Gaji Ke-13, Kemewahan di Tengah Pandemi Covid-19
Aparatur sipil negara baru saja panen durian runtuh, sementara puluhan juta warga yang tak terjaring program bantuan pemerintah masih tercekik karena paceklik. Situasi kontras ini terjadi saat krisis Covid-19.
Pemerintah pada Agustus lalu baru saja menggelontorkan dana sekitar Rp 20 triliun untuk gaji ke-13 aparatur sipil negara. Kebijakan ini dilakukan di tengah masih banyaknya masyarakat bawah yang susah dan menderita akibat krisis Covid-19, tapi belum terjaring program bantuan sosial dari pemerintah.
Kebijakan pemberian gaji ke-13 untuk ASN tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2020 tentang Pemberian Gaji, Pensiun, Tunjangan, atau Penghasilan Ke-13 Tahun 2020 kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS), Prajurit TNI, Anggota Polri, Pegawai Non-PNS, dan Penerima Pensiun atau Tunjangan. Presiden Jokowi menandatanganinya pada Jumat (7/8/2020).
Program ini digelontorkan untuk semua golongan ASN, mulai dari level paling bawah sampai pejabat setingkat eselon I.
Termasuk yang mendapatkan gaji ke-13 adalah ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan, serta staf khusus di lingkungan kementerian, hakim ad hoc, dan pimpinan atau pegawai non-PNS pada lembaga penyiaran publik.
Lampiran peraturan menyebutkan, kebijakan ditujukan sebagai salah satu stimulus fiskal dalam upaya pemerintah menjaga daya beli dalam pemenuhan kebutuhan bagi PNS, prajurit TNI, anggota Polri, pegawai non-PNS, dan penerima pensiun atau penerima tunjangan di masa pandemi Covid-19.
Sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (21/7/2020), total anggaran gaji, tunjangan, dan pensiun ke-13 mencapai Rp 28,5 triliun.
Itu terdiri dari gaji dan tunjangan ke-13 senilai Rp 20,62 triliun serta pensiun ke-13 senilai Rp 7,86 triliun. Untuk gaji dan tunjangan ke-13, Rp 6,73 triliun disalurkan ke ASN pusat dan Rp 13,89 triliun ke ASN daerah.
Baca juga: THR dan Gaji ke-13 Dapat Pacu Daya Beli
Situasi sulit
Di tengah situasi sulit akibat Covid-19, puluhan juta atau barangkali ratusan juta masyarakat butuh bantuan pemerintah. Tentu dengan situasi keuangan negara yang cekak dan durasi lamanya krisis, pemerintah harus bijak menetapkan program dan sasaran berikut mengalokasikan anggarannya. Karena itu, aspek kedaruratan sudah semestinya menjadi pertimbangan utama dalam menentukan kebijakan.
Penerimaan negara tahun ini menjadi seret akibat perekonomian domestik dan dunia melambat dihantam krisis Covid-19. Untuk itu, pemerintah merenggangkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 guna membiayai penyelenggaraan negara, terutama untuk menangani Covid-19 berikut dampak ekonominya.
Target defisit APBN 2020 yang awalnya Rp 307 triliun atau 1,76 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pun dilebarkan lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen terhadap PDB.
Penanganan Covid-19 dianggarkan Rp 695,2 triliun. Alokasi ini terdiri dari Rp 87,55 triliun untuk kesehatan, Rp 203,9 triliun untuk perlindungan sosial, Rp 120,61 untuk insentif dunia usaha, Rp 123,46 triliun untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), Rp 53,57 triliun untuk pembiayaan korporasi, dan Rp 106,11 triliun melalui kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah.
Khusus perlindungan sosial, programnya antara lain Program Keluarga Harapan untuk 10 juta keluarga, Kartu Sembako untuk 20 juta penerima, bansos untuk 1,9 juta warga Jabodetabek, bansos tunai untuk 9 juta warga di luar Jabodetabek, Kartu Prakerja untuk 5,6 juta penerima, bantuan presiden (banpres) produktif untuk 12 juta pelaku usaha mikro, subsidi gaji untuk 13,8 juta pekerja atau buruh swasta dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan.
Puluhan juta warga sudah masuk dalam program pemerintah tersebut. Namun, karena masifnya krisis Covid-19, masih banyak masyarakat bawah yang butuh, tapi belum terjaring program.
Jika pemerintah pada Agustus lalu menggelontorkan gaji ke-13 kepada ASN, tentu itu 100 persen tidak salah. Dan gugatannya memang bukan soal salah atau benar, melainkan pantas atau tidak pantas?
Untuk pensiun ke-13, barangkali kita semua bisa sepakat bahwa para pensiunan layak mendapatkannya di tengah situasi sulit. Tapi, gaji ke-13 untuk semua golongan ASN yang masih aktif sulit untuk tidak mengatakan bahwa pemerintah tidak sensitif terhadap kesulitan rakyat.
Untuk ASN level bawah, seperti guru honorer atau pegawai puskesmas di pedalaman, tunjangan atau gaji ke-13 masih masuk akal. Mereka pantas mendapatkannya dalam kondisi sulit ini. Tapi, untuk ASN level menengah ke atas, apakah mendesak?
Untuk lebih jernih melihat, mari kita bandingan kebijakan gaji ke-13 dengan sejumlah program bansos. Untuk pekerja atau buruh swasta, pemerintah memberikan program subsidi upah. Nilainya Rp 600.000 per bulan per orang untuk empat bulan atau total Rp 2,4 juta per orang. Kategori penerimanya pun dibatasi, yakni pekerja dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan.
Giliran untuk ASN, bukan subsidi sifatnya, tetapi gaji ke-13. Program ini pun digelontorkan untuk semua golongan ASN, dari paling bawah hingga atas. Ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan, serta staf khusus di lingkungan kementerian, hakim ad hoc, dan pimpinan atau pegawai non-PNS pada lembaga penyiaran publik juga mendapatkan.
Gaji ke-13 memang sudah menjadi program tahunan. Namun, bukan berarti tidak bisa direalokasi. Presiden sendiri pada awal Covid-19 merebak, sekitar April, sudah menginstruksikan realokasi anggaran yang difokuskan untuk penanganan Covid-19.
Bandingkan pula dengan banpres produktif untuk usaha mikro. Dana hibah untuk tambahan modal kerja pelaku usaha mikro nilainya Rp 2,4 juta per orang. Sementara gaji bulanan pegawai negeri sipil golongan IIIb sekitar Rp 7 juta dan golongan IVd atau IVe dengan jabatan eselon I bisa lebih kurang Rp 35 juta.
Sekadar catatan, tak sedikit pejabat eselon I merangkap sebagai komisaris di badan usaha milik negara sehingga mendapatkan gaji tambahan yang jauh lebih besar ketimbang gaji ASN-nya.
Pada saat yang sama, masih ada jutaan atau bahkan puluhan juta masyarakat bawah yang belum terjaring bantuan pemerintah. Mereka jelas-jelas lebih membutuhkan bantuan ketimbang ASN level menengah ke atas.
Susah
Di tengah krisis Covid-19, hanya ada dua cerita masyarakat dari aspek penerimaan rumah tangga, yakni penerimaan tetap atau penerimaan anjlok bahkan nihil. Pendapatan bulanan tetap dan ajek seperti sebelum Covid-19 saja sudah sangat luar biasa. Eh, lha, kok, ini ASN dapat durian runtuh, gaji ke-13. Itu levelnya sudah jauh melampaui amat sangat luar biasa.
Mari ke lapangan. Di tengah krisis Covid-19, puluhan juta pekerja atau buruh di sektor formal dipotong gajinya, dirumahkan, diputus kontrak kerjanya, sampai diputus hubungan kerjanya. Bagi pekerja sektor informal, ceritanya cuma satu: omzet anjlok atau bahkan nihil.
Dalam situasi saat ini, tidak ada cerita perusahaan memberikan bonus atau bahkan gaji ekstra kepada pegawai atau buruhnya. Tidak ada pula cerita usaha di sektor informal menjulang omzetnya. Kalaupun ada, barangkali segelintir, yakni usaha yang berkaitan dengan telekomunikasi dan pengiriman barang. Selebihnya, tiarap dan sekarat.
Baca juga: Membuat Simpel "Kapal" Birokrasi
Priyono, manajer personalia salah satu perusahaan di Jakarta, menyatakan, omzet perusahan anjok selama Covid-19. Untuk bertahan, perusahaan menempuh berbagai upaya penghematan, di antaranya adalah pemotongan uang makan dan uang transportasi. Ini dilakukan mulai level bawah sampai pimpinan.
Di sejumlah jaringan di daerah, ada sistem pemotongan gaji secara proporsional. Bahkan ada jaringan yang menerapkan pemotongan upah sampai 50 persen ke semua pegawai. ”Yang jelas, semua kena pemotongan,” kata Priyono.
Selain itu, perusahaan mengurangi pegawai. Ini dilakukan antara lain dengan mengurangi pegawai alih daya di bagian keamanan, pembantu umum, dan kebersihan. Perusahaan juga tidak memperpanjang kontrak bagi karyawan kontrak.
Di sejumlah jaringan, perusahaan menutup kegiatan operasional sementara atau melakukan hibernasi. ”Ini semua usaha untuk mengurangi biaya karena pemasukan turun drastis. Semua perusahaan pasti melakukan penghematan saat ini. Artinya, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan,” kata Priyono.
Berdasarkan data BPS, pengangguran terbuka pada Februari 2020 berjumlah 6,88 juta orang atau 4,99 persen dari total angkatan kerja. Covid-19 sudah pasti menggelembungkan jumlah pengangguran. Sejak April, gelombang PHK sudah merebak di sejumlah sektor, mulai manufaktur hingga jasa.
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memproyeksikan jumlah pengangguran terbuka pada triwulan II-2020 akan meledak dalam tiga skenario, yakni ringan, sedang, dan berat.
Setiap skenario memperkirakan tingkat pengangguran terbuka (TPT) secara nasional bertambah 4,25 juta orang, 6,68 juta orang, dan 9,35 juta orang. Atas dasar asumsi itu, TPT per triwulan II-2020 akan mencapai 8,2 persen, 9,79 persen, atau 11,47 persen.
Fatur Rohman (28), buruh pabrik di Surabaya, Jawa Timur, sudah jadi penganggur selama empat bulan. Seiring merebaknya Covid-19, ia dan buruh lainnya bekerja sistem sif pada awalnya. Per 27 April 2020, buruh mulai dirumahkan tanpa upah.
Lalu, pada Juni, perusahaan mengumumkan PHK. Meskipun sudah delapan tahun bekerja, uang pesangon yang diperoleh Rohman hanya satu kali upah.
Rohman adalah ayah dari seorang bayi berusia kurang dari satu tahun. Ia sekeluarga tidak terjaring program pemerintah apa pun, termasuk Kartu Prakerja. ”Enggak ada sama sekali program bantuan pemerintah,” kata Rohman.
Di sektor informal, Yanto (42), sopir ojek di Sleman, Yogyakarta, sudah pusing mencari utang ke sana kemari sejak Maret karena penghasilan keluarganya anjlok.
Sebelum Covid-19, penghasilannya rata-rata Rp 100.000 per hari. Selama Covid-19, rata-rata nihil. Kalau lagi mujur, paling-paling di bawah Rp 30.000 sehari.
Sementara warung istrinya, dulu bisa menghasilkan omzet Rp 500.000 per hari. Kini hanya rata-rata Rp 100.000 per hari. ”Ojek masih sepi, warung masih sepi,” kata Yanto yang punya anak semata wayang itu.
Saat mendengar kabar tentang pemerintah yang akan menyalurkan subsidi gaji untuk pekerja, Yanto mencari informasi ke sana kemari. Ia ingin mendapatkan bantuan, tetapi ternyata tidak termasuk dalam kategori penerima bantuan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Gaji/Upah bagi Pekerja/Buruh dalam Penanganan Dampak Covid-19, penerima program adalah pekerja di perusahaan swasta.
Data yang digunakan pemerintah berasal dari BPJS Jamsostek. Yanto terdaftar sebagai peserta BPJS Jamsostek Mandiri. Ia bukan buruh swasta, melainkan sopir ojek. Jadi Yanto di luar radar pemerintah.
Belakangan, ia mendengar kabar tentang banpres produktif. Ia proaktif mencari informasi agar bisa mendapatkan program itu.
”Cuma saya tidak tahu gimana cara mendapatkannya. Daftar atau gimana. Kalau daftar, daftarnya ke siapa. Yang jelas saya punya warung kecil di rumah,” kata Yanto.
Presiden Jokowi pada beberapa kali rapat terbatas di Istana Kepresidenan mengatakan agar ada sharing the pain di antara pemerintah dan lembaga negara dalam menghadapi krisis Covid-19.
Presiden pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020), juga menumpahkan kegeramannya karena menilai sejumlah kementerian dan lembaga negara tidak sensitif terhadap rakyat dan situasi.
”Suasana dalam tiga bulan ke belakang dan ke depan mestinya yang ada adalah suasana krisis. Kita juga semuanya yang hadir di sini sebagai pimpinan dan penanggung jawab, mestinya bertanggung jawab kepada 260 juta penduduk Indonesia. Ini tolong digarisbawahi. Dan perasaan itu tolong sama. Kita sama. Ada sense of crisis yang sama,” kata Presiden.
Namun, dua bulan setelah rapat tersebut, Presiden menggelontorkan gaji ke-13 kepada ASN di tengah puluhan juta keluarga yang susah dan belum terjaring bantuan pemerintah.
Apakah ini sensitif? Ketika Presiden memberi hadiah kepada ASN berupa durian runtuh hasil utang negara pada saat dunia usaha formal dan informal sekarat, apakah itu wujud sharing the pain?
Baca juga: PSBB Lagi, Tingkat Kunjungan Mal dan Hunian Hotel Diprediksi Menurun
Sementara itu, Yanto yang sopir ojek, Rohman yang penganggur, dan jutaan rakyat Indonesia lainnya yang kesusahan masih di luar radar pemerintah. Andai saja mereka ASN, mungkin bulan ini mereka tidak perlu pusing-pusing mencari utang ke sana kemari.
Akan tetapi, kalaupun utang mereka dapat, setidaknya itu jadi kewajiban yang harus mereka lunasi sendiri, bukan seperti gaji ke-13 untuk ASN yang bersumber dari utang negara dan menjadi tanggungan seluruh rakyat Indonesia untuk melunasinya.