. Upaya memutus mata rantai penularan penyakit Covid-19 menjadi dasar bagi Polri.
Alasan keselamatan itu rasional adanya. Namun, alasan yang sama sayangnya tidak dijadikan pertimbangan saat pemerintah dan DPR membahas RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19. Sejak awal pembahasan, publik telah mengingatkan RUU tersebut bukan menjadi kebutuhan warga saat ini. Warga membutuhkan penanganan pandemi dan bukannya legislasi yang sama sekali tak ada kaitannya dengan penanganan pandemi.
Baca juga: Serba Cepat untuk RUU Cipta Kerja
Namun, pemerintah berdalih RUU itu disusun untuk mengantisipasi akibat pandemi pada investasi dan penciptaan lapangan kerja. Padahal, RUU itu diserahkan sebelum kasus pertama Covid-19 diumumkan, Maret 2020. Draf RUU Cipta Kerja untuk diketahui telah diserahkan pemerintah ke DPR pada 12 Februari 2020.
”Tidak ada target pembahasan. Pembahasan pada masa reses itu dilakukan karena pertimbangan kapasitas dan kemampuan Baleg saja. Sebab, ini, kan, ada ribuan DIM (daftar inventarisasi masalah). Butuh berapa lama waktu kalau tidak dibahas.”
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang ketika itu menjabat Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Rieke Diah Pitaloka, dalam rapat kerja perdana Baleg DPR dengan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, 14 April lalu, sempat mempertanyakan urgensi pembahasan RUU Cipta Kerja itu. Sebab, RUU tersebut disusun ketika pandemi belum terjadi.
Namun, di dalam perkembangannya, pertanyaan mendasar tentang kemendesakan RUU Cipta Kerja itu dibahas secepatnya di tengah pandemi sirna. Tak ada lagi anggota DPR yang menantang argumentasi pemerintah bahwa RUU itu dibuat untuk merespons Covid-19, dan bukan kepentingan lainnya. Pemerintah mendorong percepatan pembahasan agar tuntas dalam 100 hari.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas dalam beberapa kesempatan menegaskan tidak ada target dalam penyelesaian RUU Cipta Kerja. Namun, pada kenyataannya, pembahasan dilakukan tanpa henti, seperti mengejar setoran. Dalam dua kali masa reses DPR, Baleg DPR tidak berhenti membahas RUU Cipta Kerja. Reses yang seharusnya dimanfaatkan anggota DPR untuk berkunjung ke daerah pemilihan (dapil) kini dimanfaatkan untuk rapat-rapat RUU Cipta Kerja. Tidak jarang, pembahasan dilakukan hingga tengah malam. Pembahasan pun jalan terus pada hari libur, Sabtu dan Minggu.
”Tidak ada target pembahasan. Pembahasan pada masa reses itu dilakukan karena pertimbangan kapasitas dan kemampuan Baleg saja. Sebab, ini, kan, ada ribuan DIM (daftar inventarisasi masalah). Butuh berapa lama waktu kalau tidak dibahas,” ujar Supratman.
Kluster ketenagakerjaan
Dalam percepatan pembahasan RUU Cipta Kerja itu, Baleg pun masih bisa berdalih ada kesepakatan pembahasan RUU harus tuntas dalam tiga kali masa sidang. Jika tidak, pembahasan RUU itu bisa dihentikan pembahasannya, atau bahkan bisa dipindahkan kepada alat kelengkapan dewan (AKD) lainnya.
Lengkap sudah dalih percepatan pembahasan itu. RUU Cipta Kerja yang membahas perubahan parsial terhadap 79 UU lintas sektoral dilibas dalam enam bulan kerja. Hampir tanpa mengindahkan masukan dari publik untuk menunda pembahasan, atau setidaknya menarik kluster sensitif, yakni kluster ketenagakerjaan dari pembahasan.
Menjelang garis akhir, kluster ketenagakerjaan ini akhirnya dibahas sekalipun sebelumnya Presiden Joko Widodo sempat meminta kluster ini ditunda pembahasannya.
Tidak jelas pula kenapa kluster ini akhirnya diteruskan pembahasannya pada akhir September. Pertama kali kluster ini dibahas pada Jumat, 26 September. Kemudian kluster sensitif ini tuntas dibahas hanya dalam tempo tiga hari, yakni 26-28 September.
Covid-19 di DPR
Setelah kluster ketenagakerjaan tuntas, tuntas pula pembahasan RUU Cipta Kerja. RUU lantas disepakati di tingkat satu untuk disahkan jadi UU, dan diputuskan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan. Sebelum sampai ke paripurna, jadwal pengesahan RUU mesti dibahas dulu oleh Badan Musyawarah DPR yang di dalamnya beranggotakan pimpinan DPR, pimpinan fraksi, dan alat kelengkapan DPR.
Dalam rapat itu, alasan lain untuk mempercepat pengesahan RUU Cipta kerja disampaikan. Pimpinan DPR menyampaikan penularan Covid-19 di DPR kian membahayakan. Sudah banyak anggota DPR dan stafnya tertular Covid-19. Pimpinan DPR menawarkan rapat paripurna penutupan masa sidang I 2020/2021 diajukan dari semula 8 Oktober menjadi Senin (5/10/2020). Hal ini membuat pengesahan RUU Cipta Kerja harus pula digelar dalam paripurna itu sebelum agenda penutupan masa sidang.
Sempat terjadi perdebatan terkait dengan hal ini, termasuk permintaan penundaan pengesahan RUU dari Demokrat dan PKS. Namun, apa daya, mayoritas fraksi, berjumlah tujuh fraksi, sudah menyetujui pengesahan RUU pada hari itu.
Menurut Pelaksana Harian (Plh) Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay, kekhawatiran akan penularan Covid-19 di DPR yang kian masif sebenarnya sudah muncul sejak dua pekan lalu. ”Sejak dua minggu lalu, DPR ini mau di-lockdown, tetapi tidak jadi,” ujarnya.
Berharap kepada MK
Kini, dengan telah disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi UU, harapan publik ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah kelompok masyarakat sipil sudah menyiapkan upaya untuk uji konstitusionalitas UU Cipta Kerja ke MK. Salah satunya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
”Ada pro dan kontra dari RUU Cipta Kerja adalah hal yang biasa. Yang ada pro dan kontranya tidak hanya RUU Cipta Kerja, tetapi banyak produk UU lainnya”
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin, Selasa (6/10), mempersilakan jika ada yang keberatan dengan RUU Cipta Kerja untuk mengujinya ke MK. Namun, menurut dia, DPR bersama pemerintah telah optimal dalam membahas RUU Cipta Kerja.
”Ada pro dan kontra dari RUU Cipta Kerja adalah hal yang biasa. Yang ada pro dan kontranya tidak hanya RUU Cipta Kerja, tetapi banyak produk UU lainnya,” ujarnya.
Menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, pengujian ke MK merupakan jalur konstitusional yang paling mungkin ditempuh oleh publik.
”Asalkan MK berpihak kepada rakyat, maka MK dapat melihat kelemahan dalam substansi UU Cipta Kerja ini. Tetapi, kalau berpihak pada oligarki juga, ya, ini akan menjadi kemunduran demokrasi kita yang luar biasa,” ujarnya.
Baca Juga: Selain Larang Unjuk Rasa Penolakan UU Cipta Kerja, Polri Juga Lakukan Patroli Siber
UU Cipta Kerja ini, menurut Ubedilah, mencerminkan kegagalan representasi DPR sebagai perwakilan rakyat. DPR semestinya mempraktikkan cara terbaik dalam mengambil keputusan di negara demokrasi ialah dengan mendengarkan aspirasi publik. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh DPR ataupun pemerintah. Kini, publik melihat kepentingan nasional, kepentingan warga, tidak menjadi kepentingan utama dari DPR dan pemerintah.
”Mereka tidak lagi mewakili rakyat, melainkan terjebak dalam kepentingan oligarki ekonomi yang melilit mereka saat pemilu. Hal ini bisa dilihat dari kaitan antara biaya politik yang mahal dan lahirnya elite-elite politik yang tidak bisa dilepaskan dari kelompok oligarki pemilik modal,” kata Ubedilah.
Terkait dengan kemungkinan publik tidak percaya lagi kepada DPR, Azis Syamsuddin menanggapi dengan tenang. ”Ya kalau nanti tidak percaya, pada saat pemilu tidak dipilih. Sepanjang rakyatnya memilih pada Pemilu 2024, dia akan masuk lagi di parlemen, kan, begitu. Yang menilai itu masyarakat,” ujarnya.