Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Belum Terjamin
Praktik pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2008-2018 masih terjadi. Padahal, kebebasan tersebut dijamin sepenuhnya oleh konstitusi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemerdekaan beragama dan berkeyakinan yang dijamin di dalam konstitusi pada kenyataannya belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh warga negara. Selama satu dekade pemantauan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh Wahid Foundation menemukan fakta masih terjadinya kekerasan, intoleransi, dan pelarangan beribadah, hingga ujaran kebencian yang dilakukan oleh aktor negara ataupun aktor non-negara.
Lemahnya perlindungan terhadap jaminan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan (KBB) itu menjadi kesimpulan dari sepuluh tahun pemantauan dan kajian yang dilakukan oleh Wahid Foundation. Sepanjang satu dekade, yaitu dari 2008 hingga 2018, Wahid Foundation mencatat ada 1.420 pelanggaran KBB dilakukan oleh aktor non-negara dan 1.033 pelanggaran oleh aktor negara. Jenis pelanggaran KBB itu meliputi kekerasan, intimidasi, pelarangan beribadah, pelarangan pendirian rumah ibadah, hingga perusakan rumah ibadah. Selain itu, ada peningkatan kuantitas ujaran atau siar kebencian, yakni 104 tindakan di era Presiden Joko Widodo, dan 56 tindakan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Wahid Foundation mencatat penyelesaian kasus-kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, seperti Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), kelompok Syiah di Sampang, kelompok Gafatar, ratusan gereja, dan kelompok yang dituduh sesat juga belum mengalami kemajuan berarti. Begitupun dengan revisi atau penghapusan regulasi diskriminatif di tingkat pusat dan daerah. Hingga sekarang, sebagian besar regulasi tersebut belum dibatalkan atau direvisi. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, Wahid Foundation mendapati 88 regulasi lokal yang diskriminatif. Regulasi itu paling banyak berada di Aceh, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan.
Di samping catatan kurang menggembirakan itu, Wahid Foundation juga menyoroti tumbuhnya praktik-praktik baik yang dilakukan oleh aktor negara dan non-negara. Sepanjang 2015-2018, praktik dan promosi toleransi yang dilakukan aktor negara dan non-negara sebanyak 1.298 tindakan, sedangkan advokasi kebijakan ada 11 tindakan, dan advokasi agama dan keyakinan 44 tindakan.
Manajer Program Wahid Foundation Alamsyah M Djafar, saat dihubungi, Minggu (13/9/2020), mengatakan, pelanggaran KBB di Indonesia masih terjadi dan belum menunjukkan perubahan berarti antara lain karena regulasi pusat dan daerah yang kurang mendukung. Salah satunya ialah pengaturan mengenai penodaan agama dalam PNPS No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Selain itu, masih ada surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang pendirian rumah ibadah, tahun 2006, yang dinilai mengatur KBB dengan hitungan matematis dan mengabaikan hak-hak asasi manusia.
”Dalam hal PNPS No 1/1965, posisi negara masih penentu apakah suatu agama itu sesat ataukah tidak. Demikian halnya dalam pengaturan tentang penodaan agama yang merupakan pasal karet. Sekalipun sudah ada empat kali diujikan di MK (Mahkamah Konstitusi), posisi negara tidak berubah dan justru menguatkan regulasi yang tidak suportif pada KBB,” ujarnya.
Konstitusi jelas mengatur setiap warga negara berhak menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya masing-masing.
Praktik pelarangan rumah ibadah juga disayangkan Wahid Foundation karena dengan adanya pembatasan itu banyak umat beragama yang tidak dapat menjalankan ibadahnya. Terlebih lagi, aturan itu didasarkan semata pada jumlah umat atau jemaat. Padahal, konstitusi jelas mengatur setiap warga negara berhak menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya masing-masing.
Kecenderungan lain yang dikhawatirkan ialah maraknya ujaran kebencian. Bentuk lain intoleransi dan pelanggaran KBB itu kian marak karena adanya media sosial. Di satu sisi, menurut Alamsyah, UU Informasi dan Transaksi Elektronik membuka pintu bagi pemidanaan terhadap pendapat dan pikiran warga negara.
Kondisi itu seolah tali-temali dan menimbulkan kerentanan bagi setiap orang untuk dilaporkan atas ujaran kebencian. Di sisi lain, ujaran kebencian sudah merupakan suatu fenomena yang menggelisahkan karena dampaknya provokatif dan masif sehingga berpotensi menggerakkan orang untuk melakukan kekerasan, serta bersikap intoleran.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, hasil kajian Wahid Foundation selama sepuluh tahun itu tidak jauh berbeda dengan hasil pemantauan Setara Institute selama 12 tahun terakhir. Kekerasan dan intoleransi serta pembatasan ibadah merupakan pekerjaan rumah besar yang harus dihadapi oleh Indonesia di tengah-tengah masyarakat majemuk.
Regulasi yang tidak mendukung KBB diakui merupakan salah satu faktor yang memicu belum membaiknya jaminan KBB.
Regulasi yang tidak mendukung KBB diakui oleh Ismail merupakan salah satu faktor yang memicu belum membaiknya jaminan KBB. Namun, sebenarnya ada praktik-praktik baik di daerah, yakni ketika kepala daerah memilih untuk tidak menggunakan regulasi yang diskriminatif itu dalam menangani keberagamaan dan kehidupan beragama warganya.
”Sebagai contohnya, di Kota Bekasi, wali kotanya tidak menggunakan SKB 3 menteri sehingga Gereja Santa Clara akhirnya bisa berdiri. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor kepemimpinan daerah juga sangat menentukan bagi jaminan KBB. Pada daerah lain, SKB 3 menteri itu menjadi penghambat bagi jaminan KBB, tetapi bagi kepala daerah tertentu yang memiliki kepedulian pada KBB, aturan itu sebenarnya bisa juga tidak menjadi hambatan,” katanya.
Unsur tata kelola pemerintahan (governance), menurut Ismail, merupakan faktor penting menjamin KBB. Tata kelola pemerintahan yang inklusif dan sensitif terhadap turut menyumbang bagi terwujudnya jaminan KBB. Selain Bekasi, masih banyak terobosan lain yang dilakukan oleh kepala daerah, seperti di Gunung Kidul, dan Singkawang. Terobosan dan semangat pemerintahan daerah yang inklusif ini perlu terus didorong sebagai antitesa terhadap regulasi pusat yang cenderung diskriminatif.
”Selain itu, untuk mengatasi regulasi yang diskriminatif dapat pula dilakukan legislative atau executive review. Perubahan regulasi dapat dilakukan oleh DPR dan pemerintah sehingga menjamin KBB,” katanya.
Dihubungi terpisah, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Maman Immanulhaq, mengatakan, pihaknya sangat terbuka atas masukan dan saran dari publik, termasuk dari kalangan masyarakat sipil. Hasil kajian dari Wahid Foundation diapresiasi dan diakui merupakan fakta yang saat ini memang dihadapi oleh warga bangsa.
”Kami berharap agar teman-teman masyarakat sipil mengubah paradigmanya dan tidak lagi menganggap pemerintah dan DPR sebagai bagian dari negara atau state sebagai musuh, tetapi sebagai partner. Dengan demikian, kami terbuka jika memang ada usulan, saran, untuk mengubah regulasi tertentu. Hari ini kita memiliki kesempatan untuk mengubah itu,” katanya.
Maman mencontohkan adanya kelompok-kelompok intoleran yang getol dan militan mendatangi DPR membawakan misi-misinya. Hal serupa, menurut dia, harusnya bisa dilakukan oleh kelompok toleran mayoritas di negeri ini.
”Militasi itu penting, termasuk dukungan masyarakat secara keseluruhan, bahwasanya hak beragama dan berkeyakinan itu dijamin oleh konstitusi dan tidak boleh ada peminggiran dan pemaksaan,” kata Maman.