Putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi dan uji formil UU MK akan mendapat sorotan publik. Sikap kenegarawanan hakim MK diuji saat memutus perkara terkait dirinya sendiri.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sikap kenegarawanan hakim Mahkamah Konstitusi diuji oleh rencana sejumlah elemen masyarakat sipil untuk mengajukan uji materi dan uji formil UU MK hasil revisi ke MK. Sikap terhadap sejumlah substansi revisi UU MK yang menguntungkan hakim MK saat ini akan menjadi ujian kenegarawanan hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
Kalangan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan MK saat ini tengah menyiapkan uji materi dan uji formil UU MK yang baru. Saat revisi UU MK itu diundangkan, yakni setelah tercatat di lembaran negara, koalisi akan melayangkan gugatan ke MK.
Dalam diskusi daring yang digelar, Senin (7/9/2020), peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Violla Reininda, mengatakan, revisi UU MK ini berpotensi merenggut ”mahkota” MK, yakni independensi MK. Penghapusan periodisasi jabatan, menjadi 15 tahun atau pensiun hakim hingga usia 70 tahun, serta perpanjangan masa jabatan pimpinan MK dipandang berpotensi menjadi komoditas untuk ditukar dengan amar putusan dan tindakan hakim konstitusi. Pengaturan baru itu dinyatakan berlaku untuk hakim yang menjabat saat ini.
”Hal ini menjadi indikasi sejumlah aturan mengenai jabatan hakim berpotensi dijadikan hadiah untuk tukar guling politik. Seharusnya aturan-aturan yang menguntungkan hakim diperuntukkan bagi hakim yang menjabat selanjutnya,” kata Violla.
Di revisi UU MK yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 1 September lalu, sejumlah perubahan aturan ditetapkan, yakni perpanjangan masa jabatan hakim menjadi 15 tahun atau pensiun hakim hingga usia 70 tahun. Syarat usia minimal hakim konstitusi diubah menjadi 55 tahun dari semula 47 tahun.
Masa jabatan pimpinan MK juga diperpanjang menjadi lima tahun, dari yang sebelumnya 2 tahun 6 bulan. Selain itu, revisi UU MK juga mengatur anggota Mahkamah Kehormatan MK yang terdiri dari perwakilan hakim konstitusi, anggota Komisi Yudisial, dan akademisi hukum.
Violla mengatakan, ada 40 putusan MK yang terkait dengan UU MK maupun UU lain yang melibatkan kewenangan dan kelembagaan MK dalam pengaturannya. Berbasis pada pengalaman itu, semestinya MK juga tidak berkeberatan untuk mengadili uji materi dan uji formil UU MK yang sedang disiapkan oleh koalisi.
”Di dalam Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 yang menguji UU No 8/2011 tentang MK, MK mengabulkan dan memberikan tafsiran baru. Materi yang diujikan juga soal usia hakim dan masa jabatan. Kemudian, di tahun 2019, usia minimal bagi perempuan untuk menikah dinaikkan oleh MK menjadi 18 tahun. Padahal, selama ini kecenderungannya MK menilai kalau obyeknya usia dan masa jabatan dinilai tergolong kebijakan hukum terbuka pembentuk UU, sehingga tidak ada persoalan konstitusionalitas,” kata Violla.
Dengan pengalaman tersebut, kata dia, semestinya jika MK konsisten dengan paradigma dan putusan selanjutnya, MK dapat pula memberikan tafsir atau mengabulkan permohonan yang terkait usia dan masa jabatan hakim. Apalagi, soal usia dan masa jabatan hakim konstitusi yang diatur di dalam UU MK yang baru terkait erat dengan persoalan konstitusional, sebab ia berhubungan langsung dengan kemerdekaan hakim konstitusi yang diatur di dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.
Menurut Violla, pengajuan uji materi dan uji formil juga merupakan salah satu upaya kalangan masyarakat sipil untuk menguatkan independensi MK. Pengaturan di dalam UU MK yang baru berpotensi mengancam independensi hakim MK. Perpanjangan jabatan hakim disinyalir sebagai upaya menyuap atau mengikat hakim MK terkait dengan berbagai kepentingan DPR dan pemerintah dalam pengujian sejumlah UU di MK.
Ujian kenegarawanan
Advokat Muji Kartika Rahayu mengatakan, bagaimana MK menyikapi dan memutus uji materi dan uji formil UU MK akan menentukan kualitas kenegarawanan hakim MK. Pertama, soal perpanjangan masa jabatan, jika MK konsekuen dengan semangat sebagai lembaga peradilan modern dan diisi oleh hakim berkualitas negarawan, seharusnya perpanjangan itu ditolak oleh MK. Sebaliknya, jika MK menerima perpanjangan masa jabatan hakim itu, dapat dimaknai hakim konstitusi terjebak pada keinginan untuk berkuasa dalam waktu yang lama.
Demikian pula jika MK konsekuen dan konsisten dengan putusan terdahulu yang menyatakan KY tidak dapat mengawasi MK, seharusnya pasal di dalam UU MK yang mengatur hal yang sama dibatalkan.
”Dalam putusan terdahulu, MK menyatakan KY tidak dapat mengawasi hakim MK. Seharusnya, jika MK konsisten, tentu uji materi terkait dengan ketentuan anggota KY sebagai anggota Mahkamah Kehormatan MK juga dibatalkan oleh MK,” katanya.
Mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan mengatakan, usulan untuk menghapus periodisasi hakim itu memang menjadi diskusi yang berkembang sejak lama. Penghapusan priodisasi itu diharapkan untuk mengurangi kemungkinan transaksi politik setiap lima tahunan ketika hakim habis masa jabatannya dalam satu periode.
Merujuk pada praktik yang berlaku di negara demokratis lain, seharusnya hakim dipilih satu kali dan menjabat untuk waktu yang lama, semisal 9 atau 10 tahun. Periodisasi lima tahunan dihapus. Namun, tidak berarti hakim menjabat selama 15 tahun.
”Karena sudah diputuskan 15 tahun, harusnya ada panduan bagaimana hakim itu dapat dikawal dan dijamin standar etiknya tinggi. Sebab sebagai hakim konstitusi, karena dia menjabat lama, harus ada imbangannya, yakni dapat diberhentikan jika menyalahi kode etik. Harusnya itu diatur di dalam UU MK,” katanya.
Terkait dengan konflik kepentingan pada diri hakim MK yang menguji UU MK, menurut Maruarar, boleh jadi hakim akan merasa memiliki kepentingan. Namun, dalam hal ini mereka sebenarnya sebagai pihak yang diuntungkan, sedangkan konflik kepentingan ada pada DPR. Selain itu, kepentingan publik juga menjadi aspek yang harus dipertimbangkan oleh MK dalam memutus suatu pengujian konstitusional.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Bayu Dwi Anggono mengatakan, terlepas dari apa pun putusan MK terhadap uji materi dan uji formil nantinya, revisi UU MK yang disahkan tersebut tidak memenuhi tiga ukuran pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Pertama, revisi UU itu lebih kuat aroma kepentingan elite politik daripada kepentingan publik. Kedua, revisi UU MK tidak memenuhi syarat partisipatif dan terbuka. Ketiga, revisi UU MK tidak memperkuat prinsip konstitusionalisme dan demokrasi.
Prinsip konstitusionalisme dan demokrasi yang tercederai, antara lain, ialah pembatasan kekuasaan. Dengan diaturnya masa jabatan hingga 15 tahun, hal ini berpotensi membuka kotak pandora bagi perpanjangan masa jabatan pada lembaga negara lainnya.
Di sisi lain, perpanjangan masa jabatan tanpa mekanisme pengawasan yang ketat terhadap hakim MK berpotensi memicu penyalahgunaan kewenangan. Publik di satu sisi tidak dapat melakukan kontrol terhadap kinerja hakim MK karena mereka langsung menjabat tanpa henti selama 15 tahun.
”Publik akan menanggung hakim yang jika kinerja atau putusan mereka selama 15 tahun buruk, mereka tidak dapat diberhentikan,” kata Bayu.