Komisi Kejaksaan: Publik Menanti Kejaksaan Agung Undang KPK
Kejagung menyatakan terbuka untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan KPK terkait kasus jaksa Pinangki. Terkait komitmen itu, Komisi Kejaksaan menyebut publik menunggu Kejagung mengundang KPK.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Niat Kejaksaan Agung untuk mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanganan kasus dugaan korupsi yang melibatkan jaksa Pinangki diharapkan benar-benar dilaksanakan. Komisi Kejaksaan menilai pelibatan lembaga independen diperlukan untuk meyakinkan publik sekaligus menghindari konflik kepentingan di internal Kejaksaan Agung.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, Kejagung bersikap terbuka untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan KPK, termasuk mengundang KPK dalam gelar perkara. Setiap saat KPK dapat menanyakan perkembangan kasus yang ditangani Kejagung, termasuk jika hendak memberikan informasi.
Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak, ketika dihubungi, Selasa (1/9/2020), mengatakan, niat Kejaksaan untuk terbuka, termasuk untuk ekspose perkara, sudah dinantikan publik. Sebab, dalam kasus ini, beban Kejaksaan Agung besar karena disorot oleh publik.
”Pelibatan KPK ini bukan untuk melemahkan atau mengurangi kewenangan Kejaksaan, melainkan merupakan bentuk keterbukaan untuk melakukan koreksi,” kata Barita.
Menurut Barita, yang dipersoalkan publik bukanlah kewenangan kejaksaan menangani kasus yang menyangkut jaksa Pinangki Sirna Malasari. Yang muncul adalah ketidakpercayaan publik jika kejaksaan menangani kasus yang menyangkut pegawainya sendiri. Terlebih, diduga tidak hanya jaksa Pinangki yang telibat dalam kasus itu.
Adapun jaksa Pinangki ditetapkan sebagai tersangka terkait narapidana kasus cessie Bank Bali, Joko Tjandra. Kejaksaan Agung menduga terdapat perbuatan yang diduga dalam rangka mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA).
Sebagai terpidana, tersangka Joko memerlukan fatwa dari MA agar tidak dieksekusi jaksa sebagai eksekutor. Dari temuan penyidik, diketahui pengurusan fatwa tidak berhasil. Adapun perkara yang melibatkan Joko dengan jaksa Pinangki diperkirakan terjadi antara November 2019 dan Januari 2020 (Kompas.id, 28/8/2020).
Untuk menghindari konflik kepentingan, lanjut Barita, pelibatan institusi dari luar diperlukan, seperti Komisi Kejaksaan RI dan KPK. Berikutnya, diperlukan akuntabilitas dari kejaksaan untuk membuka setiap tahap perkembangan penyidikan kepada publik.
Menurut Barita, penetapan tersangka terhadap jaksa Pinangki dan Joko Tjandra memang penting, tetapi hal itu bukan substansi. Yang perlu diungkapkan ke publik adalah obyek atau hal yang ditransaksikan antara jaksa Pinangki dan Joko.
”Maka, selalu kita katakan, apa yang ditransaksikan dari keduanya; karena dari situ akan terlihat siapa yang punya wewenang untuk memuluskan rencana itu. Itulah yang dibutuhkan oleh publik,” ujar Barita.
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman berpandangan, seharusnya KPK diundang sedari awal karena perkara ini diduga melibatkan oknum jaksa. Hal itulah yang dilakukan Badan Reserse Kriminal Polri yang mengundang KPK sedari awal karena ada dugaan keterlibatan perwira tinggi dalam perkara terkait pelarian Joko S Tjandra.
”Kalau mereka (kejaksaan) sungguh-sungguh, mestinya minggu ini bisa mengundang KPK atau maksimal minggu depan. Kalau tidak, ya, saya duga ada sesuatu yang ditutupi. Kalau ada yang diduga ditutupi, tentu kita akan dorong untuk bongkar lagi,” tutur Boyamin.
Menurut Boyamin, lembaga independen, seperti KPK, sangat diperlukan agar konstruksi hukum yang dibangun nantinya memang berdasarkan fakta tanpa ada yang dibelokkan. Dia mencontohkan, uang dari Joko kepada Pinangki diduga tidak diberikan secara langsung, tetapi melalui orang bernama AIJ yang kini berstatus saksi.
Jika tidak diawasi, menurut Boyamin, bisa jadi nantinya pasal yang dikenakan bukan pemberian suap kepada Pinangki, melainkan kepada AIJ. Padahal, diduga AIJ hanyalah membantu atau menjadi perantara. Dalam hal inilah, KPK sangat diperlukan sebagai pihak yang mendengar dan mengawasi proses penanganan perkara.