Komisi Kejaksaan melihat penegakan hukum oleh penyidik Kejaksaan Agung belum tuntas. Masih ada oknum lain di internal kejaksaan yang ditengarai terlibat.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah menetapkan jaksa Pinangki Sirna Malasari dan Joko Tjandra sebagai tersangka, penyidik Kejaksaan Agung mulai menindak kolaborator Pinangki dalam kasus pengurusan fatwa bebas dari Mahkamah Agung untuk Joko.
Pekerja swasta yang juga kader Partai Nasdem, Andi Irfan Jaya, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan karena diduga bekerja sama dengan Pinangki. Andi ditengarai menerima uang suap dari Joko Tjandra sebelum dialirkan ke Pinangki.
Penetapan tersangka Andi disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono di kantor Kejagung, Jakarta, Rabu (2/9/2020).
Sebelum ditetapkan tersangka, Andi menjalani pemeriksaan oleh penyidik Kejagung. Penyidik lantas menetapkannya sebagai tersangka dan menahannya berdasarkan hasil pemeriksaan. Andi juga pernah diperiksa penyidik pada 24 Agustus lalu.
Menurut Hari, Andi diduga melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki untuk pengurusan fatwa bebas dari Mahkamah Agung bagi Joko Tjandra. Fatwa ini agar Joko tak perlu menjalani hukuman dua tahun penjara yang menjeratnya dalam kasus Bank Bali tahun 2009.
”Dugaannya, (uang suap dari Joko Tjandra) tidak langsung diberikan kepada oknum jaksa Pinangki, tetapi diduga kepada tersangka yang baru ini (Andi Irfan),” kata Hari.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pinangki diduga menerima uang 500.000 dollar AS atau sekitar Rp 7 miliar dari Joko Tjandra untuk pengurusan fatwa tersebut (Kompas, 13/8/2020).
Peran Andi Irfan
Dari informasi yang diperoleh Kompas, peran Andi Irfan dalam kasus Pinangki terungkap dari pemeriksaan mantan pengacara Joko Tjandra, Anita Kolopaking. Andi disebutkan ikut dalam salah satu pertemuan antara Anita, Pinangki, dan Joko Tjandra saat Joko masih buron, November 2019, di Kuala Lumpur, Malaysia.
Pertemuan membahas rencana agar MA mengeluarkan fatwa bebas untuk Joko.
Tak hanya itu, Andi diduga terlibat dalam perjanjian pembelian aset pembangkit listrik senilai 10 juta dollar AS atau sekitar Rp 145 miliar oleh Joko atas permintaan Pinangki.
Pembelian aset menjadi bagian dari kesepakatan Joko dan Pinangki jika fatwa bebas berhasil terbit. Dalam perjanjian itu, kartu tanda penduduk Andi disebutkan digunakan untuk membuat perjanjian jual beli aset tersebut.
Menurut pengacara Joko Tjandra, Soesilo Aribowo, kliennya mengaku memberikan uang untuk Andi. Namun, uang tidak diberikan langsung, tetapi melalui seseorang bernama Heriyadi. ”Tidak tahu uang itu sampai atau tidak ke Andi,” katanya.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak melihat, dengan penetapan tersangka Andi, orang-orang yang terlibat mulai ditindak oleh penyidik kejaksaan. Namun, penegakan hukum oleh kejaksaan dinilainya belum tuntas. Ia menengarai masih ada oknum lain di internal kejaksaan yang belum disentuh oleh penyidik Kejagung.
Sanksi Nasdem
Menyikapi penetapan Andi sebagai tersangka, Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali mengatakan, partai langsung memecatnya.
”Kami akui ini sebagai kegagalan kami membina kader. Namun, yang terpenting, sesuai standar yang berlaku di partai selama ini, jika ada kader terlibat pidana, apalagi korupsi, secara otomatis dia diberhentikan,” ujarnya.
Andi, menurut Ahmad Ali, menjadi kader Nasdem sejak 2017. Di Nasdem, dia pernah menjabat Ketua Badan Pemenangan Pemilu Nasdem Wilayah Sulawesi Selatan.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam rapat dengan Polri, Kejagung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu, mengatakan, KPK bisa memberikan pandangan dan diundang hadir dalam gelar perkara kasus Joko Tjandra ataupun jaksa Pinangki.
”Nah, di situ nanti KPK bisa menyatakan pandangannya. Apakah ini (proses pengusutan) sudah proporsional atau harus diambil alih (KPK),” katanya.