PSBB Lagi, Tingkat Kunjungan Mal dan Hunian Hotel Diprediksi Menurun
Penerapan kembali PSBB ketat di DKI Jakarta dinilai baru efektif apabila diimbangi dengan penegakan sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan. Tanpa tindakan tegas, dunia usaha sulit bangkit.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha ritel dan pemilik pusat belanja menyambut keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan kembali pembatasan sosial berskala besar atau PSBB untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Mereka berharap penerapan PSBB perlu diimbangi juga dengan penegakan sanksi.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja menilai, keputusan itu adalah langkah maksimal supaya kesehatan masyarakat tetap terjaga dan dunia usaha terselamatkan. Meski demikian, pembatasan restoran dan kafe hanya untuk melayani pesan antar akan menurunkan tingkat kunjungan ke mal.
”Kami akan mematuhi keputusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kendati tingkat kunjungan ke pusat-pusat perbelanjaan diperkirakan akan turun kembali,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (13/9/2020).
Kami akan mematuhi keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kendati tingkat kunjungan ke pusat-pusat perbelanjaan diperkirakan akan turun kembali.
Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta mengumumkan menerapkan kebijakan rem darurat dengan kembali menerapkan PSBB ketat per 14 September 2020 hingga 27 September 2020. Kebijakan ini diambil setelah DKI Jakarta memberlakukan lima kali PSBB transisi. Kebijakan itu diambil setelah mempertimbangkan angka kematian, angka keterisian tempat tidur di ruang isolasi, dan keterisian tempat tidur di unit pelayanan insentif atau ICU.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2020, terdapat 11 sektor yang diizinkan tetap buka dengan maksimum 50 persen kapasitas dan mengikuti protokol kesehatan. Sektor itu meliputi kesehatan, bahan pangan, energi, komunikasi dan teknologi informasi, keuangan, logistik, perhotelan, konstruksi, serta industri strategis. Kemudian sektor pelayanan dasar, utilitas publik, obyek vital nasional, dan kebutuhan sehari-hari.
Sementara itu, kegiatan non-esensial tetap bisa beroperasi dengan pembatasan kapasitas, antara lain pasar dan pusat perbelanjaan dapat beroperasi dengan menerapkan batasan paling banyak 50 persen pengunjung di waktu bersamaan. Restoran, rumah makan, dan kafe di dalam pusat perbelanjaan hanya boleh menerima pesan antar atau bawa pulang.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan, Aprindo mengapresiasi keputusan Pemprov DKI Jakarta. Kendati PSBB ketat diterapkan, Pemprov DKI Jakarta tetap membolehkan pusat perbelanjaan dan ritel tetap buka dengan pembatasan kapasitas.
Adapun protokol kesehatan telah menjadi adaptasi kebiasaan baru yang dijalankan para pelaku usaha. ”Paling tidak, apa yang kita perjuangkan dalam 2-3 hari ini ditanggapi positif bahwa mal dan ritel bisa buka,” katanya.
Meski demikian, lanjut Roy, pembatasan restoran untuk sebatas melayani pesan antar dan bawa pulang akan berefek domino terhadap penurunan tingkat kunjungan orang ke mal. Gerai makanan dan minuman selama ini memengaruhi tingkat kunjungan ke mal hampir 50 persen.
Strategi pemberian diskon dinilai tidak akan berdampak bagi peningkatan belanja masyarakat. Secara psikologis, pemberlakuan PSBB akan mengurangi kunjungan orang ke mal.
”Orang akan menahan bepergian dan belanja. Kami berharap dalam masa PSBB ini tetap ada stimulus bagi pelaku usaha untuk bisa tetap bertahan,” katanya.
Gerai makanan dan minuman selama ini memengaruhi tingkat kunjungan ke mal hampir 50 persen.
Roy menambahkan, peritel telah berusaha maksimal untuk membangun pendekatan ke konsumen serta memaksimalkan layanan belanja secara multi-saluran (omnichannel), di antaranya memanfaatkan kanal sosial media, Whatsapp, Facebook, Instagram, dan komunitas. Namun, dengan adanya penurunan daya beli, Aprindo berharap pemerintah menggulirkan bantuan tunai ke masyarakat untuk kembali menggerakkan daya beli.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani mengemukakan, ketidakpastian masih akan terus membayangi hingga ditemukannya vaksin Covid-19. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah seharusnya fokus pada upaya pencegahan Covid-19 melalui sosialisasi kepada masyarakat dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan.
Di samping itu, penelusuran kasus Covid-19 dengan memanfaatkan data raksasa dan perangkat teknologi. ”Tanpa upaya preventif dan penegakan hukum terhadap protokol kesehatan, stimulus berapa pun akan jebol dan tak sanggup mengatasi pandemi Covid-19,” katanya.
Ia menambahkan, perhotelan yang diperbolehkan tetap buka selama PSBB dinilai belum tentu efektif menjaring pengunjung. Namun, kalau tidak ada tamu, akan menimbulkan beban biaya operasional.
Selama terjadi pelonggaran PSBB, tingkat okupansi di DKI Jakarta rata-rata baru menyentuh 30 persen saat hari kerja (weekdays) dan cenderung menurun saat akhir pekan. Padahal, tingkat keuntungan kotor (GOP) hotel baru bisa didapat jika okupansi di atas 30 persen.
”Hotel masih beroperasi tetapi merugi, apalagi biaya operasional hotel cenderung tetap,” kata Hariyadi.