Sejumlah materi revisi UU Mahkamah Konstitusi dinilai bertentangan dengan konstitusi karena berpotensi mengganggu independensi hakim dan tidak sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan dalam negara demokratis.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Baru dua hari disahkan menjadi undang-undang, sejumlah kelompok masyarakat sipil berencana mengajukan uji materi dan uji formil terhadap revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Sebab, sejumlah materi revisi dinilai bertentangan dengan konstitusi karena berpotensi mengganggu independensi hakim dan tidak sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan dalam negara demokratis.
Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif Violla Reininda mengatakan, KoDe Inisiatif dan sejumlah masyarakat sipil berencana mengajukan uji materi dan uji formil revisi UU MK ke Mahkamah Konstitusi.
Saat ini, revisi UU MK tersebut belum resmi diundangkan di dalam lembaran negara sehingga belum bisa diketahui secara pasti nomor UU terbaru. Namun, kajian mulai dilakukan oleh kalangan masyarakat sipil terkait dengan substansi revisi UU MK tersebut.
”Soal usia dan masa jabatan hakim dalam UU MK adalah persoalan konstitusional. Sebab, hal ini berhubungan langsung dengan kemerdekaan hakim konstitusi yang diatur di dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945,” katanya saat dihubungi, Kamis (3/9/2020).
Dalam revisi UU MK terbaru, masa jabatan hakim konstitusi maksimal 15 tahun dan pensiun di usia 70 tahun. Adapun syarat usia minimal hakim konstitusi ialah 55 tahun. Revisi UU MK juga mengatur masa jabatan pimpinan MK selama 5 tahun.
Violla mengatakan, selain menyangkut substansi atau materi revisi UU MK, kajian juga dilakukan terhadap proses pembentukan UU. Pengujian formil yang fokus pada mekanisme penyusunan RUU juga menjadi salah satu kajian masyarakat sipil mengingat pembahasan RUU itu dinilai tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembahasan RUU MK dipandang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
”Proses pembentukan undang-undang dilakukan secara tertutup, tak mengakomodasi aspirasi publik, tak melibatkan publik, tidak transparan, serta tidak esensial dan tidak menyentuh persoalan substantif dan krusial. Praktik seperti ini sangat berbahaya bagi perumusan undang-undang dan bagi keberlangsungan negara demokrasi konstitusional. Hal ini hanya akan melanggengkan kuasa oligarki semata,” katanya.
Menurut Violla, penghapusan periodisasi jabatan, perpanjangan masa jabatan hakim honstitusi hingga usia 70 tahun, serta perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK berpotensi menjadi komoditas untuk ditukarkan dengan putusan dan tindakan hakim konstitusi. Apalagi, pengaturan ini tidak dibarengi penguatan terhadap pengawasan hakim, pengetatan penegakan kode etik, serta penyempurnaan standar perekrutan hakim di setiap lembaga pengusul.
”Telah terang, undang-undang ini berpotensi berdampak pada kemerdekaan dan keberpihakan hakim konstitusi dalam memutus perkara konstitusional kelak,” ujarnya.
Dengan tidak diaturnya secara detail mekanisme perekrutan hakim konstitusi, jabatan hakim konstitusi di masa depan berpotensi diisi oleh calon-calon hakim yang dipertanyakan kenegarawanannya akibat tidak adanya penyempurnaan dan penyeragaman standar perekrutan hakim di setiap cabang kekuasaan.
”Marwah dan keluhuran MK berpotensi dibajak dengan cara mendudukkan personel hakim konstitusi yang dapat tunduk pada lembaga pemilihnya semata,” ujarnya.
Pertaruhan hakim
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, upaya mengajukan uji materi dan uji formil ke MK adalah jalan untuk menguji konstitusionalitas revisi UU MK. Selain itu, upaya ini menjadi ujian bagi kredibilitas, independensi, dan sikap kenegarawanan hakim MK.
Sebab, para hakim MK itu akan mengadili suatu hal yang terkait dengan kepentingan mereka sendiri, yakni menyangkut perpanjangan masa jabatan dan usia pensiun serta perpanjangan masa jabatan pimpinan MK.
”Ini pertaruhan bagi mereka. Negarawan itu tidak pernah berpikir untuk kepentingannya sendiri, melainkan kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara yang diutamakan,” katanya.
Senada dengan KoDe Inisiatif, Bayu menilai revisi UU MK yang baru saja disepakati oleh DPR dan pemerintah jauh dari pemenuhan atas persyaratan legislasi yang baik. Hal ini karena kehendak melakukan revisi UU MK dengan memperpanjang masa jabatan hakim MK bukanlah kehendak publik, melainkan kental aroma kehendak elite.
Saat ini, konsentrasi masyarakat ialah menghadapi pandemi Covid-19 serta berbagai dampaknya seperti dampak ekonomi. Di masa pandemi ini hampir tidak ada publik yang bicara dan mengusulkan perpanjangan masa jabatan pejabat negara.
Sebagai akibat revisi UU MK yang sarat muatan elite, hal ini berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap MK sebagai badan peradilan.
Menurut Bayu, publik dapat berasumsi bahwa perubahan UU MK yang memperpanjang masa jabatan hakim MK adalah upaya pembentuk UU untuk memengaruhi MK dalam memutus perkara-perkara penting yang sedang ditangani MK. Hal ini tentu akan sangat membebani MK mengingat apa pun putusan MK nantinya akan dikaitkan dengan pemberian perpanjangan masa jabatan hakim MK.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Agil Oktaryal, mengatakan, sikap dari setiap hakim dalam mengadili uji materi dan uji formil UU MK akan menunjukkan kualitas kenegarawanan mereka.
”Apalagi kalau ada yang mengajukan dissenting opinion, yakni dengan tidak menerima masa jabatan 15 tahun, ini akan sangat menarik karena sebenarnya MK secara kelembagaan tidak membutuhkan hal yang demikian,” ujarnya.
Juru bicara MK, Fajar Laksono, mengatakan, adanya rencana pengujian UU MK bisa saja dilakukan oleh masyarakat. Sebab, tidak ada lagi lembaga yang berwenang menguji UU kecuali MK, bahkan terkait persoalan yang menyangkut dirinya sendiri.
”Faktanya, MK sudah beberapa kali memutus pengujian UU MK, dan MK mampu menjaga dan menunjukkan independensinya. Terlepas dari selalu adanya pihak yang setuju dan tidak setuju atas putusan, itu soal lain dan wajar adanya,” katanya.
Dorongan agar MK membangun pengawasan kode etik yang ketat, menurut Fajar, selaras dengan keinginan di internal MK. Terlepas dari adanya perpanjangan masa jabatan hakim MK, kalangan internal MK sudah sejak lama berencana menyempurnakan Peraturan MK mengenai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama). Tujuannya agar semakin sesuai dengan perkembangan sekaligus memastikan agar martabat dan kehormatan hakim konstitusi benar-benar terjaga dan terlindungi.