Sedikit Calon Baru Muncul, Potensi Kemenangan Calon Tunggal Tinggi
Potensi kemenangan pasangan calon tunggal yang mayoritas merupakan petahana, dalam Pilkada 2020, sangat tinggi. Hingga kini, terdapat 25 daerah dengan calon tunggal setelah terjadi penambahan bakal calon di tiga daerah.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagaimana diprediksi sebelumnya, potensi kemunculan pasangan bakal calon baru di 28 daerah yang memiliki calon tunggal sangat rendah. Hingga penutupan perpanjangan pendaftaran oleh Komisi Pemilihan Umum, Minggu (13/9/2020), hanya ada tiga pasangan bakal calon baru yang mendaftar. Dengan konstelasi politik seperti itu, potensi kemenangan calon tunggal di daerah semakin tinggi.
Berdasarkan data yang dirilis KPU, Senin (14/9/2020), ada tiga pasangan bakal calon baru yang mendaftar dalam masa perpanjangan pendaftaran di 28 daerah yang memiliki bakal calon tunggal. Perpanjangan masa pendaftaran itu dilakukan pada 11-13 September lalu. Tiga pasangan bakal calon yang mendaftar itu ialah bakal calon bupati Sukirman dan bakal calon wakil bupati Tengku Muhammad Ryan Novandi di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara. Pasangan tersebut didukung oleh koalisi parpol Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Munculnya pasangan bakal calon baru di ketiga daerah itu dipengaruhi oleh berubahnya dukungan parpol di daerah.
Di Kota Sungai Penuh, Jambi, juga ada bakal calon wali kota Ahmadi Zubir dan bakal calon wakil wali kota Alvia Santoni. Mereka didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Berkarya, dan Partai Persatuan Pembangunan. Adapun di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, muncul bakal calon bupati Alias Welio dan bakal calon wakil bupati H Dalmasri. Mereka didukung koalisi Nasdem dan PDI-P.
Anggota KPU, Ilham Saputra, saat dikonfirmasi mengatakan, munculnya pasangan bakal calon baru di ketiga daerah itu dipengaruhi oleh berubahnya dukungan parpol di daerah. Ada parpol yang menarik dukungannya dari pasangan calon tunggal, kemudian berbalik arah mendukung pasangan baru.
”Memang rata-rata karena ada perubahan koalisi parpol pendukung di daerah,” kata Ilham.
Dengan munculnya tiga pasangan bakal calon baru itu, jumlah daerah yang memiliki calon tunggal tersisa sebanyak 25 daerah. Adapun jumlah pasangan bakal calon yang mendaftar sebanyak 738 pasangan tersebar di 270 daerah. Pilkada 2020 ini akan digelar di sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Jumlah pasangan bakal calon yang diusung oleh partai politik sebanyak 647 pasangan, sedangkan calon independen 66 pasangan.
Total yang terdata dalam Sistem Informasi Pencalonan (Silon) sebanyak 738 bapaslon tersebar di 270 daerah, yaitu 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Munculnya pasangan bakal calon baru ini kemungkinan terjadi karena ada deal politik yang gagal terpenuhi. Ada kemungkinan juga muncul konflik di internal paslon sehingga muncul kesepakatan keluar dari koalisi dan membuat poros baru.
Melihat fenomena tersebut, peneliti Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernades, mengatakan, kemunculan pasangan bakal calon baru di tiga daerah harus diapresiasi sebagai niat baik parpol menghadirkan calon alternatif bagi publik. Dia berpandangan munculnya pasangan bakal calon baru ini kemungkinan terjadi karena ada deal politik yang gagal terpenuhi. Ada kemungkinan juga muncul konflik di internal paslon sehingga muncul kesepakatan keluar dari koalisi dan membuat poros baru.
”Waktu perpanjangan pendaftaran yang dilakukan oleh KPU hanya tiga hari. Mungkin, kalau waktunya lebih panjang, bisa muncul pasangan bakal calon lain dari peralihan dukungan parpol,” kata Arya.
Potensi kemenangan tinggi
Dengan adanya 25 daerah yang masih memiliki calon tunggal, Arya juga melihat potensi kemenangan calon tunggal sangat besar. Arya memprediksi kans kemenangan calon tunggal bisa di atas 70 persen. Sebab, sebagian besar calon tunggal di 20 daerah pemilihan adalah petahana. Mereka tentu memiliki modal politik yang besar, apalagi jika kinerjanya di daerah memang bagus. Selain posisinya sebagai petahana, potensi kemenangan paslon tunggal juga tinggi karena memiliki basis partai yang kuat.
”Hanya pernah satu kali kotak kosong menang melawan calon tunggal itu di Kota Makassar pada tahun 2018. Itu juga kasus khusus karena ada paslon yang dicoret karena sengketa pencalonan di Mahkamah Agung, sehingga loyalis mereka memberikan dukungan kepada kotak kosong. Di luar itu, saya kira kemenangan calon tunggal sangat tinggi,” ujar Arya.
Potensi kemenangan calon tunggal tinggi. Apalagi KPU dan Bawaslu selama ini tidak cukup menyosialisasikan bahwa kotak kosong juga merupakan alternatif pilihan. Yang terjadi, justru banyak kampanye negatif mengenai kotak kosong.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi juga mengatakan hal serupa. Potensi kemenangan calon tunggal tinggi. Apalagi KPU dan Bawaslu selama ini tidak cukup menyosialisasikan bahwa kotak kosong juga merupakan alternatif pilihan. Yang terjadi, justru banyak kampanye negatif mengenai kotak kosong. Mereka yang memilih kotak kosong dianggap menghambat penyelenggaraan pilkada karena harus diulang. Tanpa ada sosialisasi terhadap pemilih bahwa kotak kosong adalah alternatif, potensi kemenangan calon tunggal akan tinggi di daerah.
Burhanuddin juga berpendapat bahwa munculnya banyak paslon tunggal di daerah seolah menjadi sesuatu yang sudah dirancang oleh parpol. Ini menunjukkan bahwa parpol sangat bersikap pragmatis sehingga mendukung paslon yang sudah berpotensi menang seperti petahana. Selain itu, parpol juga dianggap gagal melakukan kaderisasi, fungsi perekrutan, dan pendidikan politik kepada masyarakat.
”Bahkan juga terjadi anomali politik di mana para paslon berebut rekomendasi dari parpol. Tahun ini, banyak petahana yang justru tidak mendapat tiket dari parpol. Parpol belum sepenuhnya melaksanakan demokratisasi yang transparan,” kata Burhanuddin.
Efek tata kelola pemerintahan
Meneropong jauh ke depan, Arya Fernandes juga menilai bahwa ada konsekuensi dari sisi tata kelola pemerintahan apabila calon tunggal ini terpilih. Pertama, calon terpilih dapat tersandera kepentingan politik partai pendukung. Fenomena diborongnya dukungan parpol untuk calong tunggal membuat calon tersebut harus mengakomodasi kepentingan politik partai atau bagi-bagi kekuasaan. Selain itu, juga tidak ada kontrol yang kuat di parlemen sehingga ada potensi korupsi dalam penyusunan anggaran antara eksekutif dan legislatif.
”Tetapi, ada juga potensi partai akan cair lagi setelah pilkada sehingga negosiasi kebijakan akan rumit. Ini bisa terjadi di daerah-daerah yang calon tunggal berasal dari parpol nonmayoritas di parlemen,” kata Arya.