Pada Senin, Kejaksaan Agung akan memutuskan konstruksi pasal yang akan menjerat jaksa Pinangki. ”Ada tambahan pasal atau tidak, nanti kami putuskan Senin,” kata Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung berusaha untuk bisa segera melimpahkan perkara dugaan gratifikasi yang menyeret jaksa Pinangki Sirna Malasari ke pengadilan. Saat ini, penyidik masih melengkapi berkas perkara para tersangka, termasuk mendiskusikan pasal sangkaan yang dikenakan.
Adapun jaksa Pinangki diduga menerima uang sebesar 500.000 dollar AS atau sekitar Rp 7 miliar dari terpidana kasus cessie Bank Bali, Joko Tjandra, untuk mengurus fatwa dari MA. Pinangki dan Joko telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik kejaksaan, beberapa waktu lalu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono, saat dikonfirmasi, Sabtu (12/9/2020), menyatakan, berkas perkara Pinangki yang dikembalikan ke penyidik masih dilengkapi. Sebelumnya, berkas perkara Pinangki dikembalikan ke penyidik karena ada beberapa hal yang perlu dilengkapi terkait tindak pidana pencucian uang.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tinda Pidana Khusus Kejagung Febrie Adriansyah menambahkan, penyidik masih mendiskusikan pasal sangkaan yang akan dikenakan kepada tiga tersangka dalam perkara permufakatan jahat dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung, yakni antara Pinangki, Joko S Tjandra, dan Andi Irfan Jaya.
”Ini, kan, menyangkut pasal permufakatan. Konstruksi pasal kami belum berani pastikan. Nanti lihat hari Senin karena akan diputuskan pakai pasal apa saja. Jadi ada tambahan pasal atau tidak, nanti kita putuskan Senin,” tutur Febrie.
Menurut dia, dari fakta hukum yang didapat penyidik, Joko S Tjandra berniat keras untuk pulang ke Indonesia. Ketika mencari jalan untuk pulang, Joko bertemu Pinangki yang kemudian menawarkan pengurusan fatwa MA.
Febrie menampik adanya pihak lain yang mempertemukan pihak-pihak, antara lain Pinangki, Andi Irfan, dan Rahmat. Fakta hukum yang didapat penyidik ialah Pinangki bertemu Rahmat, kemudian mereka berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk bertemu Joko Tjandra. Penyidik masih mencari alat bukti terkait peran Rahmat tersebut.
Terkait adanya beberapa nama yang pernah disebut Pinangki, Anita, dan Joko Tjandra dalam pengurusan fatwa sebagaimana dilaporkan Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Febrie mengaku baru mendengarnya. Beberapa inisial nama itu adalah T, DK, BR, HA, dan SHD. Kemudian terdapat nama PG terkait transaksi perusahaan energi.
Febrie juga menampik adanya informasi bahwa Pinangki berhubungan dengan oknum dari MA ataupun keterlibatan petinggi Kejagung yang ikut membantu Pinangki. Sebab, penyidik tak menemukan fakta hukum terkait informasi tersebut.
Menurut Febrie, penyidik saat ini tengah mencari orang berinisial DK. Sebab, nama DK tercantum di dokumen rencana aksi yang diajukan Pinangki ke Joko Tjandra. Penyidik Kejagung akan berkoordinasi dengan Badan Reserse Kriminal Polri terkait DK karena terdapat kemungkinan Polri menyidik hal yang sama.
Kini, lanjut Febrie, pihaknya akan menyelesaikan berkas perkara tersebut agar bisa segera dibawa ke pengadilan. Melalui pengadilan, peran tersangka satu dengan yang lain diharapkan semakin terbuka.
”Kami sampaikan bahwa ini tidak selesai di sini. Di persidangan nanti dilihat ini apa keterangan dari Pinangki dan Joko Tandra. Jika ada alat bukti yang terungkap di persidangan melibatkan orang lain, akan kami tindak lanjuti,” ujar Febrie.
Sementara itu, juru bicara tim kuasa hukum Anita Kolopaking, Tito Hananta, mengatakan, pihaknya telah mencabut permohonan praperadilan Anita Kolopaking. Pencabutan dilakukan dengan pertimbangan bahwa hal itu yang terbaik bagi Anita. Menurut Tito, kini tim kuasa hukum fokus untuk menghadapi persidangan.
”Kami siap hadapi sidang utamanya dan kami bantah semua dakwaan jaksa penuntut umum nantinya,” kata Tito.
Terkait dengan adanya kemungkinan menjadikan Anita sebagai saksi pelaku yang membongkar kejahatan (justice collaborator) sebagaimana pernah dinyatakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, menurut Tito, hal itu tidak dilakukan Anita. Sebab, kepastian hukum bagi saksi pelaku belum jelas karena belum didasarkan pada undang-undang.