Transparansi penggunaan anggaran Covid-19 mutlak diperlukan. Ketidaktransparan yang diawali dari minimnya informasi mengenai anggaran dan pengadaan barang/jasa, selain mudah ditemukan publik, juga berpotensi dikorupsi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transparansi penggunaan anggaran penanganan Covid-19 dipertanyakan karena minimnya informasi mengenai anggaran dan pengadaan barang/jasa yang mudah ditemukan publik. Ketidaktransparan ini membuat potensi korupsi di masa pandemi Covid-19 bisa terjadi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Dewi Anggraini, mengatakan, Selasa (1/9/2020), di Jakarta, tranparansi informasi dalam masa pandemi Covid-19 menjadi hal yang krusial. ”Namun, di tengah situasi krisis ini, informasi mengenai anggaran dan pengadaan barang-jasa tidak mudah ditemukan publik,” kata Dewi dalam diskusi publik bertajuk ”Potensi Korupsi Alat Kesehatan di Kondisi Pandemi” yang diselenggarakan secara daring oleh ICW.
Selain Dewi, pembicara dalam acara tersebut ialah Direktur Pengembangan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Emin Adhy Muhaemin, Deputi Bidang Logistik dan Peralatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Prasinta Dewi, perwakilan dari Kementerian Kesehatan Heru Prasetyo, serta perwakilan dari Koalisi Lapor Covid-19 Iskandar.
Di tengah situasi krisi ini, informasi mengenai anggaran dan pengadaan barang-jasa tidak mudah ditemukan publik.
Dewi menyoroti anggaran fungsi kesehatan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020, anggaran untuk kesehatan sebesar Rp 87,55. Sampai 22 Juli 2020, realisasinya baru mencapai 7,74 persen.
Ia mengkritisi realisasi tersebut karena data di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) tidak lengkap. Sebagian besar nama paket pengadaan terlalu umum dan tidak ditunjukkan bentuk pengadaan yang dimaksud. Selain itu, pemenang tender juga diduga tidak memiliki pengalaman yang memadai di bidang alat material kesehatan (almatkes).
Menurut Dewi, situasi tersebut membuat potensi korupsi pendistribusian alat kesehatan bisa terjadi. Sebab, terdapat gap yang sangat timpang antara kebutuhan dengan realisasi almatkes.
Rata-rata realisasi alat pelindung diri (APD) yang telah didistribusikan selama lima bulan hanya sebanyak 1,8 juta atau sekitar 38 persen. Dewi mengutip pernyataan Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito yang mengatakan, kebutuhan APD secara nasional sebanyak 5 juta buah per bulan.
Selain itu, realisasi masker bedah juga hanya sekitar 36 persen dari kebutuhan. Padahal, kapasitas produksi nasional masker bedah sekitar 2,8 miliar lembar.
Oleh karena itu, ICW merekomendasikan agar informasi mengenai anggaran dan publikasi penanganan Covid-19 oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan BNPB harus diumumkan secara berkala serta terperinci.
Emin Adhy Muhaemin mengatakan, pencegahan korupsi pengadaan alat kesehatan dapat dilakukan dengan enam cara, yaitu rencana kebutuhan alat kesehatan, peningkatan persaingan usaha dalam pengadaan, transparansi anggaran pengadaan, transparansi harga alat kesehatan, konsolidasi pengadaan, dan sinergi pemenuhan alat kesehatan.
Dalam status keadaan darurat bencana, BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai beberapa kemudahan akses. Di antaranya, kemudahan pengerahan sumber daya manusia, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, imigrasi, cukai, karantina, perizinan, dan pengadaan barang/jasa.
Prasinta Dewi mengungkapkan, dalam status keadaan darurat bencana, BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai beberapa kemudahan akses. Di antaranya, kemudahan pengerahan sumber daya manusia, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, imigrasi, cukai, karantina, perizinan, dan pengadaan barang/jasa.
Meskipun pengadaan dan distribusi barang harus cepat dilakukan, tetapi kegiatan tersebut dilakukan secara terpadu. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), dan auditor independen dilibatkan dalam proses penyelesaian pembayaran sebagai bentuk akuntabilitas.
Heru Prasetyo menegaskan, Kementerian Kesehatan selalu mengacu pada konsolidasi dalam pengadaan barang. Selain itu, pengadaan barang juga dilakukan sesuai dengan Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat.